Search This Blog

July 30, 2008

Doa Bepergian

Untuk muslim, agar terhindar dari segala macam bahaya ketika bepergian hendaknya kita membaca doa berikut :

Allaahumma biKa asra'iinu wa 'alayKa atawakkalu. Allaahumma dzalli-llii shu'uubata amrii wa sahhil 'alayya masyaqqata safarii warzuqnii minal khayri aktsara mim maa athlubu washrif ' annii kulla syarrin. Rabbi-syarahlii shadrii wa yassirlii amrii. Allaahumma innii astahfizhuKa wa astawdi'uKa nafsii wa diinii wa ahlii wa aqaaribii wa kulla maa an'amTa 'alayya wa 'alayhim bihi min aakhiratin wa dun-yaa, fahfazhnaa ajma'iina min kulli suu'in yaa kariimu, da'waahum fiihaa subhaanaKa-lLaahumma wa tahiyyatuhum fitha salaamun, wa aakhiru da'waahum 'anil hamdu li-lLaahi Rabbil ' aalamiiina, wa shalla-lLahu 'alaa sayyidinaa muhammadin wa'alaa aalihii wa shahbihii wa sallama.


Artinya : Ya Allah, aku memohon pertolongann-Mu dan kepada-Mu aku menyerahkan diri. Ya Allah, mudahkanlah kesulitan urusanku dan gampangkanlah kesukaran perjalananku, berilah padaku rezeki yang baik dan lebih banyak dari apa yang kuminta. Hindarkanlah dariku segala keburukan. Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku dan mudahkanlah segala urusanku.
Ya Allah, kumohon pemeliharaan-Mu dan kutitipkan diriku kepada-Mu, agamaku, keluargaku, kerabatku dan semua yang Engkau ni'matkan padaku dan kepada mereka, semenjak dari akhirat dan dunia. Peliharalah kami semua dari keburukan, Ya Allah Yang Maha Mulia

July 27, 2008

Turun naiknya Iman

eskalator

Belakangan ini rasanya sulit sekali untuk konsentrasi beribadah.  Ada-ada saja yang mengganggu konsentrasi.  Anak sekolah, uangnya dari mana? Hutang mau bayar pakai penghasilan yang mana lagi? Rasanya kesibukan setiap hari untuk menghidupi diri sudah cukup membuat stress dan sebagainya dan sebagainya.

Akhirnya setiap kali shalat yang terpikirkan adalah : "Bagaimana sekolah anak?" "Bayar uang sekolah kapan?" "Apa dipindahin aja ya?" "Kalau dipindahin anaknya bagaimana? pengaruh nggak ya?"

"Rumah kok berantakan ya?" "Kenapa harga sayur mayur naik semua ya?" "Mobil dijual aja kali ya.."

Waduh pikirannya segudang, dan semua pikiran itu tiba-tiba datang pada saat mengucapkan, "Allahu Akbar" "Bismillah..." hah, jadinya lupa sudah berapa rakaat yang dilakukan? 2? 3? kalau 2 rakaat kok tadi belum duduk antara 2 sujud? haduh.. shalay mau diulangi lagi gitu?

Wah.. memang begitulah manusia.  Iman kita terkadang naik, terkadang turun.  Sulit sekali untuk naik kelas dalam tingkat keimanan ini. Tapi usaha toh tetap harus ada, insya Allah, Allah akan mendengarkan doa kita.

"Ya Allah, jangan cabut iman dari hatiku setelah Kau tancapkan keimanan di dalamnya."

Saya membaca tulisan di blog ini, rasanya cukup bagus sebagai referensi.

July 10, 2008

Dan Umar pun Menangis...

"DALAM GELAPNYA MALAM, KITA JUSTRU DAPAT MELIHAT INDAHNYA  BINTANG"
"jangan p erna h berhenti untuk terus melakukan kebaikan dan selalu berbuat baik, karena kemegahan istanamu di surga ditentukan oleh kualitas dan kuantitas kebaikan yang kamu lakukan.."

Dan Umar pun Menangis...
P erna hkah anda membaca dalam riwayat akan Umar bin Khatab menangis?Umar bin Khatab terkenal gagah perkasa sehingga disegani lawan maupun  kawan.  Bahkan konon, dalam satu riwayat, Nabi menyebutkan kalau Syeitan pun amat segan dengan Umar sehingga kalau Umar lewat di suatu jalan, maka Syeitan pun menghindar lewat jalan yang lain. Terlepas dari kebenaran riwayat terakhir ini,yang jelas keperkasaan Umar sudah menjadi buah bibir di kalangan umat
Islam.Karena itu kalau Umar sampai menangis tentulah itu menjadi peristiwa yang menakjubkan. Mengapa "singa padang pasir" ini sampai menangis ?
Umar p erna h meminta izin menemui rasulullah. Ia mendapatkan beliau sedang berbaring di atas tikar yang sangat kasar. Sebagian tubuh beliau berada diatas tanah. Beliau hanya berbantal pelepah kurma yang keras. Aku ucapkan salam kepadanya dan duduk di dekatnya. Aku tidak sanggup menahan tangisku.
Rasul yang mulia bertanya, "mengapa engkau menangis ya Umar?"Umar menjawab, "bagaimana aku tidak menangis. Tikar ini telah menimbulkan bekas pada tubuh engkau, padahal Engkau ini Nabi Allah dan kekasih-Nya.Kekayaanmu hanya yang aku lihat sekarang ini. Sedangkan Kisra dan kaisar duduk di singgasana emas dan berbantalkan sutera".
Nabi berkata, "mereka telah menyegerakan kesenangannya sekarang juga;sebuah kesenangan yang akan cepat berakhir. Kita adalah kaum yang menangguhkan kesenangan kita untuk hari akhir.
Perumpamaan hubunganku dengan dunia seperti orang yang bepergian pada musim panas. Ia berlindung sejenak di bawah pohon, kemudian berangkat dan meninggalkannya."Indah nian perumpamaan Nabi akan hubungan beliau dengan dunia ini. Dunia ini hanyalah tempat pemberhentian sementara; hanyalah tempat berteduh sejenak, untuk kemudian kita meneruskan perjalanan yang sesungguhnya.
Ketika anda pergi ke Belanda, biasanya pesawat akan transit di Singapura.Atau anda pulang dari Saudi Arabia , biasanya pesawat anda mampir sejenak diAbu Dhabi. Anggap saja tempat transit itu , yaitu : Singapura dan Abu
Dhabi merupakan dunia ini.Apakah ketika transit anda akan habiskan segala perbekalan anda? Apakah anda akan selamanya tinggal di tempat transit itu?
Ketika anda sibuk shopping ternyata pesawat telah memanggil anda untuk segera meneruskan perjalanan anda. Ketika anda sedang terlena dan sibuk dengan dunia ini, tiba-tiba Allah memanggil anda pulang kembali ke sisi-Nya.
Perbekalan anda sudah habis, tangan anda penuh dengan bungkusan dosa anda,lalu apa yang akan anda bawa nanti di padang Mahsyar.Sisakan kesenangan anda di dunia ini untuk bekal anda di akherat.Dalam tujuh hari seminggu,mengapa tak anda tahan segala nafsu, rasa lapar dan rasa haus paling tidak dua hari dalam seminggu. Lakukan ibadah puasa senin-kamis. Dalam dua puluh empat jam sehari, mengapa tak anda sisakan waktu barang satu-dua jam untuk sholat dan membaca al-Qur'an. 8 jam waktu tidur kita....mengapa tdk kita curi 15 menit saja untuk sholat tahajud.
"Celupkan tanganmu ke dalam lautan," saran Nabi ketika ada sahabat yang bertanya tentang perbedaan dunia dan akherat, "air yang ada di jarimu  itulah dunia, sedangkan sisanya adalah akherat" .Bersiaplah, untuk menyelam di "lautan akherat".Siapa tahu Allah sebentar lagi akan memanggil kita, & bila saat panggilan itu tiba,jangankan untuk beribadah, menangis pun kita tak akan punya waktu lagi. Subhanalloh Hujamkanlah penjelasan baginda nabi SAW diatas ke dalam hati kita. Allahualam bissawab

 

Sumber : http://fareedaali.multiply.com/journal/item/84/Kesedihan_Uman_Bin_Khatab

July 4, 2008

Bantahan Adam kepada Musa

Diambil dari : http://alislamu.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1206&Itemid=35

DR. Umar Sulaiman Abdullah Al-Asyqar

 

Pengantar

Kisah ini hanya bisa diketahui melalui wahyu, karena ia berbicara tentang pertemuan yang tidak disaksikan oleh manusia. Pertemuan Adam dengan Musa. Pertemuan ini terwujud atas dasar permintaan dari Musa. Kita tidak tahu bagaimana hal ini terwujud, akan tetapi kita yakin bahwa ia terjadi karena berita Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam pastilah benar.

Pertemuan seperti ini terjadi pada Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam manakala beliau bertemu dengan para nabi dan rasul di malam isra' dan beliau shalat berjamaah dengan mereka sebagai imam di masjid Al-Aqsa. Pada saat mi'raj ke langit beliau berbincang dengan sebagian dari mereka.

Tujuan Musa dengan pertemuan itu adalah untuk berbincang-bincang langsung dengan Adam dan menyalahkannya karena Adam telah mengeluarkan dirinya dan anak cucunya dari surga lantaran dosa yang dilakukannya. Akan tetapi pada saaat itu Adam mengemukakan alasan yang membuat Musa terdiam. Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam mengakui bahwa Adam telah mengalahkan argumen Musa Alahis Salam. 

Teks Hadis

Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam Shahih keduanya dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, "Adam dan Musa berdebat di sisi Tuhan keduanya. Maka Adam mengalahkan argumen Musa. Musa berkata, 'Kamu adalah Adam yang diciptakan oleh Allah dengan Tangan-Nya. Dia meniupkan ruh-Nya kepadamu. Dia memerintahkan malaikat sujud kepadamu, dan Dia mengizinkanmu tinggal di surga-Nya. Kemudian gara-gara kesalahanmu, kamu menjadikan manusia diturunkan ke bumi.'

Adam menjawab, 'Kamu adalah Musa yang dipilih oleh Allah dengan risalah dan Kalam-Nya. Dia memberimu lauh(kepingan kayu atau batu; pent) yang berisi penjelasan tentang segala sesuatu. Dia telah mendekatkanmu kepada-Nya sewaktu kamu bermunajat kepada-Nya. Berapa lama kamu mendapatkan Allah telah menulis Taurat sebelum aku diciptakan?' Musa menjawab, '40 tahun.'

Adam bertanya, 'Apakah di sana tertulis, 'Dan durhakalah Adam kepada Allah dan sesatlah dia.(Thaha: 121)?' Musa menjawab, 'Ya.' Adam berkata, 'Apakah kamu menyalahkanku hanya karena aku melakukan sesuatu yang telah ditulis oleh Allah atasku 40 tahun sebelum Dia menciptakanku?'" Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, "Adam mengungguli argumen Musa."

Riwayat di atas adalah riwayat Muslim.

Dalam riwayat Bukhari, "Adam dan Musa saling beradu argumen. Musa berkata kepada Adam, 'Kamu Adam yang dikeluarkan dari surga karena kesalahanmu.' Adam menjawab, 'Kamu Musa yang telah dipilih oleh Allah dengan risalah dan Kalam-Nya, kemudian kamu menyalahkanku hanya karena aku melakukan sesuatu yang telah ditakdirkan atasku sebelum aku diciptakan."' Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, "Maka Adam mengalahkan dalil Musa." Ini diucapkan Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam sebanyak dua kali.

Dalam riwayat Bukhari juga, "Adam dan Musa saling berdebat. Musa berkata, 'Ya Adam, kamu sebagai bapak kami telah mengecewakan kami. Kamu membuat kami dikeluarkan dari surga.' Adam menjawab, 'Ya Musa, Allah telah mengangkatmu dengan Kalam-Nya dan Dia menuliskan untukmu dengan Tangan-Nya, apakah kamu menyalahkanku hanya karena perkara yang aku lakukan yang telah ditakdirkan oleh Allah atasku empat puluh tahun sebelum Dia menciptanku?' Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, "Maka Adam mengungguli Musa." Tiga kali. 

Takhrij Hadis

Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah dalam Kitab Ahadisil Anbiya', bab Wafat Musa, 6/440, no. 3407; dalam Kitab Tafsir, bab 'Dan Aku memilihmu untuk diri-Ku' (Thaha:41), 8/434, no. 4736; dalam Kitabul Qadar, bab dialog Adam dengan Musa, 11/505, no. 6614; di Kitabut Tauhid, bab keterangan tentang firman Allah, "Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.” (An-Nisaa: 164).

Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitabul Qadar bab debat antara Adam dan Musa, 4/2042, no. 2652.

Kisah Musa dan Malaikat Maut

Diambil dari : http://alislamu.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1219&Itemid=35

DR. Umar Sulaiman Abdullah Al-Asyqar

 

Pengantar

Musa adalah orang yang punya kedudukan (terkemuka) dan pemimpin yang mudah berinspirasi, sehingga mampu mengendalikan umat yang keras tabiatnya, yang banyak ragu-ragu dalam menghadapi berbagai perkara seperti kepemimpinan, kebijaksanaan dan bimbingan. Musa memiliki kekhususan tersendiri serta mempunyai kemampuan yang tinggi, sehingga barang siapa yang memiliki sifat semisalnya, maka tingkah lakunya dimuliakan oleh yang lainnya, dikarenakan kepribadian sesuai dengan tingkah lakunya. 

Oleh karena itu, ketika malaikat maut datang kepada Musa, kemudian meminta izin untuk mencabut nyawanya, maka Musa menampar malaikat tersebut hingga rusak matanya (mata manusia). Malaikat maut mendatangi Musa dalam wujud seorang laki-laki, kemudian Musa diberi pilihan antara berpindah ke sisi Tuhannya atau tetap hidup di dunia dalam masa yang lama, sebelum datang kepadanya kematian. Akan tetapi Musa memilih berpindah ke sisi Tuhannya, atas sulitnya kehidupan dunia dan ujiannya. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala memenuhi permohonannya. Kemudian mendekatkannya ke tanah suci sejauh lemparan batu. Sehingga kuburannya tertelah di sebelah timur tanah suci.

Teks Hadis

Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah berkata, "Malaikat maut diutus kepada Musa. Ketika dia datang, Musa menamparnya. Lalu malaikat maut kembali kepada Tuhannya dan berkata, 'Engkau telah mengutusku kepada seorang hamba yang menolak mati.' Lalu Allah mengembalikan matanya (yang rusak karena tamparan Musa). Allah berfirman kepadanya, 'Kembalilah kepada Musa. Katakan kepadanya agar dia meletakkan tangannya di punggung sapi jantan, maka bulu sapi yang tertutup oleh tangannya itulah sisa umurnya. Satu bulu satu tahun.' Musa berkata, 'Ya, Rabbi setelah itu apa?' Malaikat menjawab, 'Maut.' Musa berkata, 'Sekarang aku pasrah.' Maka Musa memohon kepada Allah agar didekatkan kepada tanah suci sejauh lemparan batu.” Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah bersabda, "Seandainya aku di sana, niscaya aku tunjukkan kuburannya kepada kalian yang berada di sisi jalan di dataran berpasir merah yang bergelombang."

Dalam riwayat Muslim, "Malaikat maut mendatangi Musa dan berkata, 'Jawablah panggilan Tuhanmu.' Rasulullah bersabda, 'Musa menempeleng mata malaikat maut hingga membuatnya rusak. Lalu malaikat maut kembali kepada Allah dan berkata, 'Engkau telah mengutusku kepada seorang hamba-Mu yang tidak mau mati. Dia telah merusak mataku’.' Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, 'Maka Allah mengembalikan matanya dan berfirman kepadanya, 'Kembalilah kamu kepada hamba-Ku, katakan kepadanya, apakah kamu ingin hidup? Jika kamu ingin hidup, maka letakkanlah tanganmu di punggung sapi jantan, rambut yang tertutup oleh tanganmu itulah umurmu yang tersisa. Satu rambut, satu tahun.' Musa bertanya, 'Seterusnya apa?' Malaikat menjawab, 'Kemudian kamu mati.' Musa berkata, 'Sekarang, ya Rabbi dari dekat.' Musa berkata, 'Matikanlah aku di dekat tanah suci sejauh lemparan batu’.' Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, “Demi Allah seandainya aku di sana, niscaya aku tunjukkan kuburnya kepada kalian di samping jalan di pasir merah.”

Takhrij Hadis

Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam Jami'ul Ushul, bab orang yang ingin dikubur di tanah suci, 3/206, no. 1339; dalam Kitab Ahadisil Anbiya', bab wafat Musa, 6/440, no. 3407. Bukhari tidak secara nyata menyatakan penisbatan Abu Hurairah terhadap hadis kepada Rasulullah. Dan Bukhari secara nyata menyebutkannya di riwayatnya dalam Kitab Ahadisil Anbiya'. Bukhari berkata, 'Ma'mar memberitakan kepada kami dari Hammam, Abu Hurairah menyampaikan kepada kami dari Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam.

Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitabul Fadhail bab keutamaan Musa, 4/1842.

Penjelasan Hadis

Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam memberitakan kepada kita bahwa di antara kemuliaan para Nabi di sisi Allah adalah bahwa mereka diberi pilihan menjelang kematian, antara hidup di dunia atau berpindah ke Rafiqil A'la. Dalam beberapa hadis shahih dari Aisyah bahwa Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam diberi pilihan, dan beliau memilih Rafiqil A'la.

Allah mengutus malaikat maut yang menjelma dalam wujud seorang laki-laki kepada Musa. Malaikat meminta agar Musa menjawab panggilan Tuhannya. Ini berarti bahwa ajalnya telah tiba dan saatnya telah dekat. Musa memiliki temperamental yang cukup tinggi, karenanya dia menempeleng wajah malaikat maut dan merusak matanya(mata manusia). Karena seandainya dia dalam wujud aslinya, yakni malaikat, niscaya Musa tidak akan mampu menempelengnya. Tidak akan bisa!

Malaikat maut kembali kepada Allah untuk mengadukan apa yang diperolehnya dari Musa. Lalu Allah menyembuhkan matanya dan menyuruhnya kembali kepada Musa, agar meletakkan tangannya di atas punggung sapi, kemudian rambut-rambut yang tertutup oleh tangannya itu dihitung dan satu helai rambut satu tahun. Maka ajal Musa sama dengan jumlah rambut itu. Dengan itu Musa mendapatkan kehidupan yang panjang. Jika Musa melakukan hal itu, niscaya dengan tidak menutup kemungkinan dia tetap hidup sampai hari ini.

Akan tetapi, manakala Musa bertanya kepada malaikat maut tentang apa yang ada di balik kehidupan panjang tersebut, dia dijawab, 'Maut." Maka Musa memilih yang dekat. Apa yang ada di sisi Allah bagi para rasul dan nabi-Nya, serta hamba-hamba-Nya yang shalih, adalah lebih baik dan lebih kekal.

Jika roh para syuhada berada di perut burung hijau yang berterbangan di kebun-kebun surga, memakan buah-buahnya, minum dari sungainya dan berlindung di lampu-lampu yang bergantung di atap 'Arasy Allah, maka kehidupan para nabi dan rasul adalah di atas semua itu. Apa yang didapat oleh Musa seandainya dia hidup sampai hari ini, dia pasti memikul kesulian-kesulitan dunia dan ujian-ujiannya. Dia akan menyaksikan peristiwa-peristiwa besar yang terjadi sepanjang sejarah yang membuat pikiran sibuk dan hati bersedih. Bukankah lebihbaik dia berada di Rafiqil A'la dengan para rasul dan para nabi menikmati kenikmatan surga, daripada hidup di rumah kesengsaraan dan ujian.

Musa diminta untuk memilih dan dia telah memilih kembali kepada Allah daripada kehidupan yang lama dan panjang. Apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal dan akhirat lebih baik daripada dunia.

Musa memohon kepada Allah pada waktu ruhnya dicabut agar didekatkan kepada tanah yang suci sejuah lemparan batu.

Permintaan Musa ini adalah wujud kecintaannya kepada tanah suci yang bercokol di dalam jiwanya, sehingga dia meminta dikubur di perbatasannya, dekat dengannya. Tetapi Musa tidak meminta kepada Allah agar mematikannya di tanah suci, karena dia mengetahui bahwa Allah mengharamkannya atas generasi di mana Musa berasal. Ini sebagai hukuman atas ketidaktaatan mereka kepada perintah Tuhan mereka agar masuk ke tanah suci seperti yang telah Allah tulis untuk mereka. Mereka berkata, "Pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja." (Al-Maidah: 24). Lalu Allah menulis atas mereka kesesatan selama empat puluh tahun di gurun Sinai.

Allah menjawab doa Musa. Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam telah menyampaikan kepada kita bahwa kuburan Musa terletak di pinggiran tanah suci di dataran pasir merah. Seandainya beliau di sana, niscaya beliau menunjukkan tempat itu kepada sahabat-sahabatnya.

Shalat Musafir

Diambil dari : http://alislamu.com/index.php?option=com_content&task=view&id=192&Itemid=6

Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

 

1.   Hukum Shalat Qashar (Memendekkan Shalat)

Qashar (memendekkan shalat) wajib atas musafir ketika mengerjakan shalat dzuhur, ‘ashar dan ‘isya'. Sebagaimana yang ditegaskan firman Allah SWT, "Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat, jika kamu takut diserang orang-orang kafir" (An-Nisaa 101).

Dari Ya'la bin Umayyah bahwa ia pernah bertanya kepada Umar bin Khattab perihal ayat ini, ia berkata, "INKHIFTUM AN YAFTINAKUMUL LADZIINA KAFARUU(Jika kamu takut diserang orang-orang kafir), padahal orang-orang dalam kondisi sangat aman." Maka Umar menjawab, "Saya (juga) heran seperti apa yang kamu herankan, kemudian saya bertanya kepada Rasulullah saw. tentang hal tersebut, lalu beliau bersabda, "Itulah shadaqah yang Allah shadaqahkan kepada kalian, maka terimalah shadaqah-Nya" (Shahih: Shahihul Jami' no: 3762, Muslim I: 478 no: 686 serta Tirmidzi IV: 309 no: 5025, ‘Aunul Ma'bud IV 63 no 1187, Nasa'i III no 116, Ibnu Majah I 339 no. 1065)). 

Dari Ibnu Abbas r.a berkata, "Allah telah memfardhukan shalat melalui Nabimu saw. ketika bermukim (tidak bepergian) empat raka'at, ketika dalam perjalanan dua raka'at, ketika dalam peperangan satu raka'at." (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 876, Nasa'i III: 118, Muslim I: 479 no: 687,'Aunul Ma'bud IV: 124 no: 1234 dan Ibnu Majah I: 339 no: 1068 tanpa kalimat terakhir). 

Dari Umar r.a, ia berkata, "Shalat musafir dua raka'at, shalat Jum'at dua raka'at, shalat idul fitri dan idul adha dua raka'at, sempurna tidak qashar menurut Muhammad saw." (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 871, Nasa'i III: 183 Ibnu Majah I: 338 no: 1063).

Dari Aisyah r.a berkata, "Shalat, pada awal difardhukannya dua raka'at, lalu (dua raka'at itu) ditetapkan sebagai shalat safar dan disempurnakan (untuk) shalat orang yang muqim (menjadi empat raka'at)." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 569 no: 1090, Muslim I: 478 no: 685,'Aunul Ma'bud IV: 63 no: 1186, dan Nasa'i I: 225). 

Dari Ibnu Umar r.a berkata, aku senang menemani Rasulullah saw. dalam perjalanan, beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at hingga wafat, menemani Abu Bakar, ia tidak pernah menambah atas dua rakaat sampai wafat, menemani Umar ia tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai meninggal dunia kemudian menemani Utsman, ia tidak pernah menambah atas dua rakaat sampai wafat, sedangkan Allah berfirman, "Sungguh pada diri Rasulullah itu terdapat suri tauladan yang baik" (Muttafaqun ‘alaih Muslim I 479 no 689, ‘Aunul Ma'bud IV: 90 no: 1211, Fathul Bari II: 577 no: 1102, Nasa'i III: 123). 

2.   Jarak Perjalanan Yang Dibenarkan Untuk Mengqashar Shalat
Para ulama berbeda pendapat tentang batas jarak perjalanan yang diperbolehkan untuk mengqashar shalat dengan perbedaan yang banyak, sampai Ibnu Mundzir dan lainnya, dalam kaitannya dengan masalah ini, meriwayatkan lebih dan dua puluh pendapat. Namun, yang rajah dan kuat menurut hemat penuturan ialah pendapat yang menegaskan, "Dalam persoalan ini sama sekali tidak ada batasan yang jelas, kecuali pengertian safar menurut bahasa Arab yang dengan bahasa tersebut Rasulullah sampaikan kepada para sahabat. Sebab, andaikata jarak perjalanan yang dibenarkan untuk mengqashar shalat ini sudah ditentukan dengan jelas, selain yang kami sebutkan, tentu Rasulullah tidak akan lupa menyampaikannya kepada kita, dan padahal tidak mungkin pula para sahabat lupa untuk menanyakan kepadanya mengenai jarak perjalanan yang diperbolehkan qashar ini, dan tidak mungkin pula mereka sepakat untuk tidak menyampaikan ketentuan batas jarak ini kepada kita semua."(al-Muhalla V:21). 

3.   Kawasan Yang Dibenarkan Mulai Mengqashar Shalat
Jumhur ulama berpendapat, bahwa permulaan bolehnya mengqashar shalat ini dimulai ketika sudah meninggalkan daerah tempat ia bermukim dan keluar dan batas negeri, kampung dan yang demikian ini merupakan syarat, dan ia tidak boleh shalat sempurna sebelum masuk pertama yang ada di daerahnya. Ibnu Mundzir berkata, "Aku tidak mengetahui bahwa Nabi mengqashar shalat dalam salah satu safarnya, ketuali setelah keluar dan Madinah. Anas menyatakan,  "Aku pemah shalat dzuhur bersama Nabi di Madinah empat raka'at dan Dzil Hulaifah dua raka'at." (Fiqih Sunnah I 240-24 1, Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 569 no: 1089, Muslim I: 480 no: 690, ‘Aunul Ma'bud IV: 69 119, Tirmidzi II: 29 no: 544 dan Nasa'i I: 235)."

Yang dimaksud dengan "Dzil Huulaifah dua raka'at", ini ialah shalat ‘ashar, sebagaimana yang dijelaskan riwayat Imam Bukhari. 

4.   Apabila Seorang Musafir Tinggal Di Negeri Orang Karena Ada Suatu Kepentingan Dan Ia Tidak Berniat Muqim, Ia Harus Mengqashar Sampai Ia Keluar Darinya
Dari Jabir r.a., berkata, "Nabi saw. tinggal di Tabuk selama dua puluh hari dan beliau mengqashar shalat." (Shahih: Shahih Abu Daud no: 1094 dan ‘Aunul Ma'bud IV 102 no: 1223). 

Ibnul Qayyim menegaskan, "Rasulullah tidak pernah bersabda kepada umatnya: Tidak boleh seorang mengqashar shalat, bila menetap sementara lebih dari dua puluh hari, namun secara kebetulan Rasulullah bermukim hanya sebatas hari tersebut." (Fiqhus Sunnah I: 241). 

Dari manakala ia berniat muqim (di suatu daerah), maka setelah mengqashar shalatnya selama sembilan belas hari, selanjutnya ia harus shalat secara sempurna, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, "Nabi menetap untuk sementara selama sembilan belas hari dengan mengqashar (shalat), maka kami pun apabila safar selama sembilan belas hari kami shalat qashar dan jika lebih dari itu kami shalat sempurna." (Shahih: Irwa-ul GhaIil no: 575, Fathul Bari II: 561 no: 1080, Tirmidzi 11 31 no: 547, Ibnu Majah I: 341 no: 1075, ‘Aunul Ma'bud IV: 97 no: 1218 dengan lafadz, "SAB'A ‘ASYRATA (= Tujuh belas hari)"). 

5.   Menjama' Dua Shalat
Sebab-sebab dibolehkannya menjama' shalat ialah:

1. Safar (karena bepergian)
Dari Anas r.a. berkata, "Adalah Rasulullah saw.  apabila akan bepergian sebelum matahari bergeser ke arah barat, beliau menangguhkan shalat dzuhur kemudian (setelah tiba waktu ashar beliau singgah (di suatu tempat), lalu menjama' keduanya dan apabila matahari tergelincir sebelum berangkat, maka beliau shalat dzuhur, kemudian berangkat." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 583 no: 1112, Muslim I: 489 no: 704, ‘Aunul Ma'bud IV : 58 no: l206danNasa'i I:284).  

Dari Muadz r.a.  bahwa Nabi saw. pada perang Tabuk apabila akan bepergian sebelum matahari tergelincir bergeser ke arah barat, Rasulullah mengakhirkan shalat dzuhur hingga menjama'nya dengan shalat ashar, beliau mengerjakan keduanya secara jama'. Apabila akan berangkat sebelum maghrib Rasulullah mengakhirkan hingga mengerjakannya dengan shalat isya' yaitu menjama'nya dengan maghrib dan apabila akan berangkat setelah maghrib, Rasulullah menjama' shalat isya dengan shalat maghrib." (Shahih: Shahih Abu Daud no: 1067, al-Fathur Rabbani V: 120 no: 1236, ‘Aunul Ma'bud IV: 75 no: 1196 dan Tirmidzi II: 33 no: 551). 

Dari Mu'adz r.a. bahwa para sahabat pada perang Tabuk pergi bersama Rasulullah SAW, maka Rasulullah SAW menjama' antara dzuhur dengan ashar, dan maghrih dengan isya', pada suatu hari Rasulullah mengundurkan shalat ashar, kemudian pergi lalu menjama' antara dzuhur dengan ‘ashar, kemudian masuk (tempat istirahat), kemudian pergi (lagi), lalu menjama' shalat magrib dengan shalat isya'." (Shahih : Shahih Abu Daud no: 1065, ‘Aunul Ma'bud IV : 72 no: 1194, Nasa'i I : 284, Separoh pertama diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Ibnu Majah, yaitu Muslim I: 490 no: 706 dan Ibnu Majah I : 340 no: 1070). 

2. Hujan
Dari Nafi' bahwasanya Abdullah bin Umar, bila para penguasa menjama' shalat antara magrib dan isya' dalam suasana huan, dia menjama' (kedua shalat itu) bersama mereka. 

Dari Hisyam bin Urwah bahwa bapaknya, Urwah dan Sa'id bin al Musayyib serta Abu Bakar bin Abdurrahman bin al-Harist bin Hisyam bin al-Mughirah al-Makhzumi pernah menjamak antara maghrib dengan isya' pada malam turunnya hujan, jika mereka memang menjamak antara kedua shalat dan (tak seorangpun di antara) mereka yang tidak mengingkari perbuatan hal 102:328). 

Dari Musabin Uqbath bahwa Umar bin Abdul Aziz menjama' shalat maghrib dengan shalat isya bila turun hujan, dan bahwa Sa'id bin al'Musayyab, Urwah bin az-Zubair, Abu Bakar bin Abdurrahman (menjama' shalat bersama mereka), dan para ulama pada masa itu shalat bersama mereka (para penguasa), namun mereka mengingkarinya." (Shahih; Irwa-ul Ghalil III: 40 dan Baihaqi III: 168-169). 

Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, "Rasulullah saw. menjama' shalat dzuhur dengan ashar dan maghrib dengan isya' dalam kondisi aman dan tidak dalam safar." (Shahih: Shahihul Jami'us Shaghir no: 1068). 

Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, "Rasulullah saw.  menjama' antara dzuhur dengan ashar dan magh'rib dengan isya' di Madinah bukan karena takut dan bukan (pula) karena hujan." (Shahih: Shahihul Jami'us Shaghir no: 1070, Muslim I: 489 no: 705, Nasa'i 1: 290, ‘Aunul Ma'bud IV: 77 no: 1198 dengan tambahan pada akhirnya). 

Riwayat di atas menunjukkan bahwa menjama' shalat karena hujan sudah dikenal pada masa Nabi saw., andaikata tidak demikian tentu tidak bermanfaat menafikan hujan sebagai sebab bolehnya menjama' shalat. Demikian menurut penjelasan Syaikh al-Albani dalam Irwa-ul GhaIil III: 40. 

3. Kepentingan yang Mendadak
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, "Rasulullah saw. menjama' shalat dzuhur dengan shalat ashar di Madinah bukan karena takut dan bukan (pula) karena safar." Abu Zubair bertutur, "Saya pernah bertanya kepada Sa'id, "Mengapa Rasulullah berbuat demikian itu?", maka jawabnya, "Saya pernah bertanya kepada lbnu Abbas sebagaimana yang engkau tanyakan kepadaku ini, maka jawab Ibnu Abbas, "Rasulullah tidak ingin memberatkan seorangpun dari kalangan ummatnya." (Shahih: Shahihul Jami'us Shaghir no: 1068). 

Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, "Rasulullah saw.  menjama' antara shalat dzuhur dengan ‘ashar dan shalat maghrib dengan ‘isya' di Madinah bukan karena takut dan bukan (pula) karena hujan." Ibnu Abbas ra ditanya, "Apa yang beliau inginkan itu?" Jawabnya, "Beliau ingin tidak memberatkan ummatnya." (Shahih;Shahihul Jami' no: 1070, Muslim I:489 no:705, Nasa'i I:290, ‘Aunul Ma'bud IV:77 no:1198 dengan tambahan di akhirnya).

Imam Nawawi r.a.  dalam Syarah Muslim V:219 menulis, "Sejumlah ulama' berpendapat bolehnya menjama' diwaktu muqim karena ada hajat bagi orang yang tidak menjadikannya sebagai kebiasaan. Ini adalah pendapat Ibnu Sirin dan Asyhab, salah seorang murid Imam Malik, dan diriwayatkan juga oleh al-Khattabi dari al-Qaffal dan asy-Syasyi dari kalangan Syafi'i dari Abu Ishaq al-Marwazi dari kelompok ahli hadits dan pendapat ini dipilih oleh Ibnul Mundzir dan diperkuat oleh pernyataan Ibnu Abbas, "Rasulullah tidak memberatkan ummatnya, yaitu beliau tidak menjadikan sakit dan tidak pula lainnya sebagai illat (alasannya) Wallahu'alam."

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm.288-2958.

July 3, 2008

Orang yang Memperolok Agama Allah

Beberapa waktu lalu, Saya kaget melihat komen yang masuk dalam blog ini. Inisialnya "acuhtakacuh" entah siapa di belantara dunia maya yang menuliskan kata-kata yang sangat menyesakkan dada.  Dia menuliskan komentar pada blog ini, dengan teramat sangat berani, penghinaan terhadap Allah dan Rasulnya.  Untuk menuliskannya disini, saya pun tidak berani.  Komentar tersebut sudah saya hapus. 

Dia memberikan masukan bahwa betapa salahnya Islam dan para penganutnya dan betapa tersesatnya Saya dan para penganut Islam lainnya yang sudah menyembah Allah dan mempercayai Rasulullah Muhammad saw.  Dia mengatakan bahwa Saya harus membuka mata dengan mengunjungi www.indonesia.faithfreedom.org Semoga apa-apa yang dia tulis selanjutnya menjadikannya semakin tersesat dan dibiarkan oleh Allah... dipanjangkan umurnya sampai usia uzur dan terus tersessat selamanya. 

Saya pernah mengunjungi site tersebut, duluuuu beberapa tahun yang lalu.  Sempat terpancing emosi, melihat penghinaan terang-terangan yang ditujukan langsung kepada Allah SWT dan Rasullulah Muhammad saw.  Lama terpancing untuk ikut berdebat akhirnya Saya sadar, bahwa itu tidak ada gunanya. Kenapa? Karena Saya anggap orang-orang yang berkomentar disana itu adalah orang yang pengecut, yang tidak berani menampakkan jati diri yang sebenarnya.  Kalau berani lakukan lah hal seperti yang dilakukan oleh Ahmed Deedat Alm.  Seorang ulama Islam yang melakukan perdebatan tentang perbandingan injil dan Quran secara terang-terangan, menunjukkan diri pada seluruh dunia.  Faith freedom? Isinya hanya caci maki dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab terhadap Islam, tapi tidak agama lain.  Artinya...

Jadi, untuk muslim janganlah terpancing jika menemukan kata-kata yang tidak senonoh, karena sebagai seorang mukmin, Allah telah menetapkan sikap yang harus kita ambil jika menjumpai orang yang memperolok-olokkan ayat-ayat Allah. Yaitu, Allah SWT berfirman, "Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan itu), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu)." (Al-An'am: 68).

Dalam ayat lain, Allah berfirman, "Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia." (Al-An'am: 70).

Menggugurkan Kandungan Menurut Perspektif Fiqh Islam

oleh : Khusnul Yaqin

diambil dari : http://www.alsofwah.or.id/cetakanalisa.php?id=428&idjudul=415

Bagian Keempat
Pendapat Yang Rajih (Kuat)


Sesungguhnya pentarjihan terhadap pendapat tertentu dalam hukum pengguguran kandungan menurut fiqih Islam, beranjak dari batas paling bawah yang disepakati oleh para fuqaha pendahulu kita. Saya tidak yakin ada seorang pembahas muslim yang boleh melampaui batas itu dalam membahas masalah ini, yaitu nash-nash al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang disepakati oleh ulama tentang keshahihannya dan disepakati oleh fuqaha untuk diambil sebagai dalil, yaitu hadits tentang peniupan ruh yang telah disebutkan berkali-kali.
Seperti yang telah kami kemukakan, para fuqaha mengambil dari hadits ini bahwa kehidupan manusia mulai sejak peniupan ruh dan tidak dimulai sebelumnya. Sedangkan makhluk yang diciptakan oleh Allah di dalam perut ibu sebelum peniupan ruh tidak disebut manusia, maka tidak seharusnya dia diberi karakteristik dan hukum manusia serta tidak harus disamakan penghormatan dan penjagaannya dengan manusia.
Dari sini, kesepakatan mereka, seperti yang dijelaskan pada bagian ketiga,

bahwa pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh tidak dianggap sebagai pembunuhan, melainkan merusak makhluk yang dipersiapkan menjadi manusia atas kehendak Allah.


Ketetapan yang telah disepakati oleh para ulama pendahulu kita inilah yang akan kami jadikan sebagai titik tolak untuk mentarjih hukum pengguguran kandungan. Karena benar tidaknya dalam tarjih sangat tergantung kepada titik tolak dan kaidah yang dijadikan sandaran di atasnya. Maka dari itu kami berpendapat –sebelum menetapkan pendapat yang rajih- untuk memperkuat titik tolak tersebut, yaitu dengan menambahkan dalil-dalil dan bukti-bukti bahwa sosok seorang manusia itu bermula setelah janin berusia empat bulan sejak berada di dalam perut ibunya, bukan sebelumnya. Maka menurut pendapat kami:
1. Di dalam hadits tentang peniupan ruh, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kejadian seorang itu dikumpulkan di dalam perut ibunya selama empat puluh hari. Setelah genap empat puluh hari kedua, terbentuklah segumpal darah beku. Manakalah genap empat puluh hari ketiga, berbahlah menjadi segumpal daging. Kemudian Allah Ta’ala mengutus seorang malaikat untuk meniupkan roh serta memerintahkannya supaya menulis empat perkara, yaitu ditentukan rizki, waktu kematian, amal serta nasibnya, baik mendapat kecelakaan atau kebahagiaan.” (Lihat Fathul Bari, juz XI, hal. 416 dan Shahih Muslim dengan Syarah an-Nawawiy, juz XVI, hal. 195).
Hadits Rasulullah di atas memberikan batasan tentang fase-fase penciptaan manusia walaupun tidak menjelaskan karakteristik dari masing-masing fase. Namun yang dapat kita ambil faedahnya –dalam pembahasan kita tentang awal kepribadian manusia ini- adalah batas waktu yang disebutkan di dalam hadits itu menunjukkan dua hal:
Pertama, penulisan takdir yang berkaitan dengan manusia yang hendak diciptakan, baik dari segi rezeki, ajal, amal, kesengsaraan maupun kebahagiaan.
Kedua, tentang peniupan ruh.
Maksud umum dari batasan waktu itu adalah bahwa sifat-sifat kemanusiaan tidak diberikan oleh Allah kepada makhluk yang doletakkan oleh Allah di dalam perut ibunya sebelum dia sampai pada umur empat bulan pertama dari umur janin.
Maksud umum seperti inilah yang dijadikan sandaran oleh para fuqaha terdahulu yang kemudian mereka tegaskan bahwa sifat-sifat kemanusiaan pada janin itu ada setelah ditiupkan ruh kepadanya. (Lihat Nail al-Authar, asy-Syaukani yang dinukil dari Imam Syafi’i, pendapat yang hampir sama dengan pendapat ini di dalam juz. !V, hal. 83.
Berikut akan kami rinci maksud global yang sudah dianggap cukup oleh para ulama terdahulu tersebut.
Takdir Allah adalah pengetahuan-Nya tentang apa yang akan terjadi pada makhluk di masa mendatang. Dan takdir adalah undang-undang yang pasti, yang ditetapkan oleh Allah terhadap wujud ini, serta aturan-aturan umum yang mengaitkan antara sebab dan akibatnya, seperti yang difirmankan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala, artinya “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (al-Qamar; 49).
Sedangkan qadha adalah tindakan Allah dalam mewujudkan segala sesuatu sesuai dengan dan kehendaj-Nya.
Adapun takdir Allah , seperti yang nampak, telah ada dan tertulis di dalam Lauhul Mahfuzh sebelum takdir terjadi dan sebelum adanya sebab musababnya, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah Subhaanu Wa Ta’ala. (Lihat, Ibnul Qayyim, ar-Ruh, hal. 217).
Para Malaikat adalah tentara Allah yang menjalankan takdir yang telah Allah tetapkan dan mereka tidak mengetahui takdir itu kecuali yang telah diberitahukan oleh Allah kepada mereka. Ketika Allah ingin menciptakan makhluk, maka dia menunjukkan takdirnya terhadap mekhluk itu kepada malaikat agar dia melaksanakannya. Lalu para malaikat itu mulai menjalankan takdir itu sejak awal keberadaan makhluk tersebut. Jika pengetahuan tentang takdir itu sudah dilaksanakan, maka keluarlah dia dari wilayah keghaiban. Hal demikian ini berlaku pada setiap makhluk. Jadi takdir manusia telah tertulis di dalam Lauhul Mahfuzh sebelum adanya kenyataan dan sebelum dikhabarkan kepada malaikat. Setiap manusia ada seorang malaikat yang diperintahkan oleh Allah agar mengatur masalah masalah wujudnya pada setiap fase penciptaannya. Malaikat itulah yang menjalankan takdir Allah yang terulis di dalam Lauhul Mahfuzh itu. Untuk menjalankan takdir itu, Allah membekali dengan program-program takdir yang berkaitan dengan setiap manusia sebelum terlaksananya takdir iru, agar penerapan takdir itu sesuai dengan program yang telah direncanakan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala.
Berdasarkan kenyataan yang telah disebutkan oleh syari’at di atas, maka tidak mungkin ada manusia sebelum adanya malaikat yang dibekali pengetahuan tentang takdir yang berkaitan dengannya, baik masalah ajal, rezeki, amal, kesengsaraan, maupun kebahagiaan.
Adapun hadits yang kita mencoba perbincangkan maknanya di atas, adalah hadits shahih yang tidak diperselisihkan kekuatannya. Hadits itu menjelaskan bahwa Allah mengutus seorang malaikat yang menjadi wakilnya untuk menjalankan takdir-Nya pada manusia setelah janin berusia empat bulan di dalam perut ibunya, lalu dia membekalinya dengan rincian-rincian takdir yang berkaitan dengan orang tersebut. Malaikat tersebut akan sebabtiasa memperhatikan nya dan akan memberikan takdirnya sejak awal kehidupannya hingga ajalnya tiba. Lalu malaikat itu akan memberikan rezeki yang telah ditetapkan kepadanya walaupun hanya setetes air susu yang dimunum dari tubuh ibunya hingga akhirnya ajal menjemputnya, walaupun dia hanya sempat hidup beberapa saat di dalam perut ibunya. Malaikat itu juga yang menulis untuk melakukan sesuatu walaupun hany gerakan-gerakan sederhana di dalam perut ibunya.
Dari pandangan di atas, kita bisa mengatakan bahwa kehidupan manusia bermula sejak peniupan ruh, seperti yang dijejaskan di dalam hadits, yang diwakilkan peniupannya kepada malaikat dan untuk menetapkan serta menjalankan takdirnya pada manusia setelah empat bulan sejak awal terbentuknya janin. Mungkin peniupan ruh ini terjadi pada hari kesepuluh yang datang setelah empat bulan, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Abbas. (Tafsir al-Qurtubi, juz II, hal. 6).
Seandainya sosok seorang manusia dalam makna yang mendetil telah bermula sebelum itu, atau sejak pembuahan sel telur misalnya, tentu Allah tidak terlambat dalam mengutus malaikat dan malaikat tidak terlambat dalam bertanya tentang tugas-tugasnya yang terpenting.
Kesimpulan yang diambil di atas bukan berarti menafikan adanya takdir Allah dan pelaksanaan malaikat pada sel telur, baik yang telkah dibuahi (zigot) maupun yang belum, sel sperma, zigot, segumpal darah dan segumpal daging, tetapi takdir yang ditetapkan pada masa-masa itu bukanlah takdir yang ditetapkan Allah pada masa-masa setelah janin berusia empat bulan, melainkan takdir yang ditetapkan oleh Allah pada makhluk yang dijadikan oleh Allah sebagai opersiapan untuk menciptakan manusia. Jika ditetapkan bahwa makhlkuk itu mati sebelum peniupan ruh, maka dia tidak disebut manusia, dan dia belum mempunyai takdir kemanusiaan.
2. Pandangan dalam menafsirkan hadits Ibnu Mas’ud semacam ini, diperkuat oleh hadits shahih lain yang juga diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, yaitu hadits Anas bin Malik dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala mengutus Malaikat ke dalam rahim. Malaikat berkata, “Wahai Tuhan! Ia sudah berupa darah beku. Begitu juga setelah berlalu empat puluh hari, Malaikat berkata lagi, Wahai Tuhan! Ia sudah berupa segumpal daging. Apabila Allah Ta’ala membuat keputusan untuk menciptakaannya menjadi manusia, maka Malaikat berkata, Wahai Tuhan!Orang ini akan diciptakan menjadi laki-laki atau perempuan? Celaka atau bahagia?Bagaimana rezekinya serta bagaimana pula ajalnya? Semuanya dicatat semasa dia berada di dalam perut ibunya.” (Lihat Fathul Bari, juz XI, hal. 116 dan Shahih Muslim dengan Syarah an-Nawawiy, juz XVI, hal. 195).
Malaikat yang bertugas pada rahim –seperti yang dipaparkan dengan jelas- tidak bertanya kepada Tuhan-Nya tentang takdir manusia kecuali setelah janin menginjak fase perkembangan ketiga; nuthfah, ‘alaqah, muddghah dan fase setelah menginjak usia empat bulan, seperti yang dijelaskan oleh hadits pertama. Setelah malaikat itu tahu bahwa Allah hendak menjadikannya manusia pada fase itu, maka dia menetapkan takdirnya sebelum manusia, yang berkaitan dengan ajal, sifat-sifat, rezeki, macam dan sebagainya.
Inilah yang dimaksudkan dengan kata “yaqdhi khalqahu” (membuat keputusan untuk menciptakannya). Makna qadha’ secara bahasa berarti menciptakan dan menetapkan. Dikatakan qadhahu, jika dia menciptakan dan menetapkannya. Diantaranya adalah firman Allah di dalam surat Fushilat, artinya, “Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa.” (QS. al-Fushilat: 12).
3. Pemahaman terhadap hadits Ibnu Mas’ud ini akan lebih kuat lagi jika kita melihat ayat-ayat al-Qur’an lainnya yang menjelaskan tentang perkembangan penciptaan manusia di dalam perut ibunya. Misalnya saja kita ambil ayat kelima dari surat al-Hajj, yang mana Allah berfirman, artinya, “Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan. Dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang dahulunya telah diketahui.“ (QS. al-Hajj: 5)
Penjelasan Allah di atas merupakan alas an yang kuat untuk menyerang orang-orang yang mengingkari hari kebangkitan yang pada dasarnya adalah mengeluarkan kehidupan dari kematian. Allah yang menciptakan Adam dari tanah –benda mati- dan yang mencitakan keturunannya dari air mani, segumpal darah, dan segumpal daging, atau menciptakan kehidupan manusia melalui beberapa fase yang belum memiliki kehidupan yang bersifat manusiawi ini. Sungguh yang menciptakan semua ini, tentu mampu membangkitkannya kembali berdasarkan hukum logika dan rasio.
Seandainya pada fase-fase pertama dalam perkembangan janin itu sudah disebut manusia, tentu maknanya tidak relevan, baik dari segi bahasa –karena akan ditakwilkan bahwa Allah mencipatakan manusia dari manusia-, maupun dari segi pengambilan dalilnya. Walaupun pada dasarnya Allah mampu menciptakan kehidupan manusia, baik dari benda mati seperti tanah, maupun dari kehidupan lain yang lebih rendah dari kehidupan manusia.
Adapun penciptaan manusia yang sempurna dari manusia yang kurang sempurna –jika benar ungkapan ini- juga menunjukkan atas kekuasaan Allah. Namun demikian, orang-orang yang mengingkari hari kebangkitan itu, tetap tidak percaya karena mereka berdiri di atas pandangan tidak mungkin membangkitkan kehidupan setelah kematian. Namun dari pandangan di atas, jelaslah bahwa pemahaman terhadap hadits Ibnu Mas’ud itu selaras dengan apa yang dijelaskan di dalam al-Qur’an.
Pemahaman ini juga diperkuat dengan adanya ayat-ayat lain di dalam al-Qur’an, yaitu firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala, artinya, “Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakaannya, dan meyempurnakannya, lalu Allah menjadikan dari padanya sepasang laki-laki dan perempuan.”(al-Qiyamah: 37-39).
Allah menjelaskan penciptaan setelah fase zigot dan segumpal darah. Urutan ayat tersebut disambung dengan huruf fa’ yang menunjukkan atas proses penciptaan setelah fase zigot dan segumpal darah, yaitu fase segumpal daging (mudghah) yang akhirnya sempurnalah penciptaan janin agar siap untuk ditiupkan ruh kepadanya dan siap menerima sifat-sifat kemanusiaan. Kehidupan, gerakan, dan awal pembentukan yang terjadi sebelum peniupan ruh yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk lainnya itu ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya yang berbunyi, artinya, “Segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna,” pada ayat ke lima dari surat al-Hajj. Adapun fase mudghah (segumpal daging), seperti yang dijelaskan di dalam hadits, datang pada janin sebelum masa peniupan ruh.
Penjelasan ini juga didukung oleh firman Allah dalam surat al-Mukminun, artinya “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik." (QS. al-Mukminun: 12-14).
Ibnu Abbas, Abu al-Aliyah dan adh-Dhahhak bin Zaid berkata, “Kehidupan itu terjadi setelah peniupan ruh, padahal sebelumnya adalah benda mati. (Tafsir al-Qurtubi, juz. XII, hal. 109). Hal ini diperkuat oleh pemahaman Umar dan Ali terhadap ayat ini, seperti yang dijelaskan di dalam sebuah riwayat bahwa Umar, Ali, Zubair, dan Sa’ad singgah di rumah salah seorang sahabat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka menyinggung masalah mengeluarkan mani di luar rahim. Mereka berkata, Tidak apa-apa”. Lalu salah seorang dari mereka berkata, “Mereka mengira bahwa itu sama dengan pembunuhan kecil.” Lalu Ali berkata, “Tidak dikatakan membunuh, hingga janin itu melewati tujuh tahap; hingga menjadi saripati tanah, menjadi air mani, lalu menjadi segumpal darah, menjadi segumpal daging, lalu menjadi rulang-tulang, kemudian menjadi daging dan akhirnya menjadi ciptaan yang lain.” Lalu Umar berkata, “Kamu benar, semoga Allah memanjangkan umurmu.” (Syarah Fath al-Qadir, juz. II. Hal. 494). Pemahaman Al;I tersebut menunjukkan bahwa menggugurkan jiwa (ruh) tidak terjadi pada janin kecuali setelah janin itu melampui semua fase-fase perkembangan tersebut.
4. Sebagian besar Fuqaha yang mensyarah hadits Ibnu Mas’ud, menafsirkan kalimat peniupan ruh itu dengan sebab yang dengannya Allah mengawali kehidupan yang diberi sifat-sifat kemanusiaan pada janin, walaupun sebagian besar dari mereka tidak secara terus terang menolak adanya kehidupan yang muthlak sebelum adanya sebab tersebut.
Al-Qurthubi di dalam tafsirnya, mengatakan, “Sesungguhnya makna sabda Rasulullah, “Ditiupkan ruh kepadanya,” bahwa peniupan itu menjadi sebab penciptaan kehidupan yang manusiawi pada janin dan ini terjadi karena diciptakan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala. (Tafsir al-Qurthubi, juz. XII, hal. 6)
Ibnu Hajar di dalam Fath al-Bari, menafsirkan ruh dengan mengatakan, “Pada dasarnya peniupan berarti mengeluarkan angin dari mulut peniup agar masuk ke dalam obyek yang ditiup. Akan tetapi yang dimaksud dengan peniupan itu bila disandarkan kepada Allah adalah firman-Nya “kun fayakun” (jadilah, maka jadilah ia), (Fath al-Bari, juz. XI, hal. 6) atau jadilah manusia maka jadilah dia seperti yang diperintahkan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala.
Ibnul Qayyim al-Jauziyah berpendapat bahwa janin mempunyai dua kehidupan:
Pertama, seperti kehidupan tumbuhan yang diciptakan Allah pada janin sebelum peniupan ruh. Pengaruh dari kehidupan ini bahwa janin itu bisa tumbuh dan makan walaupun tanpa kehendaknya.
Kedua, kehidupan manusiawi yang terjadi pada janin setelah ditiupkan ruh kepadanya. Pengaruhnya, janin itu bisa merasa dan bergerak menurut kehendaknya. (Ibnul Qayyim, at-Tibyan fi Aqsam al-Qur’an, hal. 255)
5. Di antara yang juga menguatkan argumentasi para ulama yang mengatakan bahwa peniupan ruh pada janin merupakan sebab janin menjadi sosok seorang manusia, adalah keadaan ruh yang pertama kali ditiupkan kepada manusia pertama yang ditempatkan oleh Allah di muka bumi, yaitu nenek moyang manusia, Adam ‘alaihis salam.Menurut penjelasan hadits-hadits tentang masalah ini, bahwa ketika Allah Subahaanahu wa Ta’ala hendak menciptakan Adam , Dia mengutus Jibril, lalu Jibril mengambil sekepal tanah dan dijadikan tanah liat, lalu dibentuk dan ditiupkan ruh kepadanya. Ketika ruh itu masuk ke dalam tubuh Adam, jadilah tanah itu daging dan darah yang hidup dan berbicara. Itulah maksud yang dijelaskan Allah di dalam firman-Nya, artinya, “Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan) Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya.” (QS. Shaad: 72)
6. Yang juga menguatkan pendapat mereka adalah adanya kesepakatan bahwa berpisahnya ruh dari badan menjadi sebab yang hakiki bagi habisnya kehidupan manusia di dunia, walaupun waktu berpisahnya ruh ini tidak dapat ditentukan secara pasti.
Hakikat ini banyak dijelaskan di dalam nash-nash al-Qur’an maupun hadits Nabi. Di antaranya adalah firman Allah, artinya, “Allah mencabut jiwa (orang) ketika matinya. “ (QS. az-Zumar: 42). Atau mencabut ruhnya ketika ajalnya tiba. Yang dimaksud dengan jiwa pada ayat di atas adalah ruh.” (Tafsir al-Mawardi, juz. III, hal. 470, lihat juga Mukhtashar Ibnu Katsir, juz. III, hal. 222).
Juga firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala, artinya, “Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalan tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): "Keluarkanlah nyawamu". Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri ayat-ayat-Nya."(QS. 6:93)
Pada ayat di atas terdapat isyarat yang jelas bahwa jiwa -yaitu ruh menurut para mufassir- jika keluar dari badan menyebabkan adanya kematian dan para malaikat mengulurkan tangan mereka untuk menjemputnya ketika azal manusia datang. Maka kehidupan akan habis ketika ruh keluar dari badan.” (Tafsir al-Mawardi, juz. I, hal. 545; Tafir al-Qurthubi, juz. VII, hal. 41, Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 381).
Adapun hadits-hadits yang menjelaskan masalah ini banyak sekal. Di antaranya ada yang mengatakan bahwa ruh meninggalkan badan manusia ketika waktu kematian dan mata mengikuti dan melihatnya pada saat itu. Sedangkan kewajiban malaikat maut adalah mencabutnya ketika ajal tiba.
Jika telah ditetapkan bahwa berpisahnya ruh dengan badan merupakan sebab yang ditetapkan Allah bagi habisnya kehidupan manusia, maka tidak diragukan lagi bahwa adanya ruh menjadi sebab adanya kjematian. Karena Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah mengabarkan kepada kita tentang waktu peniupan ruh itu, maka tidak ada jalan lain bagi kita untuk membatasi adanya awal kehidupan manusia itu selain yang telah dikhabarkan oleh Rasulullah kepada kita tersebut. Wallahu a'lamu bish shawab


[Dinukil dari kitab "Abhast Fiqhiyah Fi Qadhaya Thibbiyah Mu'ashirah",edisi Indonesia "Fikih Kedokteran", oleh Dr. Muhammad Nu'aim Yasin, pent. Pustaka al-Kautsar].