tag:blogger.com,1999:blog-50822193853988943382024-03-13T23:20:13.596+07:00Belajar Tentang IslamUnknownnoreply@blogger.comBlogger109125tag:blogger.com,1999:blog-5082219385398894338.post-26304261037401334362014-03-24T17:46:00.001+07:002014-03-24T17:46:54.226+07:00Umar Bin Khattab : pemahaman agama Allah dengan memggunakan akal<p style="margin: 0px; font-size: 12px; font-family: Helvetica;">Sesaat setelah memberikan saran atas permasalahan seorang laki2 tua, Umar Bin Khatab berdoa:</p><p style="margin: 0px; font-size: 12px; font-family: Helvetica;"><br></p><p style="margin: 0px; font-size: 12px; font-family: Helvetica;">Allahuma aku menggunakan logikaku pd permasalahanku. Permasalahan yg tdk aku temukan dlm al quran dan sunah Rasulullah. </p>
<p style="margin: 0px; font-size: 12px; font-family: Helvetica;">Aku hanya ingin mencari kebenaran dlm permasalahanku. Berusaha memahami agama Mu. </p>
<p style="margin: 0px; font-size: 12px; font-family: Helvetica;">Jika aku benar, maka itu karwna taufiq-Mu. Jika aku salah maka itu karenaku. KepadaMu aku berserah dan bersandar. </p><p style="margin: 0px; font-size: 12px; font-family: Helvetica;"><br></p><p style="margin: 0px; font-size: 12px; font-family: Helvetica;">Pada saat pertemuan dengan kaum muslimin di madinah. umar ibnu khattab mengatakan : </p>
<p style="margin: 0px; font-size: 12px; font-family: Helvetica; min-height: 15px;"><br></p>
<p style="margin: 0px;"><font face="Helvetica"><span style="font-size: 12px;">Wahai semuanya,</span></font></p><p style="margin: 0px;"><font face="Helvetica"><span style="font-size: 12px;">Kita akan menghadapi permasalahan yg tdk asa pada masa Rasulullah, dan tidak kita temukan dalam Al Quran. Maka kita gunakan akal, dan pemahaman kita dlm agama. Dan untuk kebaikan kita.</span></font></p><p style="margin: 0px;"><font face="Helvetica"><span style="font-size: 12px;">Pendapat Rasulullah adalah kebenaran, yg allah berikan kepadanya. Tapi wahyu sdh selesai. </span></font></p><p style="margin: 0px;"><font face="Helvetica"><span style="font-size: 12px;">Kalau diantara kita ada yg berpendapat, maka jgn katakan ini hukum Allah. Dan ingatlah, Allah yg memberi ilmu dan pemahaman pdnya, bukan manusia.</span></font></p><p style="margin: 0px;"><font face="Helvetica"><span style="font-size: 12px;">Kalau aku memgingkari pendapatku, sama spt kalian mengingkari hukum Allah. Kalau berpendapat karena kufur, jika melakukannya spt menghalalkan darah kalian, itu adalah urusan Allah. Dan itu adalah kehancuran! </span></font></p><p style="margin: 0px;"><font face="Helvetica"><span style="font-size: 12px;">Berpendapat adalah hak bersama. </span></font></p><p style="margin: 0px;"><font face="Helvetica"><span style="font-size: 12px;">Jika ada 2 org berselisih pendapat dlm 1 masalah, yg 1 akan berpendapat dan yg lain berpendapat lbh baik, maka ambillah yg terbaik. Oleh karena itu musyawarah lbh baik drpd pendapat pribadi. </span></font></p><p style="margin: 0px;"><font face="Helvetica"><span style="font-size: 12px;">Aku telah menggunakan akalku untuk memutuskan suatu masalah. Aku mendengar seseorang berkata, "ini pendapat Allah dan pendapat Umar." Aku melarangnya. Dia tdk blh berkata spt itu! </span></font></p><p style="margin: 0px;"><font face="Helvetica"><span style="font-size: 12px;">Itu adalah pendapat Umar, jika benar, itu dari Allah. Dan jika salah, itu dari Umar. </span></font></p><p style="margin: 0px;"><font face="Helvetica"><span style="font-size: 12px;"><br></span></font></p><p style="margin: 0px;"><font face="Helvetica"><span style="font-size: 12px;">Sunah adalah apa yg Allah dan Rasulullah ajarkan. Maka jgn kau gunakan pdpt yg salah sebagai sunag bagi umat. </span></font></p><p style="margin: 0px;"><font face="Helvetica"><span style="font-size: 12px;"><br></span></font></p><p style="margin: 0px;"><font face="Helvetica"><span style="font-size: 12px;">Umar bin Khatab</span></font></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5082219385398894338.post-4125847909100299242012-09-14T14:03:00.001+07:002012-09-14T14:03:26.588+07:00Wanita haid dan al quranTanya :<br />
Ass. Ustadz Sigit…boleh nggak sih kalo perempuan yang sedang haidl itu memegang mushaf atau membaca al-Qur’an? Soalnya yang saya tau sih, nggak boleh. Tapi gimana kalo pas lagi ujian di kampus dan harus bawa al-Qur’an untuk ujian bacaan al-Qur’an? Terima kasih atas jawabannya.<br />
<br />
Jawab :<br />
Pendapat yang umum di masyarakat kita memang melarang perempuan yang sedang haidl membaca al-Qur’an dan memang seperti itulah pendapat mayoritas di kalangan ‘ulama berdasarkan ayat 79 surat al-Waqiah dan juga beberapa hadits sebagai penguat pendapat tersebut. Namun ada juga pendapat yang berbeda yang dikemukakan oleh sebagian ulama yang lain, yakni bahwa perempuan yang sedang haidl boleh saja memegang mushaf dan membaca al-Qur’an. Dan dalil yang dijadikan landasannya pun sama hanya berbeda dalam memahami makna ayat yang dijadikan landasan tersebut. Menurut sebagian ulama ini, suci yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah suci aqidah yakni orang yang beriman. Sedangkan orang yang kafir dan menyekutukan Allah aqidahnya kotor dan najis sebagaimana sebuah ayat dalam surat at-Taubah innamal musyrikuuna najasun (sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis). Najisnya orang musyrik dalam ayat ini ialah najis aqidah atau keyakinannya. Dalil lain yang dijadikan landasan bolehnya perempuan yang sedang haidl membaca al-Qur’an ialah sebuah hadits yang dikemukakan oleh ‘Aisyah radliyallohu ‘anha bahwa Rasulullah SAW selalu berdzikir kepada Allah di semua keadaannya. Sedangkan membaca al-Qur’an termasuk dzikir juga berarti boleh juga walaupun sedang dalam keadaan tidak suci.<br />
<br />
Sumber : http://ustadzgawatdarurat.net/sholat/sedang-haid-boleh-baca-al-qur’an-tidak/<br />
<br />
Bolehkah seorang wanita yang sedang haid membaca Al Qur’an (dengan hafalannya) ?<br />
<br />
Sebagian ulama berpendapat bahwa wanita yang haid dilarang untuk membaca Al Qur’an (dengan hafalannya) dengan dalil:<br />
<br />
لاَ تَقرَأِ الْحَا ءضُ َوَلاََ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْانِ<br />
<br />
“Orang junub dan wanita haid tidak boleh membaca sedikitpun dari Al Qur’an.” (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi I/236; Al Baihaqi I/89 dari Isma’il bin ‘Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar)<br />
<br />
Al Baihaqi berkata, “Pada hadits ini perlu diperiksa lagi. Muhammad bin Ismail al Bukhari menurut keterangan yang sampai kepadaku berkata, ‘Sesungguhnya yang meriwayatkan hadits ini adalah Isma’il bin Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dan aku tidak tahu hadits lain yang diriwayatkan, sedangkan Isma’il adalah munkar haditsnya (apabila) gurunya berasal dari Hijaz dan ‘Iraq’.”<br />
<br />
Al ‘Uqaili berkata, “Abdullah bin Ahmad berkata, ‘Ayahku (Imam Ahmad) berkata, ‘Ini hadits bathil. Aku mengingkari hadits ini karena adanya Ismail bin ‘Ayyasi’ yaitu kesalahannya disebabkan oleh Isma’il bin ‘Ayyasi’.”<br />
<br />
Syaikh Al Albani berkata, “Hadits ini diriwayatkan dari penduduk Hijaz maka hadits ini dhoif.” (Diringkas dari Larangan-larangan Seputar Wanita Haid dari Irwa’ul Gholil I/206-210)<br />
<br />
Kesimpulan dari komentar para imam ahli hadits mengenai hadits di atas adalah sanad hadits tersebut lemah sehingga tidak dapat digunakan sebagai dalil untuk melarang wanita haid membaca Al Qur’an.<br />
<br />
Hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha beliau berkata, “Aku datang ke Mekkah sedangkan aku sedang haidh. Aku tidak melakukan thowaf di Baitullah dan (sa’i) antara Shofa dan Marwah. Saya laporkan keadaanku itu kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka beliau bersabda, ‘Lakukanlah apa yang biasa dilakukan oleh haji selain thowaf di Baitullah hingga engkau suci’.” (Hadits riwayat Imam Bukhori no. 1650)<br />
<br />
Seorang yang melakukan haji diperbolehkan untuk berdzikir dan membaca Al Qur’an. Maka, kedua hal tersebut juga diperbolehkan bagi seorang wanita yang haid karena yang terlarang dilakukan oleh wanita tersebut -berdasar hadits di atas- hanyalah thowaf di Baitullah. (Jami’ Ahkamin Nisa’ I/183)<br />
<br />
Kesimpulan:<br />
<br />
Wanita yang sedang haid diperbolehkan untuk berdzikir dan membaca Al Qur’an karena tidak ada dalil yang jelas dan shohih dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang melarang hal tersebut. Wallahu Ta’ala a’lam.<br />
<br />
Bolehkah seorang wanita yang sedang haid menyentuh mushhaf Al Qur’an ?<br />
<br />
Telah terjadi perselisihan pendapat di kalangan ulama. Ulama yang melarang hal tersebut berdalil dengan ayat:<br />
<br />
لاَّ يَمَسَّةُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ<br />
<br />
Artinya:<br />
<br />
“Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (QS. Al Waqi’ah: 79)<br />
<br />
يَمُسُّ maksudnya adalah menyentuh mushhaf al Qur’an. المُطَهَّرُونَ maksudnya adalah orang-orang yang bersuci. Oleh karena itu tidak boleh menyentuh mushaf al Qur’an kecuali bagi orang-orang yang telah bersuci dari hadats besar atau kecil.<br />
<br />
Mereka juga berdalil dengan hadits Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm dari bapaknya dari kakeknya bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menulis surat kepada penduduk Yaman dan di dalamnya terdapat perkataan:<br />
<br />
لاَّ يَمَسُّ الْقُرْاَنَ إِلاَّ طَا هِرٌ<br />
<br />
“Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci.” (Hadits Al Atsram dari Daruqutni)<br />
<br />
Sanad hadits ini dho’if namun memiliki sanad-sanad lain yang menguatkannya sehingga menjadi shahih li ghairihi (Irwa’ul Ghalil I/158-161, no. 122)<br />
<br />
Ulama yang membolehkan wanita haid menyentuh mushhaf Al Qur’an memberikan penjelasan sebagai berikut:<br />
<br />
إِنَّهُ لَقُرْءَانٌ كَرِيْمٌ فِي كِتَابٍ مَّكْنُو نٍ لاَّ يَمَسَّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ تَتِريلٌ مِّن رَّبِّ الْعَا لَمِينَ<br />
<br />
Artinya:<br />
“Sesungguhnya Al qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia pada kitab yang terpelihara. Tidak menyentuhya kecuali (hamba-hamba) yang disucikan. Diturunkan oleh Robbul ‘Alamin.” (QS. Al Waqi’ah: 77-80)<br />
<br />
Kata ganti ﻪ (-nya pada “Tidak menyentuhnya”) kembali kepada ﻛﺘﺎﺏ ﻣﻜﻨﻮﻥ (Kitab yang terpelihara). Ibnu ‘Abbas, Jabir bin Zaid, dan Abu Nuhaik berkata, “(yaitu) kitab yang ada di langit”.<br />
<br />
Adh Dhahhak berkata, “Mereka (orang-orang kafir) menyangka bahwa setan-setanlah yang menurunkan Al Qur’an kepada Muhammad shallallaahu’alaihi wa sallam, maka Allah memberitakan kepada mereka bahwa setan-setan tidak kuasa dan tidak mampu melakukannya.” (Tafsir Ath Thobari XI/659).<br />
<br />
Mengenai ﺍﻟﻤُﻄَﻬَّﺮُﻭﻥَ menurut pendapat beberapa ulama, di antaranya:<br />
<br />
Ibnu ‘Abbas berkata, “Adalah para malaikat. Demikian pula pendapat Anas, Mujahid, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Adh Dhahhak, Abu Sya’tsa’ , Jabir bin Zaid, Abu Nuhaik, As Suddi, ‘Abdurrohman bin Zaid bin Aslam, dan selain mereka.” [Tafsir Ibnu Katsir (Terj.)]<br />
Ibnu Zaid berkata, “yaitu para malaikat dan para Nabi. Para utusan (malaikat) yang menurunkan dari sisi Allah disucikan; para nabi disucikan; dan para rasul yang membawanya juga disucikan.” (Tafsir Ath Thobari XI/659)<br />
Imam Asy Syaukani berkata dalam Nailul Author, Kitab Thoharoh, Bab Wajibnya Berwudhu Ketika Hendak Melaksanakan Sholat, Thowaf, dan Menyentuh Mushhaf: “Hamba-hamba yang disucikan adalah hamba yang tidak najis, sedangkan seorang mu’min selamanya bukan orang yang najis berdasarkan hadits:<br />
<br />
الْمُؤْمِنُ لاَ يَنْجُسُ<br />
<br />
“Orang mu’min itu tidaklah najis.” (Muttafaqun ‘alaih)<br />
<br />
Maka tidak sah membawakan arti (hamba) yang disucikan bagi orang yang tidak junub, haid, orang yang berhadats, atau membawa barang najis. Akan tetapi, wajib untuk membawanya kepada arti: Orang yang tidak musyrik sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.” (QS. At Taubah: 28)<br />
<br />
Di samping itu lafadz yang digunakan dalam ayat tersebut adalah dalam bentuk isim maf’ul-nya (orang-orang yang disucikan), bukan dalam bentuk isim fa’il (orang-orang yang bersuci). Tentu hal tersebut mengandung makna yang sangat berbeda.<br />
<br />
Mengenai hadits “Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci”, Syaikh Nashiruddin Al Albani rahimahullah berkata, “Yang paling dekat -Wallahu a’lam- maksud “orang yang suci” dalam hadits ini adalah orang mu’min baik dalam keadaan berhadats besar, kecil, wanita haid, atau yang di atas badannya terdapat benda najis karena sabda beliau shallallahu’alaihi wa sallam: “Orang mu’min tidakah najis” dan hadits di atas disepakati keshahihannya. Yang dimaksudkan dalam hadits ini (yaitu hadits Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci) bahwasanya beliau melarang memberikan kuasa kepada orang musyrik untuk menyentuhnya, sebagaimana dalam hadits:<br />
<br />
نَهَى أَنْ يُسَا فَرَ بِا لْقُرْانِ إِلَى أَرْضِ اْلعَدُو<br />
<br />
“Beliau melarang perjalanan dengan membawa Al Qur’an menuju tanah musuh.” (Hadits riwayat Bukhori). (Dinukil dari Larangan-larangan Seputar Wanita Haid dari Tamamul Minnah, hal. 107).<br />
<br />
Meski demikian, bagi seseorang yang berhadats kecil sedang ia ingin memegang mushaf untuk membacanya maka lebih baik dia berwudhu terlebih dahulu. Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqash berkata, “Aku sedang memegang mushhaf di hadapan Sa’ad bin Abi Waqash kemudian aku menggaruk-garuk. Maka Sa’ad berkata, ‘Apakah engkau telah menyentuh kemaluanmu?’ Aku jawab, ‘Ya.’ Dia berkata, ‘Berdiri dan berwudhulah!’ Maka aku pun berdiri dan berwudhu kemudian aku kembali.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al Muwaththa’ dengan sanad yang shahih)<br />
<br />
Ishaq bin Marwazi berkata, “Aku berkata (kepada Imam Ahmad bin Hanbal), ‘Apakah seseorang boleh membaca tanpa berwudhu terlebih dahulu?’ Beliau menjawab, ‘Ya, akan tetapi hendaknya dia tidak membaca pada mushhaf sebelum berwudhu”.<br />
<br />
Ishaq bin Rahawaih berkata, “Benar yang beliau katakan, karena terdapat hadits yang dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Beliau bersabda, ‘Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci’ dan demikian pula yang diperbuat oleh para shahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.” (Dari Larangan-larangan Seputar Wanita Haid, dari Irwaul Gholil I/161 dari Masa’il Imam Ahmad hal. 5)<br />
<br />
Abu Muhammad bin Hazm dalam Al Muhalla I/77 berkata, “Menyentuh mushhaf dan berdzikir kepada Allah merupakan ibadah yang diperbolehkan untuk dilakukan dan pelakunya diberi pahala. Maka barangsiapa yang melarang dari hal tersebut, maka ia harus mendatangkan dalil.” (Jami’ Ahkamin Nisa’ I/188).<br />
<br />
Kesimpulan:<br />
<br />
Wanita yang sedang haid diperbolehkan menyentuh mushhaf Al Qur’an karena tidak ada dalil yang jelas dan shohih yang melarang hal tersebut. Wallaahu Ta’ala A’lam.<br />
<br />
Rujukan:<br />
<br />
Larangan-larangan Seputar Wanita Haid, artikel Majalah As Sunnah 01/ IV/ 1420-1999, Abu Sholihah Muslim al Atsari.<br />
Jami’ Ahkamin Nisa’, Syaikh Musthofa al ‘Adawi.<br />
Tafsir Al Qur’an Al ‘Adziim (Terj. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8), Ibnu Katsir.<br />
***<br />
<br />
Sumber : http://muslimah.or.id/fikih/hukum-seputar-darah-wanita-haid.html/comment-page-1<br />
<br />
Lain halnya cerita pada saat umar masuk Islam. Ketika hendak membunuh Rasulullah saw, beliau berbalik arah ke rumah adiknya karena ada yg mengatakan bahwa adiknya telah masuk Islam.<br />
<br />
...Umar langsung menuju ke rumah adiknya. Saat itu di dalam rumah tersebut terdapat Khabbab bin Art yang sedang mengajarkan al-Quran kepada keduanya (Fatimah, saudara perempuan Umar dan suaminya). Namun ketika Khabbab merasakan kedatangan Umar, dia segera bersembunyi di balik rumah. Sementara Fatimah, segera menutupi lembaran al-Quran.<br />
<br />
Sebelum masuk rumah, rupanya Umar telah mendengar bacaan Khabbab, lalu dia bertanya :<br />
<br />
“Suara apakah yang tadi saya dengar dari kalian?”,<br />
“Tidak ada suara apa-apa kecuali obrolan kami berdua saja”, jawab mereka<br />
“Pasti kalian telah murtad”, kata Umar dengan geram<br />
“Wahai Umar, bagaimana pendapatmu jika kebenaran bukan berada pada agamamu ?”, jawab ipar Umar.<br />
<br />
Mendengar jawaban tersebut, Umar langsung menendangnya dengan keras hingga jatuh dan berdarah. Fatimah segera memba-ngunkan suaminya yang berlumuran darah, namun Fatimah pun ditampar dengan keras hingga wajahnya berdarah, maka berkata-lah Fatimah kepada Umar dengan penuh amarah:<br />
<br />
“Wahai Umar, jika kebenaran bukan terdapat pada agamamu, maka aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah Rasulullah”<br />
<br />
Melihat keadaan saudara perempuannya dalam keadaan ber-darah, timbul penyesalan dan rasa malu di hati Umar. Lalu dia meminta lembaran al-Quran tersebut. Namun Fatimah menolaknya seraya mengatakan bahwa Umar najis, dan al-Quran tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang telah bersuci. Fatimah memerintahkan Umar untuk mandi jika ingin menyentuh mushaf tersebut dan Umar pun menurutinya.<br />
<br />
Setelah mandi, Umar membaca lembaran tersebut, lalu membaca : Bismillahirrahmanirrahim. Kemudian dia berkomentar: “Ini adalah nama-nama yang indah nan suci”<br />
<br />
Pada saat akan memegang mushnaf Umar terlebih dahulu bersuci, tp dia blm masuk Islam<br />
<br />
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5082219385398894338.post-8595883580303672332012-09-10T08:27:00.001+07:002012-09-10T08:27:48.904+07:00Berkah dan Balasan Sedekah10 September 2012 06:25<br />
<br />
Oleh: Moch Hisyam <br />
<br />
Dalam perjalanan menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji, Abdullah ibnu Mubarak, ulama termasyhur abad ke-12 (1118 M/797 H) singgah di Kota Kufah, Irak. Di kota itu, ia melihat seorang wanita sedang mencabuti bulu itik di tempat sampah.<br />
<br />
Dalam hatinya, Ibnu Mubarak merasa bahwa itik itu sudah mati dan telah menjadi bangkai. Ia pun menanyakan hal tersebut kepada si. “Apakah itik ini bangkai atau sudah disembelih?” <br />
<br />
Wanita itu menjawab dengan tegas bahwa hewan itu sudah menjadi bangkai dan ia akan tetap mengambilnya untuk dimakan bersama keluarganya.<br />
<br />
Karena tak ingin hal itu menimbulkan kemudharatan kepada wanita tersebut maka Ibnu Mubarak terus menanyakan. “Bukankah Nabi SAW telah mengharamkan daging bangkai?” ujar Ibnu Mubarak. Namun demikian, wanita itu tetap pada pendiriannya.<br />
<br />
Ia pun membentak dan memerintahkan Ibnu Mubarak untuk meninggalkan dirinya dengan bangkai tersebut. “Sudah, pergilah kau dari sini!<br />
<br />
Tapi, Ibnu Mubarak tetap bertahan dan terus menanyakannya, hingga akhirnya wanita itu membuka rahasianya. Wanita itu menjawab, “Aku mempunyai putra yang masih kecil-kecil, sudah tiga hari mereka tidak makan, sehingga aku terpaksa memberi mereka daging bangkai ini.”<br />
<br />
Mendengar jawaban sedih wanita itu, Abdullah bin Mubarak segera pergi kembali mengambil makanan dan pakaian, yang diangkut dengan menggunakan keledainya. Kemudian, ia kembali ke tempat wanita itu. Setelah bertemu muka, ia berkata, “Ini uang, pakaian, dan makanan. Ambillah berikut keledai dan segala yang ada padanya!”<br />
<br />
Kemudian, Ibnu Mubarak tinggal di kota itu karena waktu haji telah lewat. Akhirnya, ketika orang-orang telah menunaikan haji pulang kembali ke negeri mereka, maka Abdullah pulang juga bersama mereka.<br />
<br />
Setelah tiba di kotanya, orang-orang datang kepadanya sambil mengucapkan selamat karena telah menunaikan ibadah haji. Tetapi, Ibnu Mubarak menjawab, “Tahun ini aku tidak jadi naik haji!” <br />
<br />
Seseorang menegurnya, “Subhanallah, bukankah aku telah menitipkan uangku kepada Anda, lalu aku ambil kembali di Arafah?” Yang lain berkata, “Bukankah Anda telah memberi minum di suatu tempat dulu?” Sementara yang lain berkata pula, “Bukankah Anda telah membelikanku ini dan itu?” <br />
<br />
Abdullah menjawab, “Aku tidak mengerti apa yang kalian katakan, sebab aku tidak jadi naik haji pada tahun ini.” Pada intinya, mereka yang menemui Abdullah ibnu Mubarak menyaksikan dirinya menunaikan ibadah haji.<br />
<br />
Pada malam harinya, di kala tidur, Abdullah ibnu Mubarak bermimpi. Ia mendengar suara gaib yang mengatakan, “Hai Abdullah, sesungguhnya Allah telah menerima sedekahmu dan telah mengutus seorang malaikat menyerupai dirimu untuk melaksanakan ibadah haji sebagai ganti dirimu!”<br />
<br />
Kisah yang terdapat dalam kitab “An-Nawadir” karya Ahmad Syihabudin bin Salamah Al-Qalyubiy ini memberikan pelajaran kepada kita untuk lebih mendahulukan membantu orang yang membutuhkan uluran tangan, ketimbang melaksanakan haji berkali-kali. Apalagi bila hanya untuk memuaskan nafsu semata. Wallahu a’lam.<br />
<br />
<br />
Sumber :<br />
RT @republikaonline: Berkah dan Balasan Sedekah http://t.co/PZywVWFfUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5082219385398894338.post-77805206287103430052012-08-30T08:57:00.002+07:002012-08-30T08:58:41.373+07:00 "Janganlah terlahir fatwa padahal Imam Malik masih hidup di Madinah.1) Mengkaji Manaqib para Aimmah; di antara yang paling berkesan hari ini adalah asal mula ungkapan "La yufta wal Maliku fil Madinah."<br />
<br />
2) Dalam masa Atba'ut Tabi'in ungkapan ini masyhur tersepakati, "Janganlah terlahir fatwa padahal Imam Malik masih hidup di Madinah.<br />
<br />
3) Termula ia dari kejadian aneh; kala seorang wanita yang dikenal sebagai pezina meninggal & perempuan ahli rawat jenazah dipanggil.<br />
<br />
4) Perawat jenazah pun memandikan jasad wanita itu; tapi dengan rasa geram di hati mengingat bahwa si mayyit masyhur sebagai pendosa.<br />
<br />
5) Maka tatkala membasuh bagian kemaluan sang mayat; tak mampu lagi menahan gemas hati, diapun memukulnya & menggerutukan serapah<br />
<br />
6) "Duhai, sudah berapa kali ini kaupakai mendurhakai Allah!", hardiknya. Ajaib, tangan yang memukul itu melekat di kemaluan jenazah<br />
<br />
7) SubhanaLlah, maka jadi ricuhlah suasana pemulasaraan jenazah. Para 'alim & cendikia dihadirkan, ditanya & dimintai jalan keluar.<br />
<br />
8) Ada yang mengusulkan potong saja tangan pengurus jenazah. Ada yang berpendapat iris saja bagian tubuh mayyitnya. Semua tak elok.<br />
<br />
9) Buntu semua pembahasan, tak memuaskan segala jawaban; maka merekapun membawa perkara ini kepada Imam Daril Hijrah; Malik ibn Anas.<br />
<br />
10) Imam Malik menyatakan sembari meleleh air mata, "Ma'adzaLlah, betapa beratnya dosa menuduh zina, hingga Allah menetapkan hadNya.<br />
<br />
11) Allah turunkan hukum tentang dosa Qadzaf; menuduh seorang wanita berzina tanpa dapat menghadirkan bukti & 4 saksi dalam QS 24: 4.<br />
<br />
12) Maka Imam Malik memfatwakan agar pengurus jenazah yang tangannya melekat di kemaluan mayat itu dikenai had Qadzaf; dera 80 kali.<br />
<br />
13) Sebab walau telah masyhur bahwa jenazah yang dimandikan itu semasa hidupnya adalah pezina; tapi tiada 4 saksi melihat langsung.<br />
<br />
14) Jadi ringkas kisah; si pengurus jenazah pun dicambuk 80 kali sesuai had Qadzaf. TabarakaLlah, begitu tunai, lepaslah tangannya.<br />
<br />
15) Sejak itulah muncul ungkapan, "La yufta wa Malik fil Madinah!" Tapi sungguh kita belajar jauh lebih banyak hal lagi dari #kisah ini.<br />
<br />
Sumber : <a href="https://twitter.com/salimafillah">https://twitter.com/salimafillah</a><br />
<span class="fullpost">
</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5082219385398894338.post-46646596953452059472012-08-28T17:30:00.001+07:002012-08-28T17:30:07.257+07:00Makna Al FatihahINILAH ARTI/MAKNA DARI SURAT AL FATIHAH:<br />
<br />
<br />
Ayat 1: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”.<br />
<br />
Rasakan betapa besar kasih sayang Allah kepada kita semua, bayangkan semua nikmat yang telah kita terima dariNya. Nikmat udara yang kita hirup, nikmat penglihatan, nikmat pendengaran, nikmat sehat. Apakah kita sudah berterima kasih padaNya??. Rasakan kasih sayang dan sifatnya yang maha pengasih serta pemurah. Rasakan getaran dihati anda, hingga timbul dorongan untuk menangis. Silahkan menangis jika dorongan itu memang kuat. Jangan tahan tangisan anda.<br />
<br />
Sumber : http://tirtaamijaya.com/2008/07/21/makna-surat-al-fatihah/Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5082219385398894338.post-47824418117820144692012-08-28T11:30:00.001+07:002012-08-28T11:30:06.909+07:00Hukum Menyanyi dan Musik dalam Fiqih Islam<p><strong>1. Pendahuluan</strong></p> <p>Keprihatinan yang dalam akan kita rasakan, kalau kita melihat ulah generasi muda Islam saat ini yang cenderung liar dalam bermain musik atau bernyanyi. Mungkin mereka berkiblat kepada penyanyi atau kelompok musik terkenal yang umumnya memang bermental bejat dan bobrok serta tidak berpegang dengan nilai-nilai Islam. Atau mungkin juga, mereka cukup sulit atau jarang mendapatkan teladan permainan musik dan nyanyian yang Islami di tengah suasana hedonistik yang mendominasi kehidupan saat ini. Walhasil, generasi muda Islam akhirnya cenderung membebek kepada para pemusik atau penyanyi sekuler yang sering mereka saksikan atau dengar di TV, radio, kaset, VCD, dan berbagai media lainnya.</p> <p><a href="http://lh4.ggpht.com/-jlBN_oKm5Mo/UDxJQ1EEKPI/AAAAAAAACjo/Kbr76XOnUg8/s1600-h/download%25255B3%25255D.jpg"><img style="border-right-width: 0px; display: inline; border-top-width: 0px; border-bottom-width: 0px; margin-left: 0px; border-left-width: 0px; margin-right: 0px" title="download" border="0" alt="download" align="right" src="http://lh4.ggpht.com/-mizJDbmY7zA/UDxJSZ2qt6I/AAAAAAAACjw/AFisWZy3dpU/download_thumb%25255B1%25255D.jpg?imgmax=800" width="239" height="218"></a> Tak dapat diingkari, kondisi memprihatinkan tersebut tercipta karena sistem kehidupan kita telah menganut paham sekularisme yang sangat bertentangan dengan Islam. <strong>Muhammad Quthb </strong>mengatakan sekularisme adalah <em>iqamatul hayati ‘ala ghayri asasin minad dîn</em>, artinya, mengatur kehidupan dengan tidak berasaskan agama (Islam). Atau dalam bahasa yang lebih tajam, sekularisme menurut <strong>Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani</strong> adalah memisahkan agama dari segala urusan kehidupan (<em>fashl ad-din ‘an al-hayah</em>) (<strong>Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani</strong>, <strong><em>Nizhâm Al-Islâm</em></strong>, hal. 25). Dengan demikian, sekularisme sebenarnya tidak sekedar terwujud dalam pemisahan agama dari dunia politik, tetapi juga nampak dalam pemisahan agama dari urusan seni budaya, termasuk seni musik dan seni vokal (nyanyian).</p> <p>Kondisi ini harus segera diakhiri dengan jalan mendobrak dan merobohkan sistem kehidupan sekuler yang ada, lalu di atas reruntuhannya kita bangun sistem kehidupan Islam, yaitu sebuah sistem kehidupan yang berasaskan semata pada Aqidah Islamiyah sebagaimana dicontohkan Rasulullah Saw dan para shahabatnya. Inilah solusi fundamental dan radikal terhadap kondisi kehidupan yang sangat rusak dan buruk sekarang ini, sebagai akibat penerapan paham sekulerisme yang kufur. Namun demikian, di tengah perjuangan kita mewujudkan kembali masyarakat Islami tersebut, bukan berarti kita saat ini tidak berbuat apa-apa dan hanya berpangku tangan menunggu perubahan. Tidak demikian. Kita tetap wajib melakukan Islamisasi pada hal-hal yang dapat kita jangkau dan dapat kita lakukan, seperti halnya bermain musik dan bernyanyi sesuai ketentuan Islam dalam ruang lingkup kampus kita atau lingkungan kita.</p> <p>Tulisan ini bertujuan menjelaskan secara ringkas hukum musik dan menyanyi dalam pandangan fiqih Islam. Diharapkan, norma-norma Islami yang disampaikan dalam makalah ini tidak hanya menjadi bahan perdebatan akademis atau menjadi wacana semata, tetapi juga menjadi acuan dasar untuk merumuskan bagaimana bermusik dan bernyanyi dalam perspektif Islam. Selain itu, tentu saja perumusan tersebut diharapkan akan bermuara pada pengamalan konkret di lapangan, berupa perilaku Islami yang nyata dalam aktivitas bermain musik atau melantunkan lagu. Minimal di kampus atau lingkungan kita.</p> <p><strong>2. Definisi Seni</strong></p> <p>Karena bernyanyi dan bermain musik adalah bagian dari seni, maka kita akan meninjau lebih dahulu definisi seni, sebagai proses pendahuluan untuk memahami fakta (<em>fahmul waqi’</em>) yang menjadi objek penerapan hukum. Dalam <strong><em>Ensiklopedi Indonesia</em></strong> disebutkan bahwa <em>seni</em> adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), indera pendengar (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama) (<strong>Dr. Abdurrahman al-Baghdadi</strong>, <strong><em>Seni Dalam Pandangan Islam</em></strong>, hal. 13).</p> <p>Adapun seni musik (<em>instrumental art</em>) adalah seni yang berhubungan dengan alat-alat musik dan irama yang keluar dari alat-alat musik tersebut. Seni musik membahas antara lain cara memainkan instrumen musik, cara membuat not, dan studi bermacam-macam aliran musik. Seni musik ini bentuknya dapat berdiri sendiri sebagai seni instrumentalia (tanpa vokal) dan dapat juga disatukan dengan seni vokal. Seni instrumentalia, seperti telah dijelaskan di muka, adalah seni yang diperdengarkan melalui media alat-alat musik. Sedang seni vokal, adalah seni yang diungkapkan dengan cara melagukan syair melalui perantaraan oral (suara saja) tanpa iringan instrumen musik. Seni vokal tersebut dapat digabungkan dengan alat-alat musik tunggal (gitar, biola, piano, dan lain-lain) atau dengan alat-alat musik majemuk seperti band, orkes simfoni, karawitan, dan sebagainya (<strong>Dr. Abdurrahman al-Baghdadi</strong>, <strong><em>Seni Dalam Pandangan Islam</em></strong>, hal. 13-14). Inilah sekilas penjelasan fakta seni musik dan seni vokal yang menjadi topik pembahasan.</p> <p><strong>3. Tinjauan Fiqih Islam</strong></p> <p>Dalam pembahasan hukum musik dan menyanyi ini, penulis melakukan pemilahan hukum berdasarkan variasi dan kompleksitas fakta yang ada dalam aktivitas bermusik dan menyanyi. Menurut penulis, terlalu sederhana jika hukumnya hanya digolongkan menjadi dua, yaitu hukum memainkan musik dan hukum menyanyi. Sebab fakta yang ada, lebih beranekaragam dari dua aktivitas tersebut. Maka dari itu, paling tidak, ada 4 (empat) hukum fiqih yang berkaitan dengan aktivitas bermain musik dan menyanyi, yaitu:</p> <p><strong><em>Pertama</em></strong>, hukum melantunkan nyanyian (<em>ghina’</em>).</p> <p><strong><em>Kedua</em></strong>, hukum mendengarkan nyanyian.</p> <p><strong><em>Ketiga</em></strong>, hukum memainkan alat musik.</p> <p><strong><em>Keempat</em></strong>, hukum mendengarkan musik.</p> <p>Di samping pembahasan ini, akan disajikan juga tinjauan fiqih Islam berupa kaidah-kaidah atau patokan-patokan umum, agar aktivitas bermain musik dan bernyanyi tidak tercampur dengan kemaksiatan atau keharaman.</p> <p>Ada baiknya penulis sampaikan, bahwa hukum menyanyi dan bermain musik bukan hukum yang disepakati oleh para fuqaha, melainkan hukum yang termasuk dalam masalah <em>khilafiyah</em>. Jadi para ulama mempunyai pendapat berbeda-beda dalam masalah ini (<strong>Syaikh Abdurrahman al-Jaziri</strong>, <strong><em>Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah</em></strong>, hal. 41-42; <strong>Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki</strong>, <strong><em>Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas</em></strong>, hal. 96; <strong>Dr. Abdurrahman al-Baghdadi</strong>, <strong><em>Seni Dalam Pandangan Islam</em></strong>, hal. 21-25; <strong>Toha Yahya Omar</strong>, <strong><em>Hukum Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam</em></strong>, hal. 3). Karena itu, boleh jadi pendirian penulis dalam tulisan ini akan berbeda dengan pendapat sebagian fuqaha atau ulama lainnya. Pendapat-pendapat Islami seputar musik dan menyanyi yang berbeda dengan pendapat penulis, tetap penulis hormati.</p> <p><strong>3.1. Hukum Melantunkan Nyanyian (<em>al-Ghina’</em> / <em>at-Taghanni</em>)</strong></p> <p>Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menyanyi (<em>al-ghina’</em> / <em>at-taghanni</em>). Sebagian mengharamkan nyanyian dan sebagian lainnya menghalalkan. Masing-masing mempunyai dalilnya sendiri-sendiri. Berikut sebagian dalil masing-masing, seperti diuraikan oleh <strong>al-Ustadz Muhammad al-Marzuq Bin Abdul Mu’min al-Fallaty</strong> mengemukakan dalam kitabnya <strong><em>Saiful Qathi’i lin-Niza’</em></strong> bab <em>Fi Bayani Tahrimi al-Ghina’ wa Tahrim Istima’ Lahu</em> (Musik.<a href="http://www.ashifnet.tripod.com%29%2C/" target="_blank">http://www.ashifnet.tripod.com),/</a> juga oleh <strong>Dr. Abdurrahman al-Baghdadi</strong> dalam bukunya<strong><em>Seni dalam Pandangan Islam</em></strong> (hal. 27-38), dan <strong>Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki</strong> dalam<strong><em>Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas</em></strong> (hal. 97-101):</p> <p><strong>A. Dalil-Dalil Yang Mengharamkan Nyanyian:</strong></p> <p><strong>a.</strong> Berdasarkan firman Allah:</p> <p>“<em>Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.</em>” (<strong>Qs. Luqmân [31]: 6</strong>)</p> <p>Beberapa ulama menafsirkan maksud <em>lahwal hadits</em> ini sebagai nyanyian, musik atau lagu, di antaranya <strong>al-Hasan</strong>, <strong>al-Qurthubi</strong>, <strong>Ibnu Abbas</strong> dan <strong>Ibnu Mas’ud</strong>.</p> <p>Ayat-ayat lain yang dijadikan dalil pengharaman nyanyian adalah <strong>Qs. an-Najm [53]: 59-61</strong>; dan <strong>Qs. al-Isrâ’ [17]: 64</strong> (<strong>Abi Bakar Jabir al-Jazairi</strong>, <strong><em>Haramkah Musik Dan Lagu? (al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram)</em></strong>, hal. 20-22).</p> <p><strong>b.</strong> Hadits Abu Malik Al-Asy’ari ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:</p> <p>“<em>Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat musik (<strong>al-ma’azif</strong>).</em>” [<strong>HR. Bukhari</strong>, <strong><em>Shahih Bukhari</em></strong>, hadits no. 5590].</p> <p><strong>c.</strong> Hadits Aisyah ra Rasulullah Saw bersabda:</p> <p>“<em>Sesungguhnya Allah mengharamkan nyanyian-nyanyian (<strong>qoynah</strong>) dan menjualbelikannya, mempelajarinya atau mendengar-kannya.</em>” Kemudian beliau membacakan ayat di atas. [<strong>HR. Ibnu Abi Dunya</strong> dan <strong>Ibnu Mardawaih</strong>].</p> <p><strong>d.</strong> Hadits dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda:</p> <p>“<em>Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq, seperti air menumbuhkan kembang.</em>” [<strong>HR. Ibnu Abi Dunya</strong> dan <strong>al-Baihaqi</strong>, hadits mauquf].</p> <p><strong>e.</strong> Hadits dari Abu Umamah ra, Rasulullah Saw bersabda:</p> <p>“<em>Orang yang bernyanyi, maka Allah SWT mengutus padanya dua syaitan yang menunggangi dua pundaknya dan memukul-mukul tumitnya pada dada si penyanyi sampai dia berhenti.</em>” [<strong>HR. Ibnu Abid Dunya.</strong>].</p> <p><strong>f.</strong> Hadits yang diriwayatkan oleh <strong>Ibnu ‘Auf ra</strong> bahwa Rasulullah Saw bersabda:</p> <p>“<em>Sesungguhnya aku dilarang dari suara yang hina dan sesat, yaitu: 1. Alunan suara nyanyian yang melalaikan dengan iringan seruling syaitan (mazamirus syaithan). 2. Ratapan seorang ketika mendapat musibah sehingga menampar wajahnya sendiri dan merobek pakaiannya dengan ratapan syetan (rannatus syaithan).</em>”</p> <p><strong>B. Dalil-Dalil Yang Menghalalkan Nyanyian:</strong></p> <p><strong>a.</strong> Firman Allah SWT:</p> <p>“<em>Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.</em>” (<strong>Qs. al-Mâ’idah [5]: 87</strong>).</p> <p><strong>b.</strong> Hadits dari Nafi’ ra, katanya:</p> <p>Aku berjalan bersama Abdullah Bin Umar ra. Dalam perjalanan kami mendengar suara seruling, maka dia menutup telinganya dengan telunjuknya terus berjalan sambil berkata; “<em>Hai Nafi, masihkah kau dengar suara itu?</em>” sampai aku menjawab tidak. Kemudian dia lepaskan jarinya dan berkata; “<em>Demikianlah yang dilakukan Rasulullah Saw.</em>” [<strong>HR. Ibnu Abid Dunya</strong> dan <strong>al-Baihaqi</strong>].</p> <p><strong>c.</strong> Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra berkata:</p> <p>Nabi Saw mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata: “<em>Di antara kita ada Nabi Saw yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.</em>” Maka Nabi Saw bersabda:</p> <p>“<em>Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.</em>” [<strong>HR. Bukhari</strong>, dalam<strong><em>Fâth al-Bârî</em></strong>, juz. III, hal. 113, dari Aisyah ra].</p> <p><strong>d.</strong> Dari Aisyah ra; dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda Anshar. Tiba-tiba Rasulullah Saw bersabda:</p> <p>“<em>Mengapa tidak kalian adakan permainan karena orang Anshar itu suka pada permainan.</em>” [<strong>HR. Bukhari</strong>].</p> <p><strong>e.</strong> Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan sedangkan ia sedang melantunkan syi’ir di masjid. Maka Umar memicingkan mata tidak setuju. Lalu Hasan berkata:</p> <p>“<em>Aku pernah bersyi’ir di masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaitu Rasulullah Saw)</em>” [<strong>HR. Muslim</strong>, juz II, hal. 485].</p> <p><strong>C. Pandangan Penulis</strong></p> <p>Dengan menelaah dalil-dalil tersebut di atas (dan dalil-dalil lainnya), akan nampak adanya kontradiksi (<em>ta’arudh</em>) satu dalil dengan dalil lainnya. Karena itu kita perlu melihat kaidah-kaidah ushul fiqih yang sudah masyhur di kalangan ulama untuk menyikapi secara bijaksana berbagai dalil yang nampak bertentangan itu.</p> <p><strong>Imam asy-Syafi’i</strong> mengatakan bahwa tidak dibenarkan dari Nabi Saw ada dua hadits shahih yang saling bertentangan, di mana salah satunya menafikan apa yang ditetapkan yang lainnya, kecuali dua hadits ini dapat dipahami salah satunya berupa hukum khusus sedang lainnya hukum umum, atau salah satunya global (<em>ijmal</em>) sedang lainnya adalah penjelasan (<em>tafsir</em>). Pertentangan hanya terjadi jika terjadi <em>nasakh</em> (penghapusan hukum), meskipun mujtahid belum menjumpai nasakh itu (<strong>Imam asy-Syaukani</strong>, <strong><em>Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul</em></strong>, hal. 275).</p> <p>Karena itu, jika ada dua kelompok dalil hadits yang nampak bertentangan, maka sikap yang lebih tepat adalah melakukan kompromi (<em>jama’</em>) di antara keduanya, bukan menolak salah satunya. Jadi kedua dalil yang nampak bertentangan itu semuanya diamalkan dan diberi pengertian yang memungkinkan sesuai proporsinya. Itu lebih baik daripada melakukan tarjih, yakni menguatkan salah satunya dengan menolak yang lainnya. Dalam hal ini <strong>Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah</strong> menetapkan kaidah ushul fiqih:</p> <p><strong>Al-‘amal bi ad-dalilaini —walaw min wajhin— awlâ min ihmali ahadihima</strong> “<em>Mengamalkan dua dalil —walau pun hanya dari satu segi pengertian— lebih utama daripada meninggalkan salah satunya.</em>” (<strong>Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah</strong>, <strong><em>Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh</em></strong>, hal. 390).</p> <p>Prinsip yang demikian itu dikarenakan pada dasarnya suatu dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan (tak diamalkan). <strong>Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani</strong> menyatakan:</p> <p><strong><em>Al-ashlu fi ad-dalil al-i’mal lâ al-ihmal</em></strong> “<em>Pada dasarnya dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan.</em>” (<strong>Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani</strong>, <strong><em>Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah</em></strong>, juz 1, hal. 239).</p> <p>Atas dasar itu, kedua dalil yang seolah bertentangan di atas dapat dipahami sebagai berikut : bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan hukum umum nyanyian. Sedang dalil yang membolehkan, menunjukkan hukum khusus, atau perkecualian (<em>takhsis</em>), yaitu bolehnya nyanyian pada tempat, kondisi, atau peristiwa tertentu yang dibolehkan syara’, seperti pada hari raya. Atau dapat pula dipahami bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan keharaman nyanyian secara mutlak. Sedang dalil yang menghalalkan, menunjukkan bolehnya nyanyian secara <em>muqayyad</em> (ada batasan atau kriterianya) (<strong>Dr. Abdurrahman al-Baghdadi</strong>, <strong><em>Seni Dalam Pandangan Islam</em></strong>, hal. 63-64; <strong>Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki</strong>, <strong><em>Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas</em></strong>, hal. 102-103).</p> <p>Dari sini kita dapat memahami bahwa nyanyian ada yang diharamkan, dan ada yang dihalalkan.<strong>Nyanyian haram</strong> didasarkan pada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, yaitu nyanyian yang disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, baik berupa perkataan (<em>qaul</em>), perbuatan (<em>fi’il</em>), atau sarana (<em>asy-yâ’</em>), misalnya disertai khamr, zina, penampakan aurat, <em>ikhtilath</em> (campur baur pria–wanita), atau syairnya yang bertentangan dengan syara’, misalnya mengajak pacaran, mendukung pergaulan bebas, mempropagandakan sekularisme, liberalisme, nasionalisme, dan sebagainya. <strong>Nyanyian halal</strong> didasarkan pada dalil-dalil yang menghalalkan, yaitu nyanyian yang kriterianya adalah bersih dari unsur kemaksiatan atau kemunkaran. Misalnya nyanyian yang syairnya memuji sifat-sifat Allah SWT, mendorong orang meneladani Rasul, mengajak taubat dari judi, mengajak menuntut ilmu, menceritakan keindahan alam semesta, dan semisalnya (<strong>Dr. Abdurrahman al-Baghdadi</strong>, <strong><em>Seni Dalam Pandangan Islam</em></strong>, hal. 64-65; <strong>Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki</strong>, <strong><em>Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas</em></strong>, hal. 103).</p> <p><strong>3.2. Hukum Mendengarkan Nyanyian</strong></p> <p><strong>a. Hukum Mendengarkan Nyanyian (<em>Sama’ al-Ghina’</em>)</strong></p> <p>Hukum menyanyi tidak dapat disamakan dengan hukum mendengarkan nyanyian. Sebab memang ada perbedaan antara melantunkan lagu (<em>at-taghanni bi al-ghina’</em>) dengan mendengar lagu (<em>sama’ al-ghina’</em>). Hukum melantunkan lagu termasuk dalam hukum <em>af-‘âl</em> (perbuatan) yang hukum asalnya wajib terikat dengan hukum syara’ (<em>at-taqayyud bi al-hukm asy-syar’i</em>). Sedangkan mendengarkan lagu, termasuk dalam hukum <em>af-‘âl jibiliyah</em>, yang hukum asalnya mubah. <em>Af-‘âl jibiliyyah</em> adalah perbuatan-perbuatan alamiah manusia, yang muncul dari penciptaan manusia, seperti berjalan, duduk, tidur, menggerakkan kaki, menggerakkan tangan, makan, minum, melihat, membaui, mendengar, dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan yang tergolong kepada <em>af-‘âl jibiliyyah</em> ini hukum asalnya adalah mubah, kecuali adfa dalil yang mengharamkan. Kaidah syariah menetapkan:</p> <p><strong>Al-ashlu fi al-af’âl al-jibiliyah al-ibahah</strong> “<em>Hukum asal perbuatan-perbuatan jibiliyyah, adalah mubah.</em>” (<strong>Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki</strong>, <strong><em>Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas</em></strong>, hal. 96).</p> <p>Maka dari itu, melihat —sebagai perbuatan jibiliyyah— hukum asalnya adalah boleh (<em>ibahah</em>). Jadi, melihat apa saja adalah boleh, apakah melihat gunung, pohon, batu, kerikil, mobil, dan seterusnya. Masing-masing ini tidak memerlukan dalil khusus untuk membolehkannya, sebab melihat itu sendiri adalah boleh menurut syara’. Hanya saja jika ada dalil khusus yang mengaramkan melihat sesuatu, misalnya melihat aurat wanita, maka pada saat itu melihat hukumnya haram.</p> <p>Demikian pula mendengar. Perbuatan mendengar termasuk perbuatan jibiliyyah, sehingga hukum asalnya adalah boleh. Mendengar suara apa saja boleh, apakah suara gemericik air, suara halilintar, suara binatang, juga suara manusia termasuk di dalamnya nyanyian. Hanya saja di sini ada sedikit catatan. Jika suara yang terdengar berisi suatu aktivitas maksiat, maka meskipun mendengarnya mubah, ada kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, dan tidak boleh mendiamkannya. Misalnya kita mendengar seseorang mengatakan, “<em>Saya akan membunuh si Fulan!</em>” Membunuh memang haram. Tapi perbuatan kita mendengar perkataan orang tadi, sebenarnya adalah mubah, tidak haram. Hanya saja kita berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap orang tersebut dan kita diharamkan mendiamkannya.</p> <p>Demikian pula hukum mendengar nyanyian. Sekedar mendengarkan nyanyian adalah mubah, bagaimanapun juga nyanyian itu. Sebab mendengar adalah perbuatan jibiliyyah yang hukum asalnya mubah. Tetapi jika isi atau syair nyanyian itu mengandung kemungkaran, kita tidak dibolehkan berdiam diri dan wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Nabi Saw bersabda:</p> <p>“<em>Siapa saja di antara kalian melihat kemungkaran, ubahlah kemungkaran itu dengan tangannya (kekuatan fisik). Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya (ucapannya). Jika tidak mampu, ubahlah dengan hatinya (dengan tidak meridhai). Dan itu adalah selemah-lemah iman.</em>” [<strong>HR. Imam Muslim</strong>, <strong>an-Nasa’i</strong>, <strong>Abu Dawud</strong> dan <strong>Ibnu Majah</strong>].</p> <p><strong>b. Hukum Mendengar Nyanyian Secara Interaktif (<em>Istima’ al-Ghina’</em>)</strong></p> <p>Penjelasan sebelumnya adalah hukum mendengar nyanyian (<em>sama’ al-ghina’</em>). Ada hukum lain, yaitu mendengarkan nyanyian secara interaktif (<em>istima’ li al-ghina’</em>). Dalam bahasa Arab, ada perbedaan antara mendengar (<em>as-sama’</em>) dengan mendengar-interaktif (<em>istima’</em>). Mendengar nyanyian (<em>sama’ al-ghina’</em>) adalah sekedar mendengar, tanpa ada interaksi misalnya ikut hadir dalam proses menyanyinya seseorang. Sedangkan <em>istima’ li al-ghina’</em>, adalah lebih dari sekedar mendengar, yaitu ada tambahannya berupa interaksi dengan penyanyi, yaitu duduk bersama sang penyanyi, berada dalam satu forum, berdiam di sana, dan kemudian mendengarkan nyanyian sang penyanyi (<strong>Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki</strong>, <strong><em>Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas</em></strong>, hal. 104). Jadi kalau mendengar nyanyian (<em>sama’ al-ghina’</em>) adalah perbuatan jibiliyyah, sedang mendengar-menghadiri nyanyian (<em>istima’ al-ghina’</em>) bukan perbuatan jibiliyyah.</p> <p>Jika seseorang mendengarkan nyanyian secara interaktif, dan nyanyian serta kondisi yang melingkupinya sama sekali tidak mengandung unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka orang itu boleh mendengarkan nyanyian tersebut.</p> <p>Adapun jika seseorang mendengar nyanyian secara interaktif (<em>istima’ al-ghina’</em>) dan nyanyiannya adalah nyanyian haram, atau kondisi yang melingkupinya haram (misalnya ada <em>ikhthilat</em>) karena disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, maka aktivitasnya itu adalah haram (<strong>Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki</strong>, <strong><em>Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas</em></strong>, hal. 104). Allah SWT berfirman:</p> <p>“<em>Maka janganlah kamu duduk bersama mereka hingga mereka beralih pada pembicaraan yang lainnya.</em>” (<strong>Qs. an-Nisâ’ [4]: 140</strong>).</p> <p>“<em>…Maka janganlah kamu duduk bersama kaum yang zhalim setelah (mereka) diberi peringatan.</em>” (<strong>Qs. al-An’âm [6]: 68</strong>).</p> <p><strong>3.3. Hukum Memainkan Alat Musik</strong></p> <p>Bagaimanakah hukum memainkan alat musik, seperti gitar, piano, rebana, dan sebagainya? Jawabannya adalah, secara tekstual (nash), ada satu jenis alat musik yang dengan jelas diterangkan kebolehannya dalam hadits, yaitu <em>ad-duff</em> atau <em>al-ghirbal</em>, atau rebana. Sabda Nabi Saw:</p> <p>“<em>Umumkanlah pernikahan dan tabuhkanlah untuknya rebana (<strong>ghirbal</strong>).</em>” [<strong>HR. Ibnu Majah</strong>] (<strong> Abi Bakar Jabir al-Jazairi</strong>, <strong><em>Haramkah Musik Dan Lagu? (Al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram)</em></strong>, hal. 52; <strong>Toha Yahya Omar</strong>, <strong><em>Hukum Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam</em></strong>, hal. 24).</p> <p>Adapun selain alat musik <em>ad-duff</em> / <em>al-ghirbal</em>, maka ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan dan ada pula yang menghalalkan. Dalam hal ini penulis cenderung kepada pendapat <strong>Syaikh Nashiruddin al-Albani</strong>. Menurut <strong>Syaikh Nashiruddin al-Albani</strong> hadits-hadits yang mengharamkan alat-alat musik seperti seruling, gendang, dan sejenisnya, seluruhnya dha’if. Memang ada beberapa ahli hadits yang memandang shahih, seperti <strong>Ibnu Shalah</strong> dalam<strong><em>Muqaddimah ‘Ulumul Hadits</em></strong>, <strong>Imam an-Nawawi</strong> dalam <strong><em>Al-Irsyad</em></strong>, <strong>Imam Ibnu Katsir</strong>dalam <strong><em>Ikhtishar ‘Ulumul Hadits</em></strong>, <strong>Imam Ibnu Hajar</strong> dalam <strong><em>Taghliqul Ta’liq</em></strong>, <strong>as-Sakhawy</strong>dalam <strong><em>Fathul Mugits</em></strong>, <strong>ash-Shan’ani</strong> dalam <strong><em>Tanqihul Afkar</em></strong> dan <strong><em>Taudlihul Afkar</em></strong> juga <strong>Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah</strong> dan <strong>Imam Ibnul Qayyim</strong> dan masih banyak lagi. Akan tetapi <strong>Syaikh Nashiruddin al-Albani</strong> dalam kitabnya <strong><em>Dha’if al-Adab al-Mufrad</em></strong> setuju dengan pendapat<strong>Ibnu Hazm</strong> dalam <strong><em>Al-Muhalla</em></strong> bahwa hadits yang mengharamkan alat-alat musik adalah<em>Munqathi’</em> (<strong>Syaikh Nashiruddin Al-Albani</strong>, <strong><em>Dha’if al-Adab al-Mufrad</em></strong>, hal. 14-16).</p> <p><strong>Imam Ibnu Hazm</strong> dalam kitabnya <strong><em>Al-Muhalla</em></strong>, juz VI, hal. 59 mengatakan:</p> <p>“<em>Jika belum ada perincian dari Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang sesuatu yang kita perbincangkan di sini [dalam hal ini adalah nyanyian dan memainkan alat-alat musik], maka telah terbukti bahwa ia halal atau boleh secara mutlak.</em>” (<strong>Dr. Abdurrahman al-Baghdadi</strong>, <strong><em>Seni Dalam Pandangan Islam</em></strong>, hal. 57).</p> <p>Kesimpulannya, memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum dasarnya. Kecuali jika ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka pada saat itu suatu alat musik tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil yang mengharamkan, kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah.</p> <p><strong>3.4. Hukum Mendengarkan Musik</strong></p> <p><strong>a. Mendengarkan Musik Secara Langsung (<em>Live</em>)</strong></p> <p>Pada dasarnya mendengarkan musik (atau dapat juga digabung dengan vokal) secara langsung, seperti show di panggung pertunjukkan, di GOR, lapangan, dan semisalnya, hukumnya sama dengan mendengarkan nyanyian secara interaktif. Patokannya adalah tergantung ada tidaknya unsur kemaksiatan atau kemungkaran dalam pelaksanaannya.</p> <p>Jika terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, misalnya syairnya tidak Islami, atau terjadi<em>ikhthilat</em>, atau terjadi penampakan aurat, maka hukumnya haram.</p> <p>Jika tidak terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka hukumnya adalah mubah (<strong>Dr. Abdurrahman al-Baghdadi</strong>, <strong><em>Seni Dalam Pandangan Islam</em></strong>, hal. 74).</p> <p><strong>b. Mendengarkan Musik Di Radio, TV, Dan Semisalnya</strong></p> <p>Menurut <strong>Dr. Abdurrahman al-Baghdadi</strong> (<strong><em>Seni Dalam Pandangan Islam</em></strong>, hal. 74-76) dan<strong>Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki</strong> (<strong><em>Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas</em></strong>, hal. 107-108) hukum mendengarkan musik melalui media TV, radio, dan semisalnya, tidak sama dengan hukum mendengarkan musik secara langsung sepereti show di panggung pertunjukkan. Hukum asalnya adalah <strong>mubah</strong> (<em>ibahah</em>), bagaimana pun juga bentuk musik atau nyanyian yang ada dalam media tersebut.</p> <p>Kemubahannya didasarkan pada hukum asal pemanfaatan benda (<em>asy-yâ’</em>) —dalam hal ini TV, kaset, VCD, dan semisalnya— yaitu mubah. Kaidah syar’iyah mengenai hukum asal pemanfaatan benda menyebutkan:</p> <p><strong>Al-ashlu fi al-asy-yâ’ al-ibahah ma lam yarid dalilu at-tahrim</strong> “<em>Hukum asal benda-benda, adalah boleh, selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya.</em>” (<strong>Dr. Abdurrahman al-Baghdadi</strong>, <strong><em>Seni Dalam Pandangan Islam</em></strong>, hal. 76).</p> <p>Namun demikian, meskipun asalnya adalah mubah, hukumnya dapat menjadi haram, bila diduga kuat akan mengantarkan pada perbuatan haram, atau mengakibatkan dilalaikannya kewajiban. Kaidah syar’iyah menetapkan:</p> <p><strong>Al-wasilah ila al-haram haram</strong> “<em>Segala sesuatu perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram juga.</em>” (<strong>Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani</strong>, <strong><em>Muqaddimah ad-Dustur</em></strong>, hal. 86).</p> <p><strong>4. Pedoman Umum Nyanyian Dan Musik Islami</strong></p> <p>Setelah menerangkan berbagai hukum di atas, penulis ingin membuat suatu pedoman umum tentang nyanyian dan musik yang Islami, dalam bentuk yang lebih rinci dan operasional. Pedoman ini disusun atas di prinsip dasar, bahwa nyanyian dan musik Islami wajib bersih dari segala unsur kemaksiatan atau kemungkaran, seperti diuraikan di atas. Setidaknya ada 4 (empat) komponen pokok yang harus diislamisasikan, hingga tersuguh sebuah nyanyian atau alunan musik yang indah (Islami):</p> <p><strong>1.</strong> Musisi/Penyanyi.</p> <p><strong>2.</strong> Instrumen (alat musik).</p> <p><strong>3.</strong> Sya’ir dalam bait lagu.</p> <p><strong>4.</strong> Waktu dan Tempat.</p> <p>Berikut sekilas uraiannya:</p> <p><strong>1). Musisi/Penyanyi</strong></p> <p><strong>a)</strong> Bertujuan menghibur dan menggairahkan perbuatan baik (<em>khayr</em> / <em>ma’ruf</em>) dan menghapus kemaksiatan, kemungkaran, dan kezhaliman. Misalnya, mengajak jihad fi sabilillah, mengajak mendirikan masyarakat Islam. Atau menentang judi, menentang pergaulan bebas, menentang pacaran, menentang kezaliman penguasa sekuler.</p> <p><strong>b)</strong> Tidak ada unsur <em>tasyabuh bil-kuffar</em> (meniru orang kafir dalam masalah yang bersangkutpaut dengan sifat khas kekufurannya) baik dalam penampilan maupun dalam berpakaian. Misalnya, mengenakan kalung salib, berpakaian ala pastor atau bhiksu, dan sejenisnya.</p> <p><strong>c)</strong> Tidak menyalahi ketentuan syara’, seperti wanita tampil menampakkan aurat, berpakaian ketat dan transparan, bergoyang pinggul, dan sejenisnya. Atau yang laki-laki memakai pakaian dan/atau asesoris wanita, atau sebaliknya, yang wanita memakai pakaian dan/atau asesoris pria. Ini semua haram.</p> <p><strong>2). Instrumen/Alat Musik</strong></p> <p>Dengan memperhatikan instrumen atau alat musik yang digunakan para shahabat, maka di antara yang mendekati kesamaan bentuk dan sifat adalah:</p> <p><strong>a)</strong> Memberi kemaslahatan bagi pemain ataupun pendengarnya. Salah satu bentuknya seperti genderang untuk membangkitkan semangat.</p> <p><strong>b)</strong> Tidak ada unsur <em>tasyabuh bil-kuffar</em> dengan alat musik atau bunyi instrumen yang biasa dijadikan sarana upacara non muslim.</p> <p>Dalam hal ini, instrumen yang digunakan sangat relatif tergantung maksud si pemakainya. Dan perlu diingat, hukum asal alat musik adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.</p> <p><strong>3). Sya’ir</strong></p> <p>Berisi:</p> <p><strong>a)</strong> <em>Amar ma’ruf</em> (menuntut keadilan, perdamaian, kebenaran dan sebagainya) dan <em>nahi munkar</em>(menghujat kedzaliman, memberantas kemaksiatan, dan sebagainya)</p> <p><strong>b)</strong> Memuji Allah, Rasul-Nya dan ciptaan-Nya.</p> <p><strong>c)</strong> Berisi <em>‘ibrah</em> dan menggugah kesadaran manusia.</p> <p><strong>d)</strong> Tidak menggunakan ungkapan yang dicela oleh agama.</p> <p><strong>e)</strong> Hal-hal mubah yang tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.</p> <p><strong>Tidak</strong> berisi:</p> <p><strong>a)</strong> <em>Amar munkar</em> (mengajak pacaran, dan sebagainya) dan <em>nahi ma’ruf</em> (mencela jilbab,dsb).</p> <p><strong>b)</strong> Mencela Allah, Rasul-Nya, al-Qur’an.</p> <p><strong>c)</strong> Berisi “bius” yang menghilangkan kesadaran manusia sebagai hamba Allah.</p> <p><strong>d)</strong> Ungkapan yang tercela menurut syara’ (porno, tak tahu malu, dan sebagainya).</p> <p><strong>e)</strong> Segala hal yang bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.</p> <p><strong>4). Waktu Dan Tempat</strong></p> <p><strong>a)</strong> Waktu mendapatkan kebahagiaan (<em>waqtu sururin</em>) seperti pesta pernikahan, hari raya, kedatangan saudara, mendapatkan rizki, dan sebagainya.</p> <p><strong>b)</strong> Tidak melalaikan atau menyita waktu beribadah (yang wajib).</p> <p><strong>c)</strong> Tidak mengganggu orang lain (baik dari segi waktu maupun tempat).</p> <p><strong>d)</strong> Pria dan wanita wajib ditempatkan terpisah (<em>infishal</em>) tidak boleh <em>ikhtilat</em> (campur baur).</p> <p><strong>5. Penutup</strong></p> <p>Demikianlah kiranya apa yang dapat penulis sampaikan mengenai hukum menyanyi dan bermusik dalam pandangan Islam. Tentu saja tulisan ini terlalu sederhana jika dikatakan sempurna. Maka dari itu, dialog dan kritik konstruktif sangat diperlukan guna penyempurnaan dan koreksi.</p> <p>Penulis sadari bahwa permasalahan yang dibahas ini adalah permasalahan <em>khilafiyah</em>. Mungkin sebagian pembaca ada yang berbeda pandangan dalam menentukan status hukum menyanyi dan musik ini, dan perbedaan itu sangat penulis hormati.</p> <p>Semua ini mudah-mudahan dapat menjadi kontribusi —walau pun cuma secuil— dalam upaya melepaskan diri dari masyarakat sekuler yang bobrok, yang menjadi pendahuluan untuk membangun peradaban dan masyarakat Islam yang kita idam-idamkan bersama, yaitu masyarakat Islam di bawah naungan <strong>Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah</strong>. <em>Amin</em>. [M. Shiddiq al-Jawi]</p> <p><em>Wallahu a’lam bi ash-showab</em>.</p> <p><strong>Daftar Bacaan</strong></p> <p>* Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh. Cetakan II. (Beirut : Darul Bayariq).</p> <p>* Al-Amidi, Saifuddin. 1996. Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam. Juz I. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).</p> <p>* Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1991. Seni Dalam Pandangan Islam. Cetakan I. (Jakarta : Gema Insani Press).</p> <p>* Al-Jazairi, Abi Bakar Jabir. 1992. Haramkah Musik dan Lagu ? (Al-I’lam bi Anna Al-‘Azif wa Al-Ghina Haram). Alih Bahasa oleh Awfal Ahdi. Cetakan I. (Jakarta : Wala` Press).</p> <p>* Al-Jaziri, Abdurrahman. 1999. Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah. Juz II. Qism Al-Mu’amalat. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).</p> <p>* Asy-Syaukani. Tanpa Tahun. Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq Al-Haq min ‘Ilm Al-Ushul.(Beirut : Darul Fikr).</p> <p>* Asy-Syuwaiki, Muhammad. Tanpa Tahun. Al-Khalash wa Ikhtilaf An-Nas. (Al-Quds : Mu`assasah Al-Qudsiyah Al-Islamiyyah).</p> <p>* An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III (Ushul Al-Fiqh). Cetakan II. (Al-Quds : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir).</p> <p>* ———-. 1963. Muqaddimah Ad-Dustur.(t.t.p. : t.p.).</p> <p>* ———-. 1994. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz I. Cetakan IV. (Beirut : Darul Ummah).</p> <p>* ———-.2001. Nizham Al-Islam. (t.t.p. : t.p.).</p> <p>* Ath-Thahhan, Mahmud. Tanpa Tahun. Taysir Musthalah Al-Hadits. (Surabaya : Syirkah Bungkul Indah).</p> <p>* Bulletin An-Nur. Hukum Musik dan Lagu. <a href="http://www.alsofwah.or.id/" target="_blank">http://www.alsofwah.or.id/</a></p> <p>* Bulletin Istinbat. Mendengarkan Musik, Haram ? <a href="http://www.sidogiri.com/" target="_blank">http://www.sidogiri.com/</a></p> <p>* Fatwa Pusat Konsultasi Syariah. Lagu dan Musik. <a href="http://www.syariahonline.com/" target="_blank">http://www.syariahonline.com/</a></p> <p>* Kusuma, Juanda. 2001. Tentang Musik. <a href="http://www.pesantrenvirtual.com/" target="_blank">http://www.pesantrenvirtual.com/</a></p> <p>* “Norma Islam untuk Musisi, Instrumen, Sya’ir, dan Waktu”. Musik.<a href="http://www.ashifnet.tripod.com/" target="_blank">http://www.ashifnet.tripod.com/</a></p> <p>* Omar, Toha Yahya. 1983. Hukum Seni Musik, Seni Suara, dan Seni Tari Dalam Islam. Cetakan II. (Jakarta : Penerbit Widjaya).</p> <p>* Santoso, Iman. Hukum Nyanyian dan Musik. <a href="http://www.ummigroup.co.id/" target="_blank">http://www.ummigroup.co.id/</a></p> <p>* Wafaa, Muhammad. 2001. Metode Tarjih Atas Kontradiksi Dalil-Dalil Syara’ (Ta’arudh Al-Adillah min Al-Kitab wa As-Sunnah wa At-Tarjih Baynaha). Alih Bahasa oleh Muslich. Cetakan I. (Bangil : Al-Izzah).</p> <p>Sumber : <a href="http://muhammadsugiono.wordpress.com/2011/05/22/hukum-menyanyi-dan-musik-dalam-fiqih-islam/">http://muhammadsugiono.wordpress.com/2011/05/22/hukum-menyanyi-dan-musik-dalam-fiqih-islam/</a></p> Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5082219385398894338.post-57830283929026774152012-08-28T11:25:00.001+07:002012-08-28T11:25:36.646+07:00Hukum Lukisan dan Patung Dalam Islam<h3>Lukisan dan Ukiran</h3> <p>Demikianlah pendirian Islam terhadap gambar yang bertubuh, yakni yang sekarang dikenal dengan patung atau monumen. Tetapi bagaimanakah hukumnya gambar-gambar dan lukisan-lukisan seni yang dilukis di lembaran-lembaran, seperti kertas, pakaian, dinding, lantai, uang dan sebagainya itu?</p> <p><img style="display: inline; margin-left: 0px; margin-right: 0px" class="alignleft" title="Patung 3 Wanita Harapoan Indah Bekasi" alt="" align="left" src="https://encrypted-tbn1.google.com/images?q=tbn:ANd9GcSscSBO9ebTCuPmPSnDXftFNgljigsacXwHn6d6xAGsRoI0NeasZw" width="279" height="492">Jawabnya: Bahwa hukumnya tidak jelas, kecuali kita harus melihat gambar itu sendiri untuk tujuan apa? Di mana dia itu diletakkan? Bagaimana diperbuatnya? Dan apa tujuan pelukisnya itu?</p> <p>Kalau lukisan seni itu berbentuk sesuatu yang disembah selain Allah, seperti gambar al-Masih bagi orang-orang Kristen atau sapi bagi orang-orang Hindu dan sebagainya, maka bagi si pelukisnya untuk tujuan-tujuan di atas, tidak lain dia adalah menyiarkan kekufuran dan kesesatan. Dalam hal ini berlakulah baginya ancaman Nabi yang begitu keras:</p> <blockquote> <p>"Sesungguhnya orang yang paling berat siksaannya nanti di hari kiamat ialah orang-orang yang menggambar." (Riwayat Muslim)</p></blockquote> <p>Imam Thabari berkata: "Yang dimaksud dalam hadis ini, yaitu orang-orang yang menggambar sesuatu yang disembah selain Allah, sedangkan dia mengetahui dan sengaja. Orang yang berbuat demikian adalah kufur. Tetapi kalau tidak ada maksud seperti di atas, maka dia tergolong orang yang berdosa sebab menggambar saja."</p> <p>Yang seperti ini ialah orang yang menggantungkan gambar-gambar tersebut untuk dikuduskan. Perbuatan seperti ini tidak pantas dilakukan oleh seorang muslim, kecuali kalau agama Islam itu dibuang di belakang punggungnya.</p> <p>Dan yang lebih mendekati persoalan ini ialah orang yang melukis sesuatu yang tidak biasa disembah, tetapi dengan maksud untuk menandingi ciptaan Allah. Yakni dia beranggapan, bahwa dia dapat membuat dan menciptakan jenis terbaru seperti ciptaan Allah. Orang yang melukis dengan tujuan seperti itu jelas telah keluar dari agama Tauhid. Terhadap orang ini berlakulah hadis Nabi yang mengatakan:</p> <blockquote> <p>"Sesungguhnya orang yang paling berat siksaannya ialah orang-orang yang menandingi ciptaan Allah." (Riwayat Muslim)</p></blockquote> <p>Persoalan ini tergantung pada niat si pelukisnya itu sendiri.</p> <p>Barangkali hadis ini dapat diperkuat dengan hadis yang mengatakan:</p> <blockquote> <p>"Siapakah orang yang lebih berbuat zalim selain orang yang bekerja membuat seperti pembuatanku? Oleh karena itu cobalah mereka membuat biji atau zarrah." (Riwayat Bukhari dan Muslim)</p></blockquote> <p>Allah mengungkapkan firmanNya di sini dengan kata-kata "dzahaba yakhluqu kakhalqi" (dia bekerja untuk membuat seperti pembuatanku), ini menunjukkan adanya suatu kesengajaan untuk menandingi dan menentang kekhususan Allah dalam ciptaannya dan keindahannya. Oleh karena itu Allah menentang mereka supaya membuat sebutir zarrah. Ia memberikan isyarat, bahwa mereka itu benar-benar bersengaja untuk maksud tersebut. Justru itu Allah akan membalas mereka itu nanti dan mengatakan kepada mereka: "Hidupkan apa yang kamu cipta itu!" Mereka dipaksa untuk meniupkan roh ke dalam lukisannya itu, padahal dia tidak akan mampu.</p> <p>Termasuk gambar/lukisan yang diharamkan, yaitu gambar/lukisan yang dikuduskan (disucikan) oleh pemiliknya secara keagamaan atau diagung-agungkan secara keduniaan.</p> <p>Untuk yang pertama: Seperti gambar-gambar Malaikat dan para Nabi, misalnya Nabi Ibrahim, Ishak, Musa dan sebagainya. Gambar-gambar ini biasa dikuduskan oleh orang-orang Nasrani, dan kemudian sementara orang-orang Islam ada yang menirunya, yaitu dengan melukiskan Ali, Fatimah dan lain-lain.</p> <p>Sedang untuk yang kedua: Seperti gambar raja-raja, pemimpin-pemimpin dan seniman-seniman. Ini dosanya tidak seberapa kalau dibandingkan dengan yang pertama tadi. Tetapi akan meningkat dosanya, apabila yang dilukis itu orang-orang kafir, orang-orang yang zalim atau orang-orang yang fasik. Misalnya para hakim yang menghukum dengan selain hukum Allah, para pemimpin yang mengajak umat untuk berpegang kepada selain agama Allah atau seniman-seniman yang mengagung-agungkan kebatilan dan menyiarnyiarkan kecabulan di kalangan umat.</p> <p><a href="http://lh6.ggpht.com/-u5Oz4VxV6UM/UDxINrJfG8I/AAAAAAAACjY/Xcw_JoUfWEI/s1600-h/images%252520%2525281%252529%25255B3%25255D.jpg"><img style="border-right-width: 0px; display: inline; border-top-width: 0px; border-bottom-width: 0px; margin-left: 0px; border-left-width: 0px; margin-right: 0px" title="images (1)" border="0" alt="images (1)" align="left" src="http://lh6.ggpht.com/-afJB7OjMf8k/UDxIPKJB3oI/AAAAAAAACjg/1K7A2V4pB64/images%252520%2525281%252529_thumb%25255B1%25255D.jpg?imgmax=800" width="192" height="244"></a> Kebanyakan gambar-gambar/lukisan-lukisan di zaman Nabi dan sesudahnya, adalah lukisan-lukisan yang disucikan dan diagung-agungkan. Sebab pada umumnya lukisan-lukisan itu adalah buatan Rum dan Parsi (Nasrani dan Majusi). Oleh karena itu tidak dapat melepaskan pengaruhnya terhadap pengkultusan kepada pemimpin-pemimpin agama dan negara.</p> <p>Imam Muslim meriwayatkan, bahwa Abu Dhuha pernah berkata sebagai berikut: Saya dan Masruq berada di sebuah rumah yang di situ ada beberapa patung. Kemudian Masruq berkata kepadaku: Apakah ini patung Kaisar? Saya jawab: Tidak! Ini adalah patung Maryam.</p> <p>Masruq bertanya demikian, karena menurut anggapannya, bahwa lukisan itu buatan Majusi dimana mereka biasa melukis raja-raja mereka di bejana-bejana. Tetapi akhirnya ketahuan, bahwa patung tersebut adalah buatan orang Nasrani.</p> <p>Dalam kisah ini Masruq kemudian berkata: Saya pernah mendengar Ibnu Mas'ud menceriterakan apa yang ia dengar dari Nabi s.a.w., bahwa beliau bersabda: "Sesungguhnya orang yang paling berat siksaannya di sisi Allah, ialah para pelukis."</p> <p>Selain gambar-gambar di atas, yaitu misalnya dia menggambar/melukis makhluk-makhluk yang tidak bernyawa seperti tumbuh-tumbuhan, pohon-pohonan, laut, gunung, matahari, bulan, bintang dan sebagainya. Maka hal ini sedikitpun tidak berdosa dan tidak ada pertentangan samasekali di kalangan para ulama.</p> <p>Tetapi gambar-gambar yang bernyawa kalau tidak ada unsur-unsur larangan seperti tersebut di atas, yaitu bukan untuk disucikan dan diagung-agungkan dan bukan pula untuk maksud menyaingi ciptaan Allah, maka menurut hemat saya tidak haram. Dasar daripada pendapat ini adalah hadis sahih, antara lain:</p> <blockquote> <p>"Dari Bisir bin Said dari Zaid bin Khalid dari Abu Talhah sahabat Nabi, bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya Malaikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya ada gambar." (Riwayat Muslim)</p></blockquote> <p>Bisir berkata: Sesudah itu Zaid mengadukan. Kemudian kami jenguk dia, tiba-tiba di pintu rumah Zaid ada gambarnya. Lantas aku bertanya kepada Ubaidillah al-Khaulani anak tiri Maimunah isteri Nabi: Apakah Zaid belum pernah memberitahumu tentang gambar pada hari pertama? Kemudian Ubaidillah berkata: Apakah kamu tidak pernah mendengar dia ketika ia berkata: "Kecuali gambar di pakaian."</p> <blockquote> <p>Tarmizi meriwayatkan dengan sanadnya dari Utbah, bahwa dia pernah masuk di rumah Abu Talhah al-Ansari untuk menjenguknya, tiba-tiba di situ ada Sahal bin Hanif. Kemudian Abu Talhah menyuruh orang supaya mencabut seprei yang di bawahnya (karena ada gambarnya). Sahal lantas bertanya kepada Abu Talhah: Mengapa kau cabut dia? Abu Talhah menjawab: Karena ada gambarnya, dimana hal tersebut telah dikatakan oleh Nabi yang barangkali engkau telah mengetahuinya. Sahal kemudian bertanya lagi: Apakah beliau (Nabi) tidak pernah berkata: "Kecuali gambar yang ada di pakaian?" Abu Talhah kemudian menjawab: Betul! Tetapi itu lebih menyenangkan hatiku." (Kata Tarmizi: hadis ini hasan sahih)</p></blockquote> <p>Tidakkah dua hadis di atas sudah cukup untuk menunjukkan, bahwa gambar yang dilarang itu ialah yang berjasad atau yang biasa kita istilahkan dengan patung? Adapun gambar-gambar ataupun lukisan-lukisan di papan, pakaian, lantai, tembok dan sebagainya tidak ada satupun nas sahih yang melarangnya.</p> <p>Betul di situ ada beberapa hadis sahih yang menerangkan bahwa Nabi menampakkan ketidak-sukaannya, tetapi itu sekedar makruh saja. Karena di situ ada unsur-unsur menyerupai orang-orang yang bermewah-mewah dan penggemar barang-barang rendahan.</p> <p>Imam Muslim meriwayatkan dari jalan Zaid bin Khalid al-Juhani dari Abu Talhah al-Ansari, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:</p> <blockquote> <p>"Malaikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya ada anjing dan patung. Saya (Zaid) kemudian bertanya kepada Aisyah: Sesungguhnya ini (Abu Talhah) memberitahuku, bahwa Rasulullah s.a.w. telah bersabda. Malaikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya ada anjing dan patung. Apakah engkau juga demikian? Maka kata Aisyah: Tidak! Tetapi saya akan menceriterakan kepadamu apa yang pernah saya lihat Nabi kerjakan, yaitu: Saya lihat Nabi keluar dalam salah satu peperangan, kemudian saya membuat seprei korden (yang ada gambarnya) untuk saya pakai menutup pintu. Setelah Nabi datang, ia melihat korden tersebut. Saya lihat tanda marah pada wajahnya, lantas dicabutnya korden tersebut sehingga disobek atau dipotong sambil ia berkata: Sesungguhnya Allahi tidak menyuruh kita untuk memberi pakaian kepada batu dan tanah. Kata Aisyah selanjutnya: Kemudian kain itu saya potong daripadanya untuk dua bantal dan saya penuhi dengan kulit buah-buahan, tetapi Rasulullah sama sekali tidak mencela saya terhadap yang demikian itu." (Riwayat Muslim)</p></blockquote> <p>Hadis tersebut tidak lebih hanya menunjukkan makruh tanzih karena memberikan pakaian kepada dinding dengan korden yang bergambar.</p> <p>Imam Nawawi berkata: hadis tersebut tidak menunjukkan haram, karena hakikat perkataan sesungguhnya Allah tidak menyuruh kita itu tidak dapat dipakai untuk menunjukkan wajib, sunnat atau haram.</p> <p>Yang semakna dengan ini diriwayatkan juga oleh Imam Muslim dari jalan Aisyah pula, ia berkata:</p> <blockquote> <p>"Saya mempunyai tabir padanya ada gambar burung, sedang setiap orang yang masuk akan menghadapnya (akan melihatnya), kemudian Nabi berkata kepadaku: Pindahkanlah ini, karena setiap saya masuk dan melihatnya maka saya ingat dunia."(Riwayat Muslim)</p></blockquote> <p>Dalam hadis ini Rasulullah s.a.w. tidak menyuruh Aisyah supaya memotongnya, tetapi beliau hanya menyuruh memindahkan ke tempat lain. Ini menunjukkan ketidaksukaan Nabi melihat, bahwa di hadapannya ada gambar tersebut yang dapat mengingatkan kebiasaan dunia dengan seluruh aneka keindahannya itu; lebih-lebih beliau selalu sembahyang sunnat di rumah. Sebab seprai-seprai dan korden-korden yang bergambar sering memalingkan hati daripada kekhusyu'an dan pemusatan menghadap untuk bermunajat kepada Allah. Ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari jalan Anas, ia mengatakan: Bahwa korden Aisyah dipakai untuk menutupi samping rumahnya, kemudian Nabi menyuruh dia dengan sabdanya:</p> <blockquote> <p>"Singkirkanlah korden itu dariku, karena gambar-gambarnya selalu tampak dalam sembahyangku." (Riwayat Bukhari)</p></blockquote> <p>Dengan demikian jelas, bahwa Nabi sendiri membenarkan di rumahnya ada tabir/korden yang bergambar burung dan sebagainya.</p> <p>Dari hadis-hadis itu pula, sementara ulama salaf berpendapat: "Bahwa gambar yang dilarang itu hanyalah yang ada bayangannya, adapun yang tidak ada bayangannya tidak menqapa."<a name="27"></a><a href="http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Halal/2kaki.html#27"><sup>27</sup></a></p> <blockquote> <p>Pendapat ini diperkuat oleh hadis Qudsi yang mengatakan: "Siapakah yang terlebih menganiaya selain orang yang bekerja untuk membuat seperti ciptaanKu? Oleh karena itu cobalah mereka membuat zarrah, cobalah mereka membuat beras belanda!" (Riwayat Bukhari).</p></blockquote> <p>Ciptaan Allah sebagaimana kita lihat, bukan terlukis di atas dataran tetapi berbentuk dan berjisim, sebagaimana Dia katakan:</p> <blockquote> <p>"Dialah Zat yang membentuk kamu di dalam rahim bagaimanapun Ia suka." (ali-Imran: 6)</p></blockquote> <p>Tidak ada yang menentang pendapat ini selain hadis yang diriwayatkan Aisyah, dalam salah satu riwayat Bukhari dan Muslim, yang berbunyi sebagai berikut:</p> <blockquote> <p>"Sesungguhnya Aisyah membeli bantal yang ada gambar-gambarnya, maka setelah Nabi melihatnya ia berdiri di depan pintu, tidak mau masuk. Setelah Aisyah melihat ada tanda kemarahan di wajah Nabi, maka Aisyah bertanya: Apakah saya harus bertobat kepada Allah dan RasulNya, apa salah saya? Jawab Nabi: Mengapa bantal itu begitu macam? Jawab Aisyah: Saya beli bantal ini untuk engkau pakai duduk dan dipakai bantal. Maka jawab Rasulullah pula: Yang membuat gambar-gambar ini nanti akan disiksa, dan akan dikatakan kepada mereka: Hidupkanlah apa yang kamu buat itu. Lantas Nabi melanjutkan pembicaraannya: Sesungguhnya rumah yang ada gambarnya tidak akan dimasuki Malaikat. Dan Imam Muslim menambah dalam salah satu riwayat Aisyah, ia (Aisyah) mengatakan: Kemudian bantal itu saya jadikan dua buah untuk bersandar, dimana Nabi biasa bersandar dengan dua sandaran tersebut di rumah. Yakni Aisyah membelah bantal tersebut digunakan untuk dua sandaran." (Riwayat Muslim)</p></blockquote> <p>Akan tetapi hadis ini, nampaknya, bertentangan dengan sejumlah hal-hal sebagai berikut:</p> <p>1) Dalam riwayat yang berbeda-beda nampak bertentangan. Sebagian menunjukkan bahwa Nabi s.a.w. menggunakan tabir/korden yang bergambar yang kemudian dipotong-potong dan dipakai bantal. Sedang sebagian lagi menunjukkan, bahwa beliau samasekali tidak menggunakannya.</p> <p>2) Sebagian riwayat-riwayat itu hanya sekedar menunjukkan makruh. Sedang kemakruhannya itu karena korden tembok itu bergambar yang dapat menggambarkan semacam berlebih-lebihan yang ia (Rasulullah) tidak senang. Oleh karena itu dalam Riwayat Muslim, ia berkata: ''Sesungguhnya Allah tidak menyuruh kita supaya memberi pakaian pada batu dan tanah."</p> <p>3) Hadis Muslim yang diriwayatkan oleh Aisyah itu sendiri menggambarkan di rumahnya ada tabir/korden yang bergambar burung. Kemudian Nabi menyuruh dipindahkan, dengan kata-katanya: "Pindahkanlah, karena saya kalau melihatnya selalu ingat dunia!" Ini tidak menunjukkan kepada haram secara mutlak.</p> <p>4) Bertentangan dengar: hadis qiram (tabir) yang ada di rumah Aisyah juga, kemudian oleh Nabi disuruhnya menyingkirkan, sebab gambar-gambarnya itu selalu tampak dalam shalat. Sehingga kata al-Hafidh: "Hadis ini dengan hadis di atas sukar sekali dikompromikan (jama'), sebab hadis ini menunjukkan Nabi membenarkannya, dan beliau shalat sedang tabir tersebut tetap terpampang, sehingga beliau perintahkan Aisyah untuk menyingkirkannya, karena melihat gambar-gambar tersebut dalam shalat dan dapat mengingatkan yang bukan-bukan, bukan semata-mata karena gambarnya itu an sich.</p> <p>Akhirnya al-Hafidh berusaha untuk menjama' hadis-hadis tersebut sebagai berikut: hadis pertama, karena terdapat gambar binatang bernyawa sedang hadis kedua gambar selain binatang ... Akan tetapi inipun bertentangan pula dengan hadis qiram yang jelas di situ bergambar burung.</p> <p>5) Bertentangan dengan hadis Abu Talhah al-Ansari yang mengecualikan gambar dalam pakaian. Karena itu Imam Qurthubi berpendapat: "Dua hadis itu dapat dijama' sebagai berikut: hadis Aisyah dapat diartikan makruh, sedang hadis Abu Talhah menunjukkan mubah secara mutlak yang sama sekali tidak menafikan makruh di atas." Pendapat ini dibenarkan oleh al-Hafidh Ibnu Hajar.</p> <p>6) Rawi hadis namruqah (bantal) ada seorang bernama al-Qasim bin Muhammad bin Abubakar, keponakan Aisyah sendiri, ia membolehkan gambar yang tidak ada bayangannya, yaitu seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Aun, ia berkata: "Saya masuk di rumah al-Qasim di Makkah sebelah atas, saya lihat di rumahnya itu ada korden yang ada gambar trenggiling dan burung garuda."<a name="28"></a><a href="http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Halal/2kaki.html#28"><sup>28</sup></a></p> <p>Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata; Barangkali al-Qasim berpegang pada keumuman hadis Nabi yang mengatakan kecuali gambar dalam pakaian dan seolah-olah dia memahami keingkaran Nabi terhadap Aisyah yang menggantungkan korden yang bergambar dan menutupi dinding. Faham ini diperkuat dengan hadisnya yang mengatakan: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh kita supaya memberi pakaian batu dan tanah." Sedang al-Qasim adalah salah seorang ahli fiqih Madinah yang tujuh, dia juga termasuk orang pilihan pada zaman itu, dia pula rawi hadis namruqah itu. Maka jika dia tidak memaham rukhsakh terhadap korden yang dia pasang itu, niscaya dia tidak akan menggunakannya.<a name="29"></a><a href="http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Halal/2kaki.html#29"><sup>29</sup></a></p> <p>Tetapi di samping itu tampaknya ada kemungkinan yang tampak pada hadis-hadis yang berkenaan dengan masalah gambar dan pelukisnya, yaitu bahwa Rasulullah s.a.w. memperkeras persoalan ini pada periode pertama dari kerasulannya, dimana waktu itu kaum muslimin baru saja meninggalkan syirik dan menyembah berhala serta mengagung-agungkan patung. Tetapi setelah aqidah tauhid itu mendalam kedalam jiwa dan akar-akarnya telah menghunjam kedalam hati dan pikiran, maka beliau memberi perkenan (rukhshah) dalam hal gambar yang tidak berjasad, yang hanya sekedar ukiran dan lukisan. Kalau tidak begitu, niscaya beliau tidak suka adanya tabir/korden yang bergambar di dalam rumahnya; dan ia pun tidak akan memberikan perkecualian tentang lukisan dalam pakaian, termasuk juga dalam kertas dan dinding.</p> <p>Ath-Thahawi, salah seorang dari ulama madzhab Hanafi berpendapat: Syara' melarang semua gambar pada permulaan waktu, termasuk lukisan pada pakaian, karena mereka baru saja meninggalkan menyembah patung. Oleh karena itu secara keseluruhan gambar dilarang. Tetapi setelah larangan itu berlangsung lama, kemudian dibolehkan gambar yang ada pada pakaian karena suatu darurat. Syara' pun kemudian membolehkan gambar yang tidak berjasad karena sudah dianggap orang-orang bodoh tidak lagi mengagungkannya, sedang yang berjasad tetap dilarang.</p> <p>Halal dan Haram dalam Islam<br>Oleh Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi<br>Alih bahasa: H. Mu'ammal Hamidy<br>Penerbit: PT. Bina Ilmu, 1993</p> <p>Sumber : <a href="http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Halal/2038.html">http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Halal/2038.html</a></p> Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5082219385398894338.post-17180212295426679262012-08-28T06:51:00.001+07:002012-08-28T06:51:00.564+07:00Pergaulan Antar Muslim, Hukum Membunuh sesama Muslim<p> </p> <h6>4.4.2.8 Melindungi Harga Diri</h6> <p>Kedelapan: Kita semua telah memaklumi, bagaimana Islam dengan melalui ajaran-ajarannya telah melindungi kehormatan dan harga diri manusia, bahkan sampai kepada bentuk mensucikannya. <p>Pada satu hari Ibnu Mas'ud pernah melihat Ka'bah, kemudian dia mengatakan: "Betapa agungnya engkau dan betapa pula agungnya kehormatanmu. Tetapi orang mu'min lebih agung kehormatannya daripada engkau." (Riwayat Tarmizi) <p><img style="border-bottom: 0px; border-left: 0px; display: inline; margin-left: 0px; border-top: 0px; margin-right: 0px; border-right: 0px" border="0" align="right" src="https://encrypted-tbn2.google.com/images?q=tbn:ANd9GcSITyKlghnmDSOvYenA81UPAxoeJwJ4uGI8HvaBuIL6CClBGnLb">Dalam haji wada', Rasulullah s.a.w, pernah berkhutbah di hadapan khalayak kaum muslimin, di antara isi khutbahnya itu berbunyi sebagai berikut: <blockquote>"Sesungguhnya harta benda kamu, kehormatanmu, darah kamu haram atas kamu (dilindungi), sebagaimana haramnya harimu ini di bulanmu ini dan di negerimu ini." (Riwayat Tarmizi)</blockquote> <p>Islam melindungi kehormatan pribadi dari suatu omongan yang tidak disukainya untuk disebut-sebut dalam ghibah, padahal omongan itu cukup benar. Maka bagaimana lagi kalau omongan itu justru dibuat-buat dan tidak berpangkal? Jelas merupakan dosa besar. Seperti dituturkan dalam hadis Nabi: <blockquote>"Barangsiapa membicarakan seseorang dengan sesuatu yang tidak ada padanya karena hendak mencela dia, maka Allah akan tahan dia di neraka jahanam, sehingga dia datang untuk membebaskan apa yang dia omongkan itu." (Riwayat Thabarani)</blockquote> <p>Aisyah juga pernah meriwayatkan: <blockquote>"Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah bertanya kepada para sahabatnya: Tahukah kamu riba apakah yang teramat berat di sisi Allah? Mereka menjawab: Allah dan RasulNya yang maha tahu. Kemudian bersabdalah Rasulullah: Sesungguhnya riba yang teramat berat di sisi Allah, ialah: menghalalkan kehormatan pribadi seorang muslim."</blockquote> <p>Kemudian Rasulullah s.a.w. membacakan ayat: <blockquote>"Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu'min laki-laki dan perempuan dengan sesuatu yang pada hakikatnya mereka tidak berbuat, maka sungguh mereka telah memikul dusta dan dosa yang terang-terangan." (al-Ahzab: 58)<a name="33"></a><a href="http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Halal/4kaki.html#33"><sup>33</sup></a></blockquote> <p>Bentuk penodaan kehormatan yang paling berat ialah menuduh orang-orang mu'min perempuan yang terpelihara, melakukan suatu kemesuman. Karena tuduhan tersebut akan membawa bahaya yang besar kalau mereka mendengarnya dan didengar pula oleh keluarga-keluarganya, serta akan berbahaya untuk masa depan mereka. Lebih-lebih kalau hal itu didengar oleh orang-orang yang suka menyebar luaskan kejahatan di tengah-tengah masyarakat Islam. <p>Justru itu Rasulullah menganggapnya sebagai salah satu daripada dosa-dosa besar yang akan meruntuhkan. Dan al-Quran pun mengancamnya dengan hukuman yang amat berat. <p>Firman Allah: <blockquote>"Sesungguhnya orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang bersih jujur dan beriman, mereka itu dilaknat di dunia dan di akhirat, dan bagi mereka siksaan yang besar, yaitu pada hari di mana lidah, tangan dan kaki mereka akan menyaksikan atas mereka tentang apa-apa yang pernah mereka lakukan. Pada hari itu Allah akan menyempurnakan balasan mereka dengan benar, dan mereka tahu sesungguhnya Allah, Dialah yang benar yang nyata." (an-Nur: 23-25)</blockquote> <p>Dan firmanNya pula: <blockquote>"Sesungguhnya orang-orang yang senang untuk tersiarnya kejelekan di kalangan orang-orang mu'min, kelak akan mendapat siksaan yang pedih di dunia dan akhirat, dan Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui." (an-Nur: 19)</blockquote> <h6><a name="4.4.2.9"></a>4.4.2.9 Kehormatan Darah</h6> <p>Kesembilan: Islam membersihkan kehidupan ummat manusia dan melindungi kehormatan setiap orang serta menetapkan, bahwa menodainya berarti suatu dosa besar di hadapan Allah, sesudah dosa kufur. <p>Al-Quran mengatakan sebagai berikut: <blockquote>"Bahwasanya, barangsiapa membunuh suatu jiwa, padahal dia tidak membunuh jiwa atau tidak membuat kerusuhan di permukaan bumi, maka seolah-olah dia telah membunuh manusia seluruhnya." (al-Maidah: 32)</blockquote> <p>Hal ini disebabkan jenis manusia itu seluruhnya pada dasarnya satu usrah (satu keluarga). Jadi kalau ada permusuhan oleh seseorang kepada orang lain, sama halnya dengan memusuhi jenis manusia itu sendiri. <p>Lebih hebat lagi haramnya, apabila pihak yang terbunuh justru orang Islam. Firman Allah: <blockquote>"Barangsiapa membunuh seorang mu'min dengan sengaja, maka balasannya neraka jahanam dengan kekal abadi di dalamnya, dan Allah akan murka dan melaknatnya serta mempersiapkan untuknya siksaan yang besar." (an-Nisa': 93)</blockquote> <p>Dan Rasulullah s.a.w. juga bersabda: <blockquote>"Sungguh lenyapnya dunia akan lebih mudah bagi Allah ada (hilangnya dosa) seseorang yang membunuh orang Islam." (Riwayat Muslim, Nasa'i dan Tarmizi)</blockquote> <p>Dan sabdanya juga: <blockquote>"Senantiasa seorang mu'min dalam kelapangan dari agamanya selama dia tidak mengenai darah haram." (Riwayat Bukhari)</blockquote> <p>Dan ia bersabda pula: <blockquote>"Setiap dosa ada harapan Allah akan mengampuninya, kecuali seorang laki-laki yang mati dalam keadaan syirik atau seorang laki-laki membunuh seorang mu'min dengan sengaja." (Riwayat Abu Daud, Ibnu Hibban dan Hakim)</blockquote> <p>Terhadap ayat dan hadis-hadis tersebut, Ibnu Abbas berpendapat, bahwa taubatnya seorang pembunuh tidak bakal diterima. Jadi seolah-olah dia berpendapat, bahwa di antara syarat taubat tidak akan diterima kecuali dengan mengembalikan hak-hak tersebut kepada keluarga terbunuh atau minta kerelaannya. Sekarang bagaimana mungkin dia dapat mengembalikan hak orang yang terbunuh itu kepadanya atau minta direlakannya? <p>Yang lain berpendapat: bahwa taubat yang ikhlas itu dapat diterima dan menghapuskan syirik, apalagi dosa di bawah syirik? <p>Firman Allah: <blockquote>"Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan lain bersama Allah, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali karena hak dan tidak berzina. Barangsiapa berbuat demikian, maka dia akan menjumpai dosanya yang dilipat-gandakan baginya siksaan kelak di hari kiamat dan akan kekal dalam siksaan itu dengan keadaan hina, kecuali orang yang taubat dan beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan diganti oleh Allah kejelekan-kejelekannya dengan kebaikan-kebaikan, dan adalah Allah Maha Pengam pun lagi Maha Belas-kasih." (al-Furqan: 68-70)</blockquote> <h6><a name="4.4.2.9.1"></a>4.4.2.9.1 Pembunuh dan yang Terbunuh, Kedua-duanya di Neraka</h6> <p>Rasulullah s.a.w. menilai, bahwa membunuh seorang muslim sebagai satu bagian daripada kufur dan salah satu perbuatan jahiliah yang suka melancarkan peperangan dan mengalirkan darah kendati hanya karena seekor unta atau kuda. Maka kata Rasulullah s.a.w.: <blockquote>"Memaki seorang muslim adalah fasik, dan memeranginya adalah kufur." (Riwayat Bukhari dan Muslim)</blockquote> <p>Dan sabdanya pula: <blockquote>"Jangan kamu kembali kafir sesudah aku meninggal, yaitu sebagian kamu memukul leher sebagiannya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)</blockquote> <p>Dan pernah juga ia bersabda: <blockquote>"Apabila ada dua orang Islam, salah satunya membawa senjata untuk membunuh saudaranya, maka kedua-duanya berada di tepi jahanam; dan apabila salah satunya membunuh kawannya, maka kedua-duanya masuk jahanam. Kemudian Rasulullah s.a.w. ditanya: Ya Rasulullahl Ini yang membunuh memang mungkin, tetapi mengapa yang terbunuh sampai begitu? Jawab Nabi: Karena dia bermaksud akan membunuh saudaranya juga." (Riwayat Bukhari)</blockquote> <p>Oleh karena itulah Rasulullah s.a.w. melarang setiap perbuatan yang dapat membawa kepada pembunuhan atau peperangan, kendati hanya sekedar berisyarat dengan senjata. Sepertisabdanya: <blockquote>"Janganlah salah seorang di antara kamu berisyarat kepada saudaranya dengan pedang, sebab dia tidak tahu barangkali syaitan akan melepaskan dari tangannya, maka dia akan jatuh ke jurang neraka." (Riwayat Bukhari)</blockquote> <p>Dan sabdanya pula: <blockquote>"Barangsiapa mengisyaratkan besi kepada kawannya, maka Malaikat akan melaknatnya sehingga ia berhenti, sekalipun dia itu saudara sekandung." (Riwayat Muslim)</blockquote> <p>Bahkan ia bersabda: <blockquote>"Tidak halal seorang muslim menakut-nakuti orang lain." (Riwayat Abu Daud dan Thabarani dan rawi-rawinya kepercayaan)</blockquote> <p>Dosa ini tidak terbatas kepada si pembunuhnya saja, bahkan semua orang yang terlibat dalam pembunuhan itu, baik dengan perkataan ataupun perbuatan akan mendapat murka dari Allah sebesar dosa keterlibatannya itu. Sampai pun orang yang menyaksikan pembunuhan itu akan mendapat bagian dosa juga. Seperti disebutkan dalam hadis Nabi yang mengatakan: <blockquote>"Jangan sampai salah seorang dari antara kamu berdiri di suatu tempat yang dilakukan pembunuhan terhadap seseorang dengan penganiayaan. Sebab laknat akan turun kepada orang yang menyaksikan sedangkan dia tidak mau membelanya." (Riwayat Thabarani dan Baihaqi dengan sanad hasan)</blockquote> <h6><a name="4.4.2.9.2"></a>4.4.2.9.2 Dilindunginya Darah Kafir 'Ahdi dan Dzimmi</h6> <p>Nas-nas yang berkenaan dengan larangan membunuh dan peperangan ditujukan untuk ummat Islam, karana nas-nas itu datang sebagai suatu ketetapan dan bimbingan untuk kaum muslimin dalam masyarakat Islam. <p>Tetapi ini tidak berarti, bahwa selain orang Islam darahnya halal. Sebab pada dasarnya jiwa manusia dilindungi Allah dan dijaganya dengan hukum kemanusiaannya itu sendiri, selama mereka itu bukan kafir harbi (kafir yang memerangi Islam), karena kafir harbi darahnya halal. <p>Adapun kafir 'ahdi atau kafir dzimmi (kafir yang berada di bawah naungan pemerintah Islam), darahnya tetap dilindungi, tidak seorang muslim pun diperkenankan memusuhinya. <p>Untuk itu Rasulullah s.a.w. pernah bersabda: <blockquote>"Barangsiapa membunuh seorang kafir ahdi, maka dia tidak akan mencium bau sorga, sedang bau sorga itu tercium sejauh perjalanan 40 tahun." (Riwayat Bukhari dan lain-lain)</blockquote> <p>Dan dalam satu riwavat dikatakan: <blockquote>"Barangsiapa membunuh seorang laki-laki dari ahli dzimmah, maka dia tidak akan mencium bau sorga." (Riwayat Nasa'i)</blockquote> <p>(<a href="http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Halal/40426.html">sebelum</a>, <a href="http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Halal/404293.html">sesudah</a>) <hr> Halal dan Haram dalam Islam<br>Oleh Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi<br>Alih bahasa: H. Mu'ammal Hamidy<br>Penerbit: PT. Bina Ilmu, 1993 <p>Sumber : <a href="http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Halal/40428.html">http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Halal/40428.html</a></p> Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5082219385398894338.post-6071412022226203452012-08-25T07:18:00.001+07:002012-08-25T07:18:05.572+07:00Isbal Bukan Pada Celana (Kontroversial)<h5> </h5> <p><a href="http://4.bp.blogspot.com/-rMz-F_bFHDE/TrfOhoTHj7I/AAAAAAAABds/MmscBApWUyk/s1600/Ihram.jpg"><img border="0" src="http://4.bp.blogspot.com/-rMz-F_bFHDE/TrfOhoTHj7I/AAAAAAAABds/MmscBApWUyk/s200/Ihram.jpg" width="200" height="178"></a> <p><b>Oleh : <a href="http://hijrahdarisyirikdanbidah.blogspot.com/2011/11/isbal-bukan-pada-celana-kontroversial.html" target="_blank">Anwar Baru Belajar</a></b> <p>Berbicara mengenai isbal adalah berbicara masalah agama, berbicara masalah agama bukanlah masalah yang main-main, sebab konsekwensinya adalah berhubungan <b>ففي النار</b> (neraka). Maka jujur saja, tidak ada seorangpun yang ingin masuk ke neraka akibat meremehkan hadits-hadits nabi tentang larangan isbal.<br><a name="more"></a>Dalam pembahasan ini, kita tidak sama sekali membahas antara sombong dan tidak sombong. Karena sifat sombong adalah sifat yang sangat buruk. Dan tidak seorangpun yang berakal sehat dan mengerti agama dengan baik akan bersikap sombong dan menolak kebenaran sebuah hadits yang shahih yang datangnya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hanya saja kita mencoba membuka wawasan tentang isbal yang selama ini sangat sering diperdebatkan. Para ulama-pun berselisih pendapat tentang hukum isbal jika bukan karena sombong, namun jika orang yang melakukan isbal karena sombong, seluruh ulama sepakat atas keharamannya. Dan saya sendiri (Anwar Baru Belajar: red) sangat menyetujui sikap kehati-hatian para ikhwan sekalian dalam berpakaian dan menjaga dirinya agar tidak terjatuh dalam isbal, dan bagi saya itu adalah sikap yang sangat baik dan perlu dicontoh karena merupakan sebuah keutamaan. Adapun yang mempunyai sikap atau pendapat yang berseberangan janganlah mengolok-olok dengan olokan yang tidak terpuji. <p>Allah berfirman : <p><b>Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok)</b><b>. [ Qs. 49: 11].</b> <p><b>Isbal terdapat pada sarung, baju gamis ataupun sorban bukan pada celana</b> <p><b>Sebagaimana tertera dalam hadits ini;</b> <p><b> عن عبد الله بن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: الإسبال في الإزاروالقميص والعمامة, من جر منها شيئا خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة. (رواه أبو داود وغيره وقال الألباني صحيح)</b> <p>Dari Abdullah bin Umar dari Nabi <i>-shollallohu alaihi wasallam-</i>bersabda: “<u><b>Isbal</b><b> terdapat pada sarung</b>, <b>baju gamis</b> ataupun<b>sorban</b></u> . Barangsiapa menyeret salah satu darinya karena sombong, maka pada hari kiamat nanti, Allah tidak akan mau melihat kepadanya” (HR. Abu Dawud dan yang lainnya. Albany mengatakan: Hadits ini shohih). <p><b>Saya mengajak ikhwan sekalian untuk memperhatikan benar-benar redaksi hadits-hadits berikut dan perhatikan hadits-hadits di bawah ini, hampir secara keseluruhan di dalam matan hadits tertuliskan </b><b>الإزار</b><b>atau sarung. Dan tidak ada satupun yang memuat </b><b>سَرَاوِيلَ</b><b> </b><b>atau celana.Padahal celana sudah ada pada jaman Rasulullah, dan itu terbukti dengan banyaknya hadits shahih yang menerangkan tentang celana. Beliau berkata-kata dengan kalimat yang sangat jelas dan tegas.</b><br><b></b><br><b>“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. tidak berbicara cepat sebagaimana kalian. Tetapi beliau berbicara dengan kata-kata yang jelas dan tegas. Orang yang duduk bersamanya akan dapat menghafal (kata-katanya)".(Diriwayatkan oleh Humaid bin Mas’adah al Bashriyyi, dari Humaid al Aswad, dari Usamah bin Zaid, dari Zuhri, dari `Urwah, yang bersumber dari `Aisyah radhiyallahu'anha.)</b><br><b>“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. suka mengulang kata-kata yang diucapkannya sebanyak tiga kali agar dapat dipahami.”(Diriwayatkan oleh Muhammad bin Yahya, dari Abu Qutaibah –Muslim bin Qutaibah-. dari `Abdullah bin al Mutsani, dari Tsumamah, yang bersumber dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu.)</b><br><b>Silahkan dilihat hadits-hadits tsb pada bagian bawah artikel ini.</b> <p><b>Pengertian Izar </b><b>إِزَار </b><b> adalah sarung / kain bawahan ihram , bukan termasuk celana adalah sebagaimana bunyi hadits </b><b>مَنْ لَمْ يَجِدْ </b><b>إِزَارًا فَلْيَلْبَسْ </b><b>سَرَاوِيلَ </b><b>sangat jelas ada kata "izar" dan</b> "<b>sarawil" dua subtansi yang berbeda</b>,<b> </b><b>terlihat dalam gambar di bawah sebagaimana keterangan hadits berikut;</b> <p>صحيح البخاري ٥٣٥٧: <p> حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرٍو عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ <p>عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ لَمْ يَجِدْ <b>إِزَار</b>ًا فَلْيَلْبَسْ <b>سَرَاوِيلَ</b> وَمَنْ لَمْ يَجِدْ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِ <p><b>Shahih Bukhari 5357:</b> <p><b>Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim telah menceritakan kepada kami Sufyan dari 'Amru dari Jabir bin Zaid dari Ibnu Abbas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Barangsiapa tidak mendapat sarung (ketika berihram), hendaknya ia mengenakan celana panjang, dan siapa yang tidak mendapatkan sandal, hendaknya ia mengenakan sepatu."</b> <p><b>Gambar </b><b>Izar </b><b>إِزَار </b><b></b><b>atau </b><b>sarung</b> <p><a href="http://1.bp.blogspot.com/-5kvPrGqgdfo/TrfLxin8MzI/AAAAAAAABdc/2SRceLE3jeE/s1600/MN1013.jpg"><img border="0" src="http://1.bp.blogspot.com/-5kvPrGqgdfo/TrfLxin8MzI/AAAAAAAABdc/2SRceLE3jeE/s400/MN1013.jpg" width="266" height="400"></a> <p><b>Dalam Kamus Al Munawwir disebutkan kain, sarung dan celana dalam bahasa Arab;</b> <p><b>اَْلقُمَاشُ</b><b> </b><b> :</b>Kain <p><b>إزار</b> : Sarung <p>Celana : <b>بنطلون</b> <b>/</b> <b>سروال</b> <p><b></b> <p><b>Hadits-Hadits Tentang Isbal</b> <p>[HADITS PERTAMA] <p><b>. </b><b>عن أبي ذر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ثلاثة لا</b><b> </b><b>يكلمهم الله يوم القيامة ولا ينظر إليهم ولا يزكيهم ولهم عذاب أليم</b><b>. </b><b>قال</b><b> </b><b>فقرأها رسول الله صلى الله عليه وسلم ثلاث مرارا. قال أبو ذر: خابوا</b><b> </b><b>وخسروا من هم يا رسول الله؟ قال: المسبل والمنان والمنفق سلعته بالحلف</b><b> </b><b>الكاذب (رواه مسلم</b> <p>Dari Abu Dzar, dari Nabi <i>-shollallohu alaihi wasallam-</i>bersabda: “Ada tiga golongan, -yang pada hari kiamat nanti- Allah tidak bicara dengan mereka, tidak melihat mereka, tidak membersihkan (dosa) mereka dan bagi mereka siksa yang pedih”. Rasulullah <i>-shallallahu alaihi wasallam-</i> mengulangi sabdanya itu tiga kali. Abu dzar mengatakan: “Sungguh celaka dan merugilah mereka! wahai Rasulullah, siapakah mereka?”. Beliau menjawab: “<b>Orang yang isbal</b>, orang yang mengungkit-ngungkit pemberiannya dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu”. (HR. Muslim) <p> [HADITS KEDUA] <p><b>2. عن</b> <b>محمد بن عقيل سمعت ابن عمر يقول: كساني رسول الله صلى الله عليه وسلم قبطية، وكسا أسامة حلة سيراء. قال: فنظر فرآني قد أسبلت فجاء فأخذ بمنكبي, وقال: يا ابن عمر! كل شيء مس الأرض من الثياب ففي النار. قال: فرأيت ابن عمر يتزر إلى نصف الساق (رواه أحمد وقال الأرناؤوط: صحيح لغيره وهذا إسناد حسن)</b> <p>Dari muhammad bin ‘aqil aku mendengar ibnu umar bercerita: Rasulullah <i>-shallallahu alaihi wasallam-</i> pernah memberiku baju <i>qibtiyah</i> dan memberikan kepada usamah baju <i>hullah siyaro</i>. Ibnu Umar mengatakan: ketika Nabi <i>-shollallohu alaihi wasallam- </i>melihatku isbal beliau datang dan memegang pundakku seraya berkata: “Wahai Ibnu Umar! semua pakaian<b>yang menyentuh tanah</b>, (nantinya) di neraka”. Ibnu Aqil berkata: “Dan (setelah itu) aku melihat Ibnu Umar selalu memakai sarungnya hingga pertengahan betis” (HR. Ahmad. al-Arnauth mengatakan: Derajat haditsnya <i>shahih lighairihi</i>, sedang sanad ini hasan) <p>Perhatikan kalimat :<b> yang menyentuh tanah</b>, artinya sampai menyentuh tanah. Bagaimana yang tidak menyentuh tanah ? <p> [HADITS KETIGA] <p><b>3. عن عبد الرحمن بن يعقوب قال: سألت أبا سعيد الخدري عن الإزار, فقال: على الخبير سقطت! قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إزرة المسلم إلى نصف الساق ولا حرج أو لا جناح فيما بينه وبين الكعبين, ما كان أسفل من الكعبين فهو في النار, من جر إزاره بطرا لم ينظر الله إليه. (رواه أبو داود وقال الألباني صحيح)</b> <p>Dari Abdur Rahman bin Ya’qub berkata: aku pernah bertanya kepada Abu Sa’id al-Khudri tentang <b>sarung</b>, maka dia menjawab: “Kamu menepati orang yang tahu betul masalah ini! Rasulullah -<i>shollallohu alaihi wasallam- </i>pernah bersabda: ‘Sarung seorang muslim adalah sebatas pertengahan betis, dan tidak mengapa sarung yang berada antara batas tersebut hingga mata kaki. <b>Adapun yang lebih rendah dari mata kaki, ia di neraka.</b> Dan barangsiapa yang menyeret <b>sarungnya</b> karena takabur, maka Allah tidak akan mau melihat kepadanya (pada hari kiamat nanti)”. (HR. Abu Dawud, dan Albany mengatakan: shohih) <p>[HADITS KEEMPAT] <p><b>4. عن عبد الله بن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: الإسبال فيالإزار والقميص والعمامة, من جر منها شيئا خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة. (رواه أبو داود وغيره وقال الألباني صحيح)</b> <p>Dari Abdullah bin Umar dari Nabi <i>-shollallohu alaihi wasallam-</i>bersabda: “Isbal terdapat pada <b>sarung</b>, <b>baju gamis</b> ataupun<b>sorban</b>. Barangsiapa menyeret salah satu darinya karena sombong, maka pada hari kiamat nanti, Allah tidak akan mau melihat kepadanya” (HR. Abu Dawud dan yang lainnya. Albany mengatakan: Hadits ini shohih) <p>[HADITS KELIMA] <p><b>5</b><b>. عن المغيرة بن شعبة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: يا سفيان بن سهل! لا تسبل, فإن الله لا يحب المسبلين! (رواه ابن ماجه وصححه الألباني)</b> <p>Dari Mughiroh bin Syu’bah berkata: Rasulullah <i>-shollallohu alaihi wasallam- </i>bersabda: “Wahai Sufyan bin Sahl, janganlah kamu <i>isbal</i>! Karena sesungguhnya Allah tidak suka terhadap<b>mereka yang <i>isbal</i></b>” (HR. Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Albany) <p>[HADITS KEENAM] <p><b>6</b><b>. عن أبي جري جابر بن سليم الهجيمي قال له رسول الله صلى الله عليه وسلم: ارفع إزارك إلى نصف الساق, فإن أبيت فإلى الكعبين. وإياك وإسبالالإزار, فإنها من المخيلة, وإن الله لا يحب المخيلة. (رواه أبو داود وغيره وصححه الألباني)</b> <p>Dari Abu Jari, Jabir bin Sulaim al-Hujaimy: Bahwa Rasulullah <i>-shollallohu alaihi wasallam-</i> menasehatinya: “Angkatlah<b>sarungmu</b> sampai tengah betis! Tapi jika kau tidak berkenan, maka hingga batas mata kaki. Dan jangan sekali-kali meng-<i>isbal</i>-kan sarungmu! Karena <i>isbal </i>adalah termasuk perbuatan sombong, dan Allah tidak menyukai perbuatan sombong. (HR. Abu Dawud dan yang lainnya, dishohihkan oleh Albany) <p>[HADITS KETUJUH] <p><b>7</b><b>. عن جبير بن مطعم : أنه كان جالسا مع ابن عمر, إذا مر فتى شاب عليه حلة صنعانية يجرها مسبل قال : يا فتى هلم! قال له الفتى : ما حاجتك يا أبا عبد الرحمن؟ قال : ويحك أتحب أن ينظر الله إليك يوم القيامة؟ قال: سبحان الله وما يمنعني أن لا أحب ذلك؟ قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : لا ينظر الله إلى عبد يوم القيامة يجر إزاره خيلاء. قال : فلم ير ذلك الشاب إلا مشمّرا حتى مات بعد ذلك اليوم. (قال الألباني: رواه البيهقي بسند صحيح)</b> <p>Jubair bin Muth’im mengisahkan: Dia pernah duduk bersama Ibnu Umar. Ketika ada seorang pemuda yang musbil berjalan dengan baju <i>hullah shon’aniyah</i> yang diseret, Ibnu Umar berkata: “Wahai pemuda, kemarilah!” Pemuda tersebut menimpali: “Apa yang engkau inginkan, wahai Abu Abdirrohman (panggilan kesayangan Ibnu Umar)?” (Ibnu Umar) menjawab: “Celakalah kamu! Tidak senangkah kau seandainya Allah melihat padamu di hari kiamat nanti?” Pemuda itu menimpali: “<i>Subhanallah</i>, adakah yang menghalangiku hingga aku tidak menyenanginya?!” Ibnu Umar berkata: Aku telah mendengar Rosulullah <i>-shollallohu alaihi wasallam-</i> bersabda: “Pada hari kiamat nanti, Allah tidak akan melihat kepada hamba yang menyeret <b>sarungnya</b> karena sombong”. Jubair bin Muth’im mengatakan: “Setelah hari itu, pemuda tersebut tidak pernah terlihat, kecuali ia mengangkat pakaiannya hingga pertengahan betis, sampai meninggalnya”. (Albany mengatakan: Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang shahih) <p>[HADITS KEDELAPAN] <p><b>8. </b><b>عن عمرو بن فلان الأنصاري قال : بينا هو يمشي وقد أسبل إزاره إذ لحقه رسول الله صلى الله عليه وسلم وقد أخذ بناصية نفسه وهو يقول : ” اللهم عبدك وابن عبدك ابن أمتك ” قال عمرو : فقلت : يا رسول الله إني رجل حمش (دقيق) الساقين فقال : ” يا عمرو إن الله عز و جل قد أحسن كل شيء خلقه يا عمرو ” وضرب رسول الله صلى الله عليه و سلم بأربع أصابع من كفه اليمنى تحت ركبة عمرو فقال : ” يا عمرو هذا موضع الإزار ” . ثم رفعها ثم ضرب بأربع أصابع تحت الموضع الأول ثم قال : ” يا عمرو هذا موضع الإزار ” . ثم رفعها ثم وضعها تحت الثانية فقال : ” يا عمرو هذا موضع الإزار ” (رواه أحمد وصححه الألباني والأرناؤوط)</b> <p>Amr bin Fulan al-Anshory mengisahkan dirinya: Ketika ia berjalan dengan meng-<i>isbal</i>-kan <b>sarungnya</b>, tiba-tiba Rasulullah <i>-shollallohu alaihi wasallam-</i> menghampirinya, dan beliau telah meletakkan tanganya pada permulaan kepala beliau seraya berkata: “Ya allah (lihatlah) hambamu, putra hamba laki-lakiMu dan putra hamba perempuanMu!”. ‘Amr beralasan: “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku seorang yang betisnya kurus kering”. Rasulullah <i>-shollallohu alaihi wasallam-</i>menimpali: “Wahai ‘Amr, sesungguhnya Allah <i>ta’ala</i> telah menjadikan baik seluruh ciptaan-Nya! <p>Maka Rasulullah <i>-shollallohu alaihi wasallam- </i>meletakkan empat jari dari telapak kanannya tepat di bawah lututnya ‘Amr, seraya berkata: “Wahai ‘Amr inilah tempatnya sarung”. Kemudian beliau mengangkat empat jarinya, dan meletakkannya kembali di bawah tempat yang pertama, seraya berkata: “Wahai ‘Amr inilah tempatnya <b>sarung</b>”. Kemudian beliau mengangkat empat jarinya lagi, dan meletakkannya kembali di bawah tempat yang kedua, seraya berkata: “Wahai ‘Amr inilah tempatnya<b>sarung</b>” (HR. Ahmad. Dishohihkan oleh Albany dan al-Arnauth) <p> [HADITS KESEMBILAN] <p><b>9</b><b>. عن حذيفة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : موضع الإزار إلى أنصاف الساقين و العضلة ، فإذا أبيت فمن وراء الساقين ، و لا حق للكعبين في الإزار. (رواه أحمد والنسائي وصححه الألباني)</b> <p>Hudzaifah berkata, Rasulullah <i>-shollallohu alaihi wasallam-</i>bersabda: “Tempat <b>sarung</b> adalah sampai pertengahan dua betis dan pada tonjolan dagingnya, tetapi jika kamu tidak menghendakinya maka (boleh) di bawah dua betis, dan tidak ada hak bagi mata kaki (tertutupi) sarung. (HR. Ahmad dan Nasa’i, dishohihkan oleh Albany­) <p>[HADITS KESEPULUH] <p><b>10. عن زيد بن أسلم: كان ابن عمر يحدث أن النبي صلى الله عليه وسلم رآه وعليه إزار يتقعقع يعني جديدا, فقال: من هذا؟ فقلت: أنا عبد الله. فقال: إن كنت عبد الله فارفع إزارك! قال: فرفعته. قال: زد! قال: فرفعته حتى بلغ نصف الساق. قال: ثم التفت إلى أبي بكر فقال: من جر ثوبه من الخيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة. فقال أبو بكر: إنه يسترخي [أحد شقي] إزاري أحيانا [إلا أن أتعاهد ذلك منه]. فقال النبي صلى الله عليه وسلم: لست منهم (رواه أحمد والبخاري)</b> <p>Zaid bin Aslam mengatakan, Ibnu Umar pernah bercerita: Suatu ketika Nabi <i>-shollallohu alaihi wasallam-</i> melihatnya sedang memakai <b>sarung</b> baru. Beliau<i> </i>bertanya: “Siapakah ini?” Aku menjawab: “Aku Abdullah (Ibnu Umar)”. Kemudian Nabi <i>-shollallohu alaihi wasallam- </i>berkata: ”Jika benar kamu Abdullah, maka angkatlah sarungmu!”. (Ibnu Umar) mengatakan: “Aku pun langsung mengangkatnya”. (Nabi) berkata lagi: “Tambah (angkat lagi)!” (Ibnu Umar) mengatakan: “Maka aku pun mengangkatnya hingga sampai pertengahan betis”. Kemudian Nabi <i>-shollallohu alaihi wasallam-</i> menoleh ke Abu Bakar, seraya mengatakan: “Barangsiapa menyeret pakaiannya karena sombong, maka pada hari kiamat nanti Allah tidak akan melihat kepadanya ”. Mendengar hal itu, Abu Bakar bertanya: “Sungguh salah satu dari sisi <b>sarungku </b>terkadang terjulur, akan tetapi aku selalu menjaganya agar ia tak terjulur”. Maka Nabi <i>-shollallohu alaihi wasallam- </i>menimpali: “Kamu bukanlah termasuk dari mereka” (HR. Ahmad dan Bukhari) <p>[HADITS KESEBELAS] <p><b>ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار ) البخاري رقم 5787</b> <p><b>Apa-apa yang di bawah mata kaki dari sarung maka tempatnya di neraka (HR. Bukhari 5787)</b> <p><a href="http://1.bp.blogspot.com/-r1lzXL482V0/TrfftNAJ5lI/AAAAAAAABd0/sckfha2zJnc/s1600/2807_92226525925_754095925_2877120_1438298_n.jpg"><img border="0" src="http://1.bp.blogspot.com/-r1lzXL482V0/TrfftNAJ5lI/AAAAAAAABd0/sckfha2zJnc/s320/2807_92226525925_754095925_2877120_1438298_n.jpg" width="217" height="320"></a> <p><b>Hadits-hadits tentang Celana</b> <b>سَرَاوِيلَ</b> <p>صحيح البخاري ٣٥٢: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ <p>قَامَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ عَنْ الصَّلَاةِ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ فَقَالَ أَوَكُلُّكُمْ يَجِدُ ثَوْبَيْنِ ثُمَّ سَأَلَ رَجُلٌ عُمَرَ فَقَالَ إِذَا وَسَّعَ اللَّهُ فَأَوْسِعُوا جَمَعَ رَجُلٌ عَلَيْهِ ثِيَابَهُ صَلَّى رَجُلٌ فِي<b>إِزَارٍ</b> وَرِدَاءٍ فِي إِزَارٍ وَقَمِيصٍ فِي إِزَارٍ وَقَبَاءٍ فِي <b>سَرَاوِيلَ</b> وَرِدَاءٍ فِي سَرَاوِيلَ وَقَمِيصٍ فِي سَرَاوِيلَ وَقَبَاءٍ فِي <b>تُبَّانٍ</b> وَقَبَاءٍ فِي تُبَّانٍ وَقَمِيصٍ قَالَ وَأَحْسِبُهُ قَالَ فِي تُبَّانٍ وَرِدَاءٍ <p><b>Shahih Bukhari 352: Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb berkata, telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Ayyub dari Muhammad dari Abu Hurairah berkata, "Seorang laki-laki datang dan bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang shalat dengan menggunakan satu lembar baju. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda: "Apakah setiap kalian memiliki dua helai baju?" Kemudian ada seseorang bertanya kepada 'Umar, lalu ia menjawab, "Jika Allah memberi kelapangan (kemudahan), maka pergunakanlah." Bila seseorang memiliki banyak pakaian, maka dia shalat dengan pakaiannya itu. Ada yang shalat dengan memakai kain dan rida (selendang besar), ada yang memakai kain dan gamis (baju panjang sampai kaki), ada yang memakai kain dan baju, ada yang memakai celana panjang dan rida', ada yang memakai celana panjang dan gamis, ada yang memakai celana panjang dan baju, ada yang memakai celana pendek dan rida', ada yang memakai celana pendek dan gamis." Abu Hurairah berkata, "Menurutku 'Umar mengatakan, "Dan ada yang memakai celana pendek dan rida'."</b> <p>صحيح البخاري ٣٥٣: حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ عَلِيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ <p>سَأَلَ رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ فَقَالَ لَا يَلْبَسُ الْقَمِيصَ وَلَا <b>السَّرَاوِيلَ</b> وَلَا الْبُرْنُسَ وَلَا ثَوْبًا مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ وَلَا وَرْسٌ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ النَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ الْخُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْهُمَا حَتَّى يَكُونَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ <p>وَعَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَهُ <p><b>Shahih Bukhari 353: Telah menceritakan kepada kami 'Ashim bin 'Ali berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi'b dari Az Zuhri dari Salim dari Ibnu 'Umar berkata, "Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, "Apa yang harus dikenakan oleh seseorang saat ihram?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Dia tidak boleh mengenakan baju, celana, mantel dan tidak boleh pula pakaian yang diberi minyak wangi atau wewangian dari daun tumbuhan. Dan siapa yang tidak memiliki sandal, ia boleh mengenakan sepatu tapi hendaklah dipotong hingga berada dibawah mata kaki." Dan dari Nafi' dari Ibnu 'Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seperti ini juga."</b> <p>سنن ابن ماجه ٢٩٢٢: حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ أَبِي الشَّعْثَاءِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ <p>سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ قَالَ هِشَامٌ عَلَى الْمِنْبَرِ فَقَالَ مَنْ لَمْ يَجِدْ<b>إِزَارً</b>ا فَلْيَلْبَسْ <b>سَرَاوِيلَ</b> وَمَنْ لَمْ يَجِدْ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِ <p>و قَالَ هِشَامٌ فِي حَدِيثِهِ فَلْيَلْبَسْ سَرَاوِيلَ إِلَّا أَنْ يَفْقِدَ <p><b>Sunan Ibnu Majah 2922: Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin 'Ammar dan Muhammad bin Ash Shabbah keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Sufyan bin 'Uyainah dari Amru bin Dinar dari Jabir bin Zaid Abu Asy Sya'tsa` dari Ibnu Abbas radliallahu 'anhu, ia berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkhutbah di atas mimbar seraya bersabda: "Barang siapa yang tidak mendapatkan sarung, maka ia dapat memakai celana dan siapa saja yang tidak mendapatkan sepasang sandal, maka ia dapat mengenakan sepatu." Hisyam berkata di dalam Haditsnya; 'Maka ia dapat memakai celana jika ia tidak mendapatkan kain.'</b> <p>سنن الترمذي ٧٦٤: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدَةَ الضَّبِّيُّ الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ <p>سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْمُحْرِمُ إِذَا لَمْ يَجِدْ <b>الْإِزَارَ</b> فَلْيَلْبَسْ<b>السَّرَاوِيلَ</b> وَإِذَا لَمْ يَجِدْ النَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ الْخُفَّيْنِ <p>حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ عَمْرٍو نَحْوَهُ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ ابْنِ عُمَرَ وَجَابِرٍ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ قَالُوا إِذَا لَمْ يَجِدْ الْمُحْرِمُ <b>الْإِزَار</b>َ لَبِسَ <b>السَّرَاوِيلَ</b> وَإِذَا لَمْ يَجِدْ النَّعْلَيْنِ لَبِسَ الْخُفَّيْنِ وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ و قَالَ بَعْضُهُمْ عَلَى حَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا لَمْ يَجِدْ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ الْخُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ وَهُوَ قَوْلُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ وَالشَّافِعِيِّ وَبِهِ يَقُولُ مَالِكٌ <p><b>Sunan Tirmidzi 764: Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin 'Abdah Adl Dlabi Al Basyri telah menceritakan kepada kami Yazid bin Zurai' telah menceritakan kepada kami Ayyub telah menceritakan kepada kami Amru bin Dinar dari Jabir bin Zaid dari Ibnu Abbas berkata; Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seorang yang ihramjika tidak mendapatkan sarung, hendaknya memakai celana. Jika tidak mendapatkan sandal, maka boleh memakai khuf". Telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Amru seperti hadits di atas. (Abu Isa At Tirmidzi) berkata; "Hadits semakna diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Jabir." Abu 'Isa berkata; "Ini merupakan hadits hasan shahih dan sebagian ulama mengamalkannya. Mereka berkata; 'Jika orang yang ihramtidak mendapatkan sarung, dia boleh memakaicelana. Jika tidak memiliki sandal, boleh memakai khuf. Ini juga merupakan perkataan Ahmad. sebagian yang lain berpendapat berdasarkan hadits Ibnu 'Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: 'Siapa yang tidak mendapatkan sandal hendaklah memakai khuf dengan memotong menjadi lebih rendah dari kedua mata kaki. Ini merupakan pendapat Sufyan Ats Tsauri, Syafi'i dan Malik."</b> <p>صحيح البخاري ١٧١٢: حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ <p>خَطَبَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَفَاتٍ فَقَالَ مَنْ لَمْ يَجِدْ <b>الْإِزَار</b>َ فَلْيَلْبَسْ<b>السَّرَاوِيلَ</b> وَمَنْ لَمْ يَجِدْ النَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ الْخُفَّيْنِ <p><b>Shahih Bukhari 1712: Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu'bah telah menceritakan kepada kami 'Amru bin Dinar dari Jabir bin Zaid dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyampaikam khathbah kepada kami, Beliau bersabda: "Barangsiapa yang tidak memiliki sarung hendaklah dia memakai celana dan barangsiapa yang tidak memiliki sepasang sandal, hendaklah dia mengenakan sepatu".</b> <p>صحيح البخاري ٥٣٥٧: حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرٍو عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ <p>عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ لَمْ يَجِدْ <b>إِزَار</b>ًا فَلْيَلْبَسْ <b>سَرَاوِيلَ</b> وَمَنْ لَمْ يَجِدْ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِ <p><b>Shahih Bukhari 5357: Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim telah menceritakan kepada kami Sufyan dari 'Amru dari Jabir bin Zaid dari Ibnu Abbas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Barangsiapa tidak mendapat sarung (ketika berihram), hendaknya ia mengenakan celana panjang, dan siapa yang tidak mendapatkan sandal, hendaknya ia mengenakan sepatu."</b> <p>صحيح البخاري ٥٣٥٨: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا جُوَيْرِيَةُ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ <p>قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا تَأْمُرُنَا أَنْ نَلْبَسَ إِذَا أَحْرَمْنَا قَالَ لَا تَلْبَسُوا الْقَمِيصَ وَ<b>السَّرَاوِيلَ</b> وَالْعَمَائِمَ وَالْبَرَانِسَ وَالْخِفَافَ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ لَيْسَ لَهُ نَعْلَانِ فَلْيَلْبَسْ الْخُفَّيْنِ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ وَلَا تَلْبَسُوا شَيْئًا مِنْ الثِّيَابِ مَسَّهُ زَعْفَرَانٌ وَلَا وَرْسٌ <p><b>Shahih Bukhari 5358: Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il telah menceritakan kepada kami Juwairiyah dari Nafi' dari Abdullah dia berkata; seorang laki-laki berdiri dan berkata; "Wahai Rasulullah, pakaian apakah yang engkau perintahkan untuk kami kenakan ketika berihram?" beliau bersabda: "Janganlah kalian mengenakan gamis (jubah), celana panjang, surban, baju panjang yang bertutup kepala dan tidak pula sepatu kecuali jika seseorang tidak mendapatkan sandal, maka ia boleh mengenakan sepatu di bawah mata kaki, dan janganlah kalian mengenakan pakaian yang dicampuri dengan minyak za'faran dan tidak juga wars (sejenis tumbuhan yang berwarna kuning atau kunyit)."</b> <p>سنن النسائي ٢٦٢٢: أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى قَالَ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي نَافِعٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ <p>أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا نَلْبَسُ مِنْ الثِّيَابِ إِذَا أَحْرَمْنَا قَالَ لَا تَلْبَسُوا الْقَمِيصَ وَقَالَ عَمْرٌو مَرَّةً أُخْرَى الْقُمُصَ وَلَا الْعَمَائِمَ وَلَا<b> السَّرَاوِيلَاتِ</b> وَلَا الْخُفَّيْنِ إِلَّا أَنْ لَا يَكُونَ لِأَحَدِكُمْ نَعْلَانِ فَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ وَلَا ثَوْبًا مَسَّهُ وَرْسٌ وَلَا زَعْفَرَانٌ <p><b>Sunan Nasa'i 2622: Telah mengabarkan kepada kami 'Amr bin Ali, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Yahya, ia berkata; telah menceritakan kepada kami 'Ubaidullah, ia berkata; Nafi' dari Ibnu Umar bahwa seseorang berkata; wahai rasulullah, pakaian apakah yang boleh kami pakai jika kami berihram? Maka beliau bersabda: "Janganlah memakai jubah." Dan 'Amr berkata sekali lagi; tidak jubah, tidak sorban, celana panjang, serta sepatu kecuali salah seorang diantara kalian tidak memiliki sandal maka hendaknya ia memotongnya hingga di bawah kedua mata kaki, dan juga pakaian yang tersentuh waras, serta kunyit.</b> <p>سنن النسائي ٢٦٢٣: أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ عَمْرٍو عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ <p>سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ وَهُوَ يَقُولُ<b> السَّرَاوِيلُ</b> لِمَنْ لَا يَجِدُ <b>الْإِزَارَ</b>وَالْخُفَّيْنِ لِمَنْ لَا يَجِدُ النَّعْلَيْنِ لِلْمُحْرِمِ <p><b>Sunan Nasa'i 2623: Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Hammad dari 'Amr dari Jabir bin Zaid dari Ibnu Abbas, ia berkata; saya pernah mendengar nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkhutbah dan beliau mengatakan: "Celana panjang bagi orang yang tidak mendapatkan sarung, dan sepatu bagi orang yang tidak mendapatkan sandal bagi orang yang melakukan ihram."</b> <p>مسند أحمد ٤٦٦٤: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ <p>أَنَّ رَجُلًا نَادَى فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا يَجْتَنِبُ الْمُحْرِمُ مِنْ الثِّيَابِ فَقَالَ لَا يَلْبَسُ<b>السَّرَاوِيلَ</b> وَلَا الْقَمِيصَ وَلَا الْبُرْنُسَ وَلَا الْعِمَامَةَ وَلَا ثَوْبًا مَسَّهُ زَعْفَرَانٌ وَلَا وَرْسٌ وَلْيُحْرِمْ أَحَدُكُمْ فِي إِزَارٍ وَرِدَاءٍ وَنَعْلَيْنِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْهُمَا حَتَّى يَكُونَا أَسْفَلَ مِنْ الْعَقِبَيْنِ <p><b>Musnad Ahmad 4664: Telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq telah mengabarkan kepada kami Ma'mar dari Az Zuhri dari Salim dari Ibnu Umar, bahwa seorang laki-laki memanggil seraya berkata, "Wahai Rasulullah, pakaian apa yang harus dihindari seorang yang sedang ihram?" Beliau menjawab: "Hendaklah ia tidak memakai celana, kemeja, mantel yang terdapat tutup kepalanya, surban dan baju yang telah diolesi za'faran dan wars. Dan hendaklah salah seorang dari kalian melakukan ihram dengan mengenakan sehelai sarung, selendang dan memakai sepasang sandal, jika tidak medapatkan sandal, hendaklah ia memakai sepasang khuf (sepatu) dan potonglah hingga sebatas di bawah mata kaki."</b> <p>صحيح البخاري ١٣١: حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ <p>عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَهُ مَا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ فَقَالَ لَا يَلْبَسُ الْقَمِيصَ وَلَا الْعِمَامَةَ وَلَا <b>السَّرَاوِيلَ</b> وَلَا الْبُرْنُسَ وَلَا ثَوْبًا مَسَّهُ الْوَرْسُ أَوْ الزَّعْفَرَانُ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ النَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ الْخُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْهُمَا حَتَّى يَكُونَا تَحْتَ الْكَعْبَيْنِ <p><b>Shahih Bukhari 131: Telah menceritakan kepada kami Adam berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi'b dari Nafi' dari Ibnu 'Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dan dari Az Zuhri dari Salim dari Ibnu 'Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa ada seorang laki-laki bertanya, "Apa yang harus dikenakan oleh orang yang melakukan ihram?" Beliau menjawab: "Ia tidak boleh memakai baju, Imamah (surban yang dililitkan pada kepala), celana panjang, mantel, atau pakaian yang diberi minyak wangi atau za'faran. Jika dia tidak mendapatkan sandal, maka ia boleh mengenakan sepatu dengan memotongnya hingga di bawah mata kaki."</b> <p>صحيح البخاري ١٤٤٢: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا <p>أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ مِنْ الثِّيَابِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَلْبَسُ الْقُمُصَ وَلَا الْعَمَائِمَ وَلَا <b>السَّرَاوِيلَاتِ</b> وَلَا الْبَرَانِسَ وَلَا الْخِفَافَ إِلَّا أَحَدٌ لَا يَجِدُ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ وَلَا تَلْبَسُوا مِنْ الثِّيَابِ شَيْئًا مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ أَوْ وَرْسٌ <p><b>Shahih Bukhari 1442: Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Malik dari Nafi' dari 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhua bahwa ada seorang laki-laki berkata, kepada Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam: "Pakaian apa yang harus dikenakan oleh seorang muhrim (yang sedang berihram)?. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Dia tidak boleh mengenakan baju, topi (sorban), celana, mantel kecuali sesorang yang tidak memiliki sandal, dia boleh mengenakan sapatu tapi dipotongnya hingga berada dibawah mata kaki dan tidak boleh pula memakai pakaian yang diberi minyak wangi atau wewangian dari daun tumbuhan".</b> <p><b>Lantas Bagaimana Dengan Kaos Kaki? Bukankah ia Juga termasuk kain dan pakaian?</b> <p><a href="http://1.bp.blogspot.com/-4WrKlQsosmg/TrtK2Jbq6yI/AAAAAAAABeI/5qseLXDUkA0/s1600/kaos.kaki.untuk.pakaian.jpg"><img border="0" src="http://1.bp.blogspot.com/-4WrKlQsosmg/TrtK2Jbq6yI/AAAAAAAABeI/5qseLXDUkA0/s1600/kaos.kaki.untuk.pakaian.jpg"></a> <p><b></b> <p><b>مسند أحمد ١٧٤٩٦: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي قَيْسٍ عَنْ هُذَيْلِ بْنِ شُرَحْبِيلَ عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ</b> <p><b>أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَىالْجَوْرَبَيْنِ وَالنَّعْلَيْنِ</b> <p><b>Musnad Ahmad 17496: Telah menceritakan kepada kami Waki' Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Abu Qais dari Hudzail bin Syurahbil dari Al Mughirah bin Syu'bah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berwudhu dan mengusap kedua kaos kaki dan kedua terompahnya."</b> <p><b>سنن الترمذي ٩٢: حَدَّثَنَا هَنَّادٌ وَمَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ قَالَا حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ أَبِي قَيْسٍ عَنْ هُزَيْلِ بْنِ شُرَحْبِيلَ عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ</b> <p><b>تَوَضَّأَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسَحَ عَلَى الْجَوْرَبَيْنِوَالنَّعْلَيْنِ</b> <p><b>قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَهُوَ قَوْلُ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ وَبِهِ يَقُولُ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ وَابْنُ الْمُبَارَكِ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَقُ قَالُوا يَمْسَحُ عَلَى الْجَوْرَبَيْنِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ نَعْلَيْنِ إِذَا كَانَا ثَخِينَيْنِ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ أَبُو عِيسَى سَمِعْت صَالِحَ بْنَ مُحَمَّدٍ التِّرْمِذِيَّ قَال سَمِعْتُ أَبَا مُقَاتِلٍ السَّمَرْقَنْدِيَّ يَقُولُ دَخَلْتُ عَلَى أَبِي حَنِيفَةَ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَتَوَضَّأَ وَعَلَيْهِ جَوْرَبَانِفَمَسْحَ عَلَيْهِمَا ثُمَّ قَالَ فَعَلْتُ الْيَوْمَ شَيْئًا لَمْ أَكُنْ أَفْعَلُهُ مَسَحْتُ عَلَى الْجَوْرَبَيْنِ وَهُمَا غَيْرُ مُنَعَّلَيْنِ</b><b></b> <p><b>Sunan Tirmidzi 92: telah menceritakan kepada kami Hannad dan Mahmud bin Ghailan keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Waki' dari Sufyan dari Abu Qais dari Huzail bin Syurahbil dari Al Mughirah bin Syu'bah ia berkata; "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berwudlu, mengusap kedua kaus kaki dan kedua sandalnya." Abu Isa berkata; "Hadits ini derajatnya hasan shahih, dan ini adalah pendapat tidak sedikit dari ahli ilmu. Pendapat ini juga diambil oleh Sufyan Ats Tsauri, Ibnul Mubarak, Syafi'i, Ahmad dan Ishaq. Mereka mengatakan; "Seseorang boleh mengusap kedua kaus kaki walaupun bukan sandal jika keduanya tebal." Abu Isa berkata; "Dalam bab ini ada juga hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa." Abu Isa berkata; "Aku mendengar Shalih bin Muhammad At Tirmidzi berkata; "Aku mendengar Abu Muqatil As Samarqandi berkata; "Aku datang menemui Abu Hanifah ketika sakit menjelang kematiannya, ia minta untuk diambilkan air, lalu ia berwudlu dalam keadaan memakai kaus kaki. Setelah itu ia mengusap keduanya seraya berkata; "Hari ini aku melakukan sesuatu yang belum pernah aku lakukan, aku mengusap kedua kaus kaki, padahal keduanya bukan sandal."</b> <p><b>سنن ابن ماجه ٥٥٢: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي قَيْسٍ الْأَوْدِيِّ عَنْ الْهُزَيْلِ بْنِ شُرَحْبِيلَ عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ</b> <p><b>أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَىالْجَوْرَبَيْنِ وَالنَّعْلَيْنِ</b> <p><b>Sunan Ibnu Majah 552: Telah menceritakan kepada kami Ali bin Muhammad berkata, telah menceritakan kepada kami Waki' berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Abu Qais Al Audi dari Al Huzail bin Syurahbil dari Al Mughirah berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berwudlu lalu mengusap kedua kaus kaki dan kedua sandal."</b> <p><a href="http://3.bp.blogspot.com/-hTQO1j3OZBg/UAwXbBBZTSI/AAAAAAAABgw/1c9leRJMJ_c/s1600/B7440-Over-Pants_1173229426.jpg"><img border="0" src="http://3.bp.blogspot.com/-hTQO1j3OZBg/UAwXbBBZTSI/AAAAAAAABgw/1c9leRJMJ_c/s320/B7440-Over-Pants_1173229426.jpg" width="186" height="320"></a> <p><b>Sekarang okey.....katakanlah "izar" termasuk bermakna "kain" celana, lantas bagaimana dengan celana yang bahannya bukan terbuat dari kain, seperti gambar celana kulit di atas ini. Apakah pantas dikatakan izar juga?<br></b><br><b><br></b> <p><a href="http://3.bp.blogspot.com/-q5D0zBX-ajA/UBtEVwabLxI/AAAAAAAABhQ/Va_Xaf17IoQ/s1600/isbal+2.jpg"><img border="0" src="http://3.bp.blogspot.com/-q5D0zBX-ajA/UBtEVwabLxI/AAAAAAAABhQ/Va_Xaf17IoQ/s400/isbal+2.jpg" width="400" height="242"></a> <p><b><br></b> <p><a href="http://3.bp.blogspot.com/-0V17S8jQbHM/UBslZz0qX8I/AAAAAAAABg8/DXYZzueOER4/s1600/isbal.JPG"><br></a> <p><a href="http://3.bp.blogspot.com/-0V17S8jQbHM/UBslZz0qX8I/AAAAAAAABg8/DXYZzueOER4/s1600/isbal.JPG"><br></a> <p><b>ISBALNYA SORBAN (IMAMAH) BUKAN PADA MATA KAKI</b><br>وَفِي تَصْوِير جَرّ الْعِمَامَة نَظَر ، إِلَّا أَنْ يَكُون الْمُرَاد مَا جَرَتْ بِهِ عَادَة الْعَرَب مِنْ إِرْخَاء الْعَذْبَات ، فَمَهْمَا زَادَ عَلَى الْعَادَة فِي ذَلِكَ كَانَ مِنْ الْإِسْبَال<br>Sedangkan adanya isbal pada imamah adalah suatu hal yang tidak bisa kita bayangkan kecuali dengan mengingat kebiasaan orang Arab yang menjulurkan ujung sorbannya. Sehingga pengertian isbal dalam hal ini adalah ujung sorban yang kelewat panjang melebihi umumnya panjang ujung sorban yang dibiasa dipakai di masyarakat setempat” ( Imam Ibnu Hajar Al Asqalani -Fathul Baari, 16/331)<br>Isbalnya Imamah bukan dibatasi oleh mata kaki, sebagaimana sarung dan gamis.<br>Maka tidak ada kata lain apabila ujung sorban (imamah) berlebih-lebihan kelewat panjang dapat disimpulkan SOMBONG. Allahu a'lam.<br>Ketahuilah...Semua perkara agama telah disampaikan oleh Nabi dan tidak ada yang disembunyikan. Maka apakah mungkin Nabi lupa atau kelupaan menyampaikan amanat Allah.<br>Sekarang renungkanlah, sejak kapan Nabi ada mengatakan bahwa Isbal itu ada pada celana?<br>“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (Al-Maidah: 67)<br>Nabi telah menyampaikan amanah dengan penyampaian sempurna, lafadz serta makna. Beliau tinggalkan untuk umat ini kitab Allah (Al Qur`an) secara sempurna tanpa ada tambahan ataupun pengurangan. Ummul Mukminin (ibunda orang-orang beriman) Shiddiqah bintu Shiddiq ‘Aisyah mengatakan: “Siapa yang mengatakan bahwa Muhammad menyembunyikan sebagian dari apa yang diturunkan oleh Allah , berarti dia benar-benar telah membuat kedustaan besar terhadap Allah . Padahal Allah telah menegaskan:<br>“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya).”(Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)<br>Bahkan Rasulullah sendiri menerangkan tentang kewajibannya ini:<br>“Sesungguhnya tidak ada seorang Nabi pun sebelumku melainkan wajib atasnya untuk menunjuki umatnya kepada kebaikan yang diketahuinya, dan memperingatkan mereka dari kejahatan yang diketahuinya. Dan umat ini telah dijadikan kebaikannya ada pada (generasi) awalnya. Adapun (generasi) akhirnya (orang-orang yang datang belakangan) akan ditimpa bala` (ujian) dan persoalan-persoalan yang kalian ingkari.” (Shahih, HR. Ahmad dan Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash )<br>Beliau shallallâhu 'alaihi wasallam juga bersabda:<br>Tidaklah aku meninggalkan sesuatu dari apa yang Allâh perintahkan kepada kamu<br>kecuali aku telah memerintahkannya, dan tidak pula aku meninggalkan sesuatu dari apa yang Allâh Ta'âla larang kepada kamukecuali aku telah melarangnya.<br>Hadits Shahîh. Riwayat Ibnu Mâjah no. 43; Ahmad 4/126; dan Ibnu Abi ‘Ashim no. 48, 49.<br>Perhatikan pendapat-pendapat di bawah ini;<br>Pertama;<br>فَإِنَّهُ يَشْمَل جَمِيع ذَلِكَ ، وَفِي تَصْوِير جَرّ الْعِمَامَة نَظَر ، إِلَّا أَنْ يَكُون الْمُرَاد مَا جَرَتْ بِهِ عَادَة الْعَرَب مِنْ إِرْخَاء الْعَذْبَات ، فَمَهْمَا زَادَ عَلَى الْعَادَة فِي ذَلِكَ كَانَ مِنْ الْإِسْبَال<br>“At Thabari berkata, lafadz-lafadz hadits menggunakan kata izaar karena kebanyakan manusia di masa itu mereka memakai izaar [seperti pakaian bawahan untuk kain ihram] dan rida’ [seperti pakaian atasan untuk kain ihram]. Ketika orang-orang mulai memakai gamis dan jubah, maka hukumnya sama seperti larangan pada sarung. Ibnu Bathal berkata, ini adalah qiyas atau analog yang tepat, andai tidak ada nash yang menggunakan kata tsaub. Karena tsaub itu sudah mencakup semua jenis pakaian [sehingga kita tidak perlu berdalil dengan qiyas, ed]. Sedangkan adanya isbal pada imamah adalah suatu hal yang tidak bisa kita bayangkan kecuali dengan mengingat kebiasaan orang Arab yang menjulurkan ujung sorbannya. Sehingga pengertian isbal dalam hal ini adalah ujung sorban yang kelewat panjang melebihi umumnya panjang ujung sorban yang dibiasa dipakai di masyarakat setempat” (Fathul Baari, 16/331)<br>Tanggapan:<br>#lafadz-lafadz hadits menggunakan kata izaar karena kebanyakan manusia di masa itu mereka memakai izaar…..tapi jangan dipungkiri ada hadits yang juga jelas mengunakan kata sirwal (celana) pada jaman Rasulullah…Kalau gamis atau Jubah dan sarung sudah jelas haditsnya….pengertian isbal dalam imamah bahkan bukan yang menyentuh mata kaki, tapi berlebih-lebihan panjang ujung sorbannya. Karena berlebih-lebihan bisa jadi sombong. Pertanyaanya : Mengapa Rasulullah tidak memasukkan celana dalam hadits tsb? Padahal celana sudah ada pada jaman Rasulullah....Apakah Rasulullah telah lupa atau menyembunyikan?<br>Kedua _Penulis Syarh Sunan Abi Daud (9/126) berkata :<br>فِي هَذَا الْحَدِيث دَلَالَة عَلَى عَدَم اِخْتِصَاص الْإِسْبَال بِالْإِزَارِ بَلْ يَكُون فِي الْقَمِيص وَالْعِمَامَة كَمَا فِي الْحَدِيث .قَالَ اِبْن رَسْلَان : وَالطَّيْلَسَان وَالرِّدَاء وَالشَّمْلَة<br>“Hadits ini merupakan dalil bahwa isbal tidak khusus pada kain sarung saja, bahkan juga pada gamis dan imamah sebagaimana dalam hadits. Ibnu Ruslan berkata, juga pada thailasan [kain sorban yang disampirkan di pundak], rida’ dan syamlah [kain yang dipakai untuk menutupi bagian atas badan dan dipakai dengan cara berkemul]”<br>Tanggapan:<br>#Ibnu Ruslan berkata : Juga pada Thailasan dst…..ini bukan perkataan Nabi, tapi "tambahan" perkataan atau pendapat Ibnu Ruslan sendiri..Ketahuilah, kita beragama bukan berdasarkan pendapat orang, tapi berdasarkan perkataan Rasul.<br>“Setiap perkataan bisa diterima dan bisa ditolak, selain perkataan penghuni kubur ini (yakni, Rasulullah ).” (Siyar A’lami an-Nubala, 8/93)<br>Hal yang sama diucapkan pula oleh al-Imam Ahmad bin Hanbal , “Pendapat seseorang bisa diambil dan ditinggalkan, selain (apa yang dari) Nabi (wajib diterima atau diambil).” (Masa’il al-Imam Ahmad, no. 1786. Lihat Ithafu al-‘Uqul bi Syarhi ats-Tsalatsatil Ushul, asy-Syaikh Ubaid bin Abdillah al-Jabiri, hlm. 9)<br>Ketiga : Al’Aini dalam ‘Umdatul Qari (31/429) menuturkan:<br>قوله من جر ثوبه يدخل فيه الإزار والرداء والقميص والسراويل والجبة والقباء وغير ذلك مما يسمى ثوبا بل ورد في الحديث دخول العمامة في ذلك …<br>“Perkataan Nabi ‘barangsiapa menjulurkan pakaiannya‘ ini mencakup kain sarung, rida’, gamis, sirwal, jubah, qubba’, dan jenis pakaian lain yang masih disebut sebagai pakaian. Bahkan terdapat riwayat yang memasukan imamah dalam hal ini”<br>Tanggapan:<br>#‘barangsiapa menjulurkan pakaiannya" …..ketahuilah, hadits ini berhubungan dengan SOMBONG. Kita tidak membahas mengenai sombong/khuyala.<br>Keempat ;<br>Dalam Lisaanul Arab dijelaskan makna izaar:<br>الإزار : كل من واراكَ وسَتَرَكَ . وتعني أيضا : الملحفة<br>“Izaar adalah apa saja yang menutupimu, termasuk juga selimut”<br>-----------------------<br>Tanggapan :<br>#Perkataan Rasulullah LEBIH JELAS daripada Kamus Lisanul Arab. Izar yang dimaksud dalam hadits adalah pakaian bawahan ketika berihram atau sholat atau keseharian pada umumnya masyarakat Arab pada waktu itu.Allahu a'lam.<br>____________________________________<br>Perhatikanlah Dengan seksama<br>Pengertian Izar إِزَار adalah sarung / kain bawahan ihram , bukan termasuk celana adalah sebagaimana bunyi hadits مَنْ لَمْ يَجِدْ إِزَارًا فَلْيَلْبَسْ سَرَاوِيلَ sangat jelas ada kata "izar" dan "sarawil" dua subtansi yang berbeda, terlihat sebagaimana keterangan hadits berikut;<br>صحيح البخاري ٥٣٥٧:<br>حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرٍو عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ<br>عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ لَمْ يَجِدْ إِزَارًا فَلْيَلْبَسْ سَرَاوِيلَ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِ<br>Shahih Bukhari 5357:<br>Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim telah menceritakan kepada kami Sufyan dari 'Amru dari Jabir bin Zaid dari Ibnu Abbas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Barangsiapa tidak mendapat sarung (ketika berihram), hendaknya ia mengenakan celana panjang, dan siapa yang tidak mendapatkan sandal, hendaknya ia mengenakan sepatu." <p><b>Demikianlah saya tulis pembahasan ini, yang mungkin agak kontroversial dan berbeda sudut pandang, saya mohon ma'af apabila saya keliru mengingat keterbatasan saya dan masih sedikitnya ilmu yang saya ketahui. Segala kesalahan adalah dari saya pribadi yang faqir dan segala kebenaran adalah Hak Mutlak Allah subhanahu wa ta'ala.</b> <p><b>Wallahu a'lam</b> <p><b>Anwar Baru Belajar</b> <p><b>Tepian Mahakam, 12 Dzulhijjah 1423</b> Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5082219385398894338.post-17752570411568934112012-08-25T07:10:00.001+07:002012-08-25T07:10:56.436+07:00Jilbab Punuk Unta<p>Beberapa kali saya menemukan foto seperti ini :</p> <p><a href="http://lh6.ggpht.com/-BgX-w8qE1SA/UDgYA9U2jzI/AAAAAAAACg8/w6YILzSuQHY/s1600-h/Sanggul%25255B3%25255D.jpg"><img style="border-bottom: 0px; border-left: 0px; display: inline; border-top: 0px; border-right: 0px" title="Sanggul" border="0" alt="Sanggul" src="http://lh6.ggpht.com/-cz6AJZ6BCF8/UDgYDKx1-uI/AAAAAAAAChE/XYkxJmKy5KI/Sanggul_thumb%25255B1%25255D.jpg?imgmax=800" width="501" height="377"></a> </p> <p>Perhatikan :</p> <p>Nabi Muhammad bersabda: <h5>صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا</h5> <p><em>Dua jenis (manusia) di antara penduduk neraka, sekarang aku belum melihat mereka: Sekelompok laki-laki yang membawa cemeti-cemeti, seperti ekor-ekor sapi, mereka memukul manusia dengannya. Wanita-wanita yang berpakaian, (tetapi) mereka telanjang. Mereka menjauhkan orang lain (dari kebenaran), mereka (sendiri juga) menjauhi (kebenaran).</em> <font color="#ff0000" size="2"><strong>Kepala mereka seperti punuk onta</strong></font> <em>yang miring. Para wanita ini tidak akan masuk sorga dan tidak akan mendapatkan bau sorga. Padahal baunya akan didapati dari jarak yang sangat jauh. (HR. Muslim, no: 2128)</em> <p>Selalu yang digarisbawahi adalah “kepala mereka seperti punuk unta”, lalu kata-kata di depannya dihilangkan atau diabaikan atau bagaimana ya? <p>Jadi punya pikiran “<font color="#0000ff"><strong><em>Sudah berjilbab saja masuk neraka, apalagi yang gak pakai jilbab</em></strong></font>?” <p>Sebetulnya apa pengertian hadis ini ? Saya cari di tebuireng, gak ada. Cari di tempat para ustd ngumpul, belum dibahas atau bagaimana dengan jilbab punuk unta ya? Yang saya temukan penjelasannya hanya : <p>Di antara penafsiran ulama terhadap sabda Nabi: <p>“<em><font color="#008000" size="3"><strong>wanita-wanita yang berpakaian, (tetapi) telanjang</strong></font></em>”, <p>yaitu: mereka menutupi sebagian tubuhnya, tetapi menampakkan sebagian lainnya untuk memamerkan kecantikan. <em>Atau</em> mereka mengenakan pakaian yang tipis yang memperlihatkan warna kulitnya. Sehingga mereka itu berpakaian seperti lahiriyahnya, namun mereka telanjang karena tidak menutupi aurot..Oleh karena itulah Ibnu Hajar Al-Haitami menghitung perbuatan wanita yang memakai pakaian yang tipis yang menampakkan warna kulitnya termasuk dosa besar! (Az-Zawajir 1/127, 129) <p>Para ulama’ mengatakan: “Wajib menutupi aurot dengan apa yang tidak menampakkan warna kulit…” (Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab 3/170. Dinukil dari hal: (Jilbab Mar’atil Muslimah, hal:129, karya Syeikh Al-Albani) <p> <p>An Nawawi dalam <em>Syarh Muslim</em> ketika menjelaskan hadits di atas mengatakan bahwa ada beberapa makna <em>kasiyatun ‘ariyatun</em>. <p><strong>Makna pertama</strong>: wanita yang mendapat nikmat Allah, namun enggan bersyukur kepada-Nya. <p><strong>Makna kedua</strong>: wanita yang mengenakan pakaian, namun kosong dari amalan kebaikan dan tidak mau mengutamakan akhiratnya serta enggan melakukan ketaatan kepada Allah. <p><strong>Makna ketiga</strong>: wanita yang menyingkap sebagian anggota tubuhnya, sengaja menampakkan keindahan tubuhnya. Inilah yang dimaksud wanita yang berpakaian tetapi telanjang. <p><strong>Makna keempat</strong>: wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya telanjang. (Lihat <em>Syarh Muslim</em>, 9/240) <p>Pengertian yang disampaikan An Nawawi di atas, ada yang bermakna konkrit dan ada yang bermakna maknawi (abstrak). Begitu pula dijelaskan oleh ulama lainnya sebagai berikut. <p>Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Makna <em>kasiyatun ‘ariyatun</em> adalah para wanita yang memakai pakaian yang tipis yang menggambarkan bentuk tubuhnya, pakaian tersebut belum menutupi (anggota tubuh yang wajib ditutupi dengan sempurna). Mereka memang berpakaian, namun pada hakikatnya mereka telanjang.” (<em>Jilbab Al Mar’ah Muslimah</em>, 125-126) <p>Al Munawi dalam <em>Faidul Qodir</em> mengatakan mengenai makna <em>kasiyatun ‘ariyatun</em>, “Senyatanya memang wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya dia telanjang. Karena wanita tersebut mengenakan pakaian yang tipis sehingga dapat menampakkan kulitnya. Makna lainnya adalah dia menampakkan perhiasannya, namun tidak mau mengenakan pakaian takwa. Makna lainnya adalah dia mendapatkan nikmat, namun enggan untuk bersyukur pada Allah. Makna lainnya lagi adalah dia berpakaian, namun kosong dari amalan kebaikan. Makna lainnya lagi adalah dia menutup sebagian badannya, namun dia membuka sebagian anggota tubuhnya (yang wajib ditutupi) untuk menampakkan keindahan dirinya.” (<em>Faidul Qodir, </em>4/275) <p>Hal yang sama juga dikatakan oleh Ibnul Jauziy. Beliau mengatakan bahwa makna <em>kasiyatun ‘ariyatun</em> ada tiga makna. <p><strong>Pertama</strong>: wanita yang memakai pakaian tipis, sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita seperti ini memang memakai jilbab, namun sebenarnya dia telanjang. <p><strong>Kedua</strong>: wanita yang membuka sebagian anggota tubuhnya (yang wajib ditutup). Wanita ini sebenarnya telanjang. <p><strong>Ketiga</strong>: wanita yang mendapatkan nikmat Allah, namun kosong dari syukur kepada-Nya. (<em>Kasyful Musykil min Haditsi Ash Shohihain</em>, 1/1031) <p><strong>Kesimpulannya</strong> adalah <em>kasiyatun ‘ariyat</em> dapat kita maknakan: wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya dan wanita yang membuka sebagian aurat yang wajib dia tutup. <p> <p>Saya masih mencari sumber lainnya yang bahas punuk unta, tapi belum menemukan pendapat para ulama. Jika ada yang menemukan linknya mohon di share ya… <p> <p>Sumber : <p><a href="http://ustadzmuslim.com/jilbab-pakaian-wanita-islam/">http://ustadzmuslim.com/jilbab-pakaian-wanita-islam/</a> <p><a href="http://abdullah-syauqi.abatasa.com/post/detail/15839/wanita-yang-berpakaian-tapi-telanjang-sadarlah">http://abdullah-syauqi.abatasa.com/post/detail/15839/wanita-yang-berpakaian-tapi-telanjang-sadarlah</a> <p><a href="http://hijrahdarisyirikdanbidah.blogspot.com/2011/11/hati-hati-jilbab-seperti-punuk-unta.html">http://hijrahdarisyirikdanbidah.blogspot.com/2011/11/hati-hati-jilbab-seperti-punuk-unta.html</a> Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5082219385398894338.post-89927291159049640182012-08-24T17:13:00.001+07:002012-08-24T17:13:48.562+07:00Takhrij Hadits : “Barangsiapa yang Menyerupai Suatu Kaum, Maka Ia Termasuk Golongan Mereka” dan Faedah Ringkas yang Terdapat di dalamnya<p>Rasulullah <i>shallallaahu ‘alaihi wa sallam</i> bersabda : <p>مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ <p><i>“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka</i>”. <p>Hadits ini diriwayatkan dari beberapa jalan :</p> <p><br> </p><a name="more"></a> <p>1. ‘Abdullah bin ‘Umar <i>radliyallaahu ‘anhumaa</i>. <p>Diriwayatkan oleh Abu Daawud<a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn1" name="_ftnref1_8146">[1]</a> no. 4031, Ahmad<a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn2" name="_ftnref2_8146">[2]</a> 2/50 & 2/92<a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn3" name="_ftnref3_8146">[3]</a>, Ath-Thabaraaniy dalam <i>Musnad asy-Syaamiyyiin</i><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn4" name="_ftnref4_8146">[4]</a> no. 216, ‘Abdun bin Humaid dalam <i>Al-Muntakhab</i><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn5" name="_ftnref5_8146">[5]</a><i> </i>no. 846, Ibnu Abi Syaibah<a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn6" name="_ftnref6_8146">[6]</a> 5/313 & 12/531, Abu Ya’laa Al-Maushiliy sebagaimana dibawakan Al-Bushairiy dalam <i>Ittihaaful-Khairah</i><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn7" name="_ftnref7_8146">[7]</a><i> </i>no. 5437 & 6205, Ibnul-‘Arabiy dalam <i>Mu’jam</i>-nya<a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn8" name="_ftnref8_8146">[8]</a> no. 1137, Ad-Diinawawiy dalam <i>Al-Mujaalasah wa Jawaahirul-‘Ilmi</i><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn9" name="_ftnref9_8146">[9]</a><i> </i>no. 147, Al-Baihaqiy dalam <i>Syu’abul-Iimaan</i><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn10" name="_ftnref10_8146">[10]</a><i> </i>no. 1199, Al-Harawiy dalam <i>Dzammul-Kalaam</i><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn11" name="_ftnref11_8146">[11]</a><i> </i>no. 476, Al-Khathiib dalam <i>Al-Faqiih wal-Mutafaqqih</i><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn12" name="_ftnref12_8146">[12]</a><i> </i>2/73, Tamaam Ar-Raaziy dalam <i>Al-Fawaaid</i><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn13" name="_ftnref13_8146">[13]</a> no. 770, Ibnul-Jauziy dalam <i>Tabliis Ibliis</i><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn14" name="_ftnref14_8146">[14]</a><i> </i>1/170, Muhammad bin Nashr Ar-Ramliy dalam <i>Tafsiir ‘Athaa’ Al-Khurasaaniy</i><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn15" name="_ftnref15_8146">[15]</a><i> </i>no. 395, Al-Mizziy dalam <i>Tahdziibul-Kamaal</i><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn16" name="_ftnref16_8146">[16]</a><i> </i>34/324, Adz-Dzahabiy dalam <i>As-Siyar</i><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn17" name="_ftnref17_8146">[17]</a><i> </i>15/509, dan Ibnu Hajar dalam <i>Taghliiqut-Ta’liq</i><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn18" name="_ftnref18_8146">[18]</a><i> </i>3/444; dari beberapa jalan, dari ‘Abdurrahmaan bin Tsaabit bin Tsaubaan : Telah menceritakan kepada kami Hassaan bin ‘Athiyyah, dari Abul-Muniib Al-Jurasyiy, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah <i>shallallaahu ‘alaihi wa sallam</i> : <p>بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيْ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ" <p><i>“Aku diutus dengan pedang menjelang hari kiamat hingga hanya Allah semata lah yang disembah, tidak ada sekutu bagi-Nya; dijadikan rizkiku di bawah bayangan tombakku; dan dijadikan kehinaan dan kerendahan bagi siapa saja yang menyelisihi perkaraku. Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka</i>”. <p>Keterangan para perawi : <p><u>‘Abdurrahman bin Tsaabit bin Tsaubaan Al-‘Ansiy, Abu ‘Abdillah Asy-Syaamiy Ad-Dimasyqiy Az-Zaahid (75 – 165 H)</u>. <p>Ahmad bin Hanbal berkata : “Hadits-haditsnya <i>munkar</i>”. Di lain tempat ia berkata : “Tidak kuat dalam hadits”. Di lain tempat ia berkata : “Ia seorang ahli ibadah dari kalangan penduduk Syaam”. Yahyaa bin Ma’iin berkata : “<i>Shaalih</i>”. Di tempat lain ia berkata : “<i>Dla’iif</i>”. Di tempat lain ia berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Dan seperti itulah yang dikatakan oleh ‘Aliy bin Al-Madiiniy, Ahmad bin ‘Abdillah Al-‘Ijliy, dan Abu Zur’ah Ar-Raaziy (yaitu : “Tidak mengapa dengannya”). Berkata Mu’aawiyyah bin Shaalih, ‘Utsmaan bin Sa’iid Ad-Daarimiy, dan ‘Abdullah bin Syu’aib Ash-Shaabuuniy, dari Yahyaa bin Ma’iin : “<i>Dla’iif</i>”. Mu’aawiyyah menambahkan : “Aku bertanya (kepada Ibnu Ma’iin) : “Apakah ditulis haditsnya ?”. Ia menjawab : “Ya, bersama dengan kedla’ifannya. Ia seorang laki-laki yang shaalih”. Abu Bakr bin Abi Khaitsamah, dari Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Tidak ada apa-apanya”. Ya’quub bin Syaibah As-Saduusiy berkata : “Para shahabat kami berbeda pendapat tentangnya. Adapun Yahyaa bin Ma’iin melemahkannya, sedangkan ‘Aliy bin Al-Madiiniy mempunyai pandangan yang baik terhadapnya. Ibnu Tsaubaan seorang laki-laki yang jujur, tidak mengapa dengannya…”. ‘Amru bin ‘Aliy berkata : “Hadits orang-orang Syaam itu semuanya<i>dla’iif</i>, kecuali beberapa orang, diantaranya : Al-Auzaa’iy, ‘Abdurrahmaan bin Tsaabit bin Tsaubaan,….”. Duhaim berkata : “<i>Tsiqah, </i>dituduh berpemahaman Qadariyyah. Al-Auzaa’iy menuliskan hadits kepadanya. Aku tidak tahu sesuatu yang menjadikan menolaknya”. Abu Haatim berkata : “<i>Tsiqah</i>”. Di tempat lain ia berkata : “….Berubah akalnya di akhir usianya, dan ia seorang yang haditsnya lurus (<i>mustaqiimul-hadiits</i>)”. Abu Daawud berkata : “Tidak mengapa dengannya”. An-Nasaa’iy berkata : “<i>Dla’iif</i>”. Di tempat lain ia berkata : “Tidak kuat”. Di tempat lain ia berkata : “Tidak <i>tsiqah</i>”. Shaalih bin Muhammad Al-Baghdaadiy berkata : “Orang Syaam yang jujur, kecuali ia punya madzhab Qadariyyah. Orang-orang mengingkari hadits-haditsnya yang ia riwayatkan dari ayahnya, dari Mak-huul. Ibnu Khiraasy berkata : “Dalam haditsnya terdapat kelemahan”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Ia mempunyai hadits-hadits yang baik….. Ia seorang laki-laki yang shaalih, ditulis haditsnya bersamaan dengan kelemahannya. Adapun ayahnya seorang yang <i>tsiqah</i>”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam <i>Ats-Tsiqaat</i>. Abu Bakr Al-Khathiib berkata : “Ia termasuk orang yang disifati dengan zuhd, ahli ibadah, dan kejujuran dalam riwayat” [selengkapnya lihat : <i>Tahdziibul-Kamaal</i>, 17/12-18 no. 3775]. Abu Zur’ah Ad-Dimasyqiy pernah bertanya kepada ‘Abdurrahmaan bin Shaalih : “Apa pendapatmu tentang Ibnu Tsaubaan ?”. Ia berkata : “<i>Tsiqah</i>” [<i>Taariikh Abi Zur’ah</i>, hal. 44 – Syaamilah]. Ibnu Syaahiin berkata : “Tidak mengapa dengannya” [<i>Taariikh Asmaa’ Ats-Tsiqaat</i>, hal. 214 no. 765]. Ibnul-Jauziy memasukkannya dalam <i>Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukuun </i>(2/91 no. 1856). <p>Ibnu Hajar menyimpulkan : “<i>Shaduuq</i>, sering keliru (<i>yukhthi’</i>),<i> </i>dituduh berpemahaman Qadariyyah, dan berubah hapalannya di akhir usianya” [<i>At-Taqriib</i>, hal. 572 no. 3844]. Adz-Dzahabiy memasukkanya dalam kitab <i>Man Tukullima fiihi Wahuwa Muwatstsaqun au Shaalihul-Hadiits</i> (hal. 324-325 no. 206). Di tempat lain Adz-Dzahabiy menyimpulkan : “Ia bukanlah seorang yang banyak haditsnya, bukan pula hujjah, akan tetapi seorang yang <i>shaalihul-hadiits</i>’ [<i>Siyaru A’laamin-Nubalaa’</i>, 7/314]. <p>Al-Albaaniy berkata : “<i>Hasanul-hadiits</i>” [<i>Irwaaul-Ghaliil, </i>2/136]. Di tempat lain ia berkata : “<i>Hasanul-hadiits</i> apabila tidak ada penyelisihan” [<i>Ash-Shahiihah</i>,<i> </i>1/232]. Di tempat lain ia mengatakan : “<i>Padanya ada kelemahan</i>” [<i>Dhilaalul-Jannaah </i>no. 408]. Basyaar ‘Awwaad dan Al-Arna’uth berkata : “<i>Shaduuq hasanul-hadiits</i>” [<i>Tahriirut-Taqriib</i>, 2/309-310 no. 3820]. <p>Kesimpulan : Yang nampak di sini – <i>wallaahu a’lam</i> – ia seorang yang ahli ibadah lagi jujur. Akan tetapi ia diperbincangkan dari segi hapalannya. Oleh karena itu, haditsnya<i>hasan </i>bila tidak ada penyelisihan, sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy. Apalagi, dalam periwayatan dari Hassaan bin ‘Athiyyah ia tidak bersendirian. <p><u>Hassaan bin ‘Athiyyah Al-Muhaaribiy, Abu Bakr Asy-Syaamiy (w. setelah tahun 120 H).</u> <p>Ibnu Hajar berkata : “Seorang yang <i>tsiqah</i>, <i>faqiih</i>, lagi <i>‘aabid</i>” [<i>Taqriibut-Tahdziib</i>, hal. 233 no. 1214]. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam <i>Shahih</i>-nya. <p><u>Abul-Muniib Al-Jurasyiy Ad-Dimasyqiy Al-Ahdab.</u> <p>Al-‘Ijliy berkata : “Orang Syaam, <i>taabi’iy, tsiqah</i>’. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam kitab <i>Ats-Tsiqaat</i> [<i>Tahdziibul-Kamaal,</i> 34/324-325]. Ibnu Hajar berkata : “<i>Tsiqah</i>” [<i>Taqriibut-Tahdziib</i>, hal. 1211 no. 8461]. Adz-Dzahabiy berkata : “<i>Tsiqah</i>” [<i>Al-Kaasyif</i>, 2/464 no. 6859]. Sejumlah perawi <i>tsiqah </i>meriwayatkan darinya (Tsaur bin Yaziid, Hassaan bin ‘Athiyyah, Daawud bin Abi Hind, Zaid bin Waaqid, dan ‘Aashim Al-Ahwal). <p>Kesimpulannya : Ia seorang yang <i>tsiqah</i>. <p>‘Abdurrahmaan bin Tsaabit dalam periwayatannya dari Hassaan bin ‘Athiyyah mempunyai <i>muttabi’ </i>dari Al-Auza’iy, sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam <i>Musykilul-Aatsaar</i><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn19" name="_ftnref19_8146">[19]</a><i> </i>no. 231 dan Ibnu Hadzlam dalam <i>Juz­</i>-nya<a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn20" name="_ftnref20_8146">[20]</a> no. 31. <p>Al-Auzaa’iy, ia adalah ‘Abdurrahmaan bin ‘Amru bin Abi ‘Amru, Abu ‘Amru Al-Auzaa’iy; seorang imam <i>tsiqah</i>, <i>jaliil</i>, lagi <i>faqiih </i>(w. 157 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam <i>Shahih</i>-nya [<i>Taqriibut-Tahdziib</i>, hal. 593 no. 3992]. <p>Sanad hadits ini adalah <i>shahih</i>. <p>2. Hudzaifah bin Al-Yamaan <i>radliyallaahu ‘anhu</i>. <p>Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam <i>Al-Bahruz-Zakhaar</i><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn21" name="_ftnref21_8146">[21]</a><i> </i>7/368 no. 2966 dan dalam<i>Kasyful-Astaar </i>no. 144, serta Ath-Thabaraaniy dalam <i>Al-Ausath</i><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn22" name="_ftnref22_8146">[22]</a><i> </i>no. 8327; dari jalan Muhammad bin Marzuuq, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin Al-Khaththaab, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Aliy bin Ghuraab, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Hisyaam bin Hassaan, dari Muhammad bin Siiriin, dari Abu ‘Ubaidah bin Hudzaifah, dari ayahnya <i>radliyallaahu ‘anhu</i>: Bahwasannya Nabi <i>shallallaahu ‘alaihi wa sallam </i>bersabda : <p>" مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ "، <p><i>“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka</i>”. <p>Keterangan para perawi : <p><u>Muhammad bin Muhammad bin Marzuuq bin Bukair/Bakr Al-Baahiliy, Abu ‘Abdillah Al-Bashriy</u>; seorang yang <i>shaduuq</i>, namun mempunyai beberapa keraguan (w. 248 H). Dipakai Muslim dalam <i>Shahih</i>-nya [<i>Taqriibut-Tahdziib</i>, hal. 893-894 no. 6311]. <p><u>‘Abdul-‘Aziiz bin Al-Khaththaab Al-Kuufiy, Abul-Hasan</u> (w. 224 H). Abu Haatim berkata : “<i>Shaduuq</i>”. Ya’quub bin Syaibah berkata : “<i>Tsiqah </i>lagi <i>shaduuq</i>”. <strike>‘Amru bin ‘Aliy</strike> An-Nasaa'iy berkata : “<i>Tsiqah</i>” [selengkapnya lihat : <i>Tahdziibul-Kamaal</i> 18/126-128 no. 3441]. Ibnu Hajar menyimpulkan : “<i>Shaduuq</i>” [<i>Taqriibut-Tahdziib</i>, hal. 611 no. 4118]. Adz-Dzahabiy berkata : “<i>Tsiqah</i>” [<i>Al-Kaasyif</i>, 1/655 no. 3382]. <p>Kesimpulan : <i>Tsiqah</i>. <p><u>‘Aliy bin Ghuraab Al-Fazaariy, Abul-Hasan</u> (w. 184). Ahmad bin Hanbal berkata : “Aku mendengar darinya dalam satu majlis, dan ia melakukan <i>tadliis</i>. Dan aku tidaklah melihatnya kecuali ia seorang yang <i>shaduuq</i>”. Di lain tempat ia berkata : “Haditsnya termasuk hadits <i>ahlush-shidq</i>”. Yahyaa bin Ma’iin berkata : “<i>Shaduuq</i>”. Di lain tempat ia berkata : “’Aliy itu tidak mengapa, akan tetapi ia berbuat <i>tasyayyu’</i>”. Di lain tempat ia berkata : “<i>Tsiqah</i>”. Di lain tempat ia berkata : “Orang-orang telah berbuat dhalim terhadapnya ketika membicarakannya”. Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair berkata : “Ia mempunyai beberapa hadits <i>munkar</i>”. Abu Haatim berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Abu Zur’ah berkata : “’Aliy bin Ghuraab menurutku <i>shaduuq</i>, dan ia lebih aku senangi daripada ‘Aliy bin ‘Aashim”. Abu Daawud berkata : “<i>Dla’iif</i>, orang-orang meninggalkan haditsnya”. ‘Iisaa bin Yuunus berkata : “Ia seorang yang <i>dla’iif</i>, dan aku ttidak menulis haditsnya. Abu Daawud mengatakan hal itu”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak mengapa dengannya, dan ia sering melakukan <i>tadlis</i>”. Ibraahiim bin Ya’qqub Al-Juzjaaniy : “<i>Saaqith</i>”. Mengomentari perkataan Al-Juzjaaniy ini, Al-Khathiib berkata : “Aku mengira Ibraahiim mencelanya dikarenakan madzhabnya, karena ia ber-<i>tasyayyu’</i>. Adapun riwayatnya, orang-orang telah mensifatinya dengan kejujuran”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Digunakan sebagai <i>i’tibar</i>”. Ibnu Hibbaan berkata : “Ia meriwayatkan hadits-hadits <i>maudlu’</i>, sehingga batallah berhujjah dengannya. Ia seorang yang berlebih-lebihan dalam <i>tasyayyu’</i>”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Ia mempunyai riwayat-riwayat <i>ghariib</i> dan <i>afraad</i>. Dan ia termasuk orang yang ditulis haditsnya”. Ibnu Sa’d berkata : “Ia seorang yang <i>shaduuq</i>, dan padanya ada kelemahan. Ia bershahabat dengan Ya’quub bin Daawud – yaitu waziir Al-Mahdiy - , sehingga orang-orang meninggalkannya”. Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Ammaar : ia seorang <i>shahiibul-hadiits</i>, yang luas pengetahuannya,… dan ia ber-<i>tasyayyu’</i>”. Ibnu Qaani’ berkata : “Orang Kuufah, Syi’ah, <i>tsiqah</i>”. ‘Utsmaan bin Abi Syaibah berkata : “<i>Tsiqah</i>” [selengkapnya lihat : <i>Tahdziibul-Kamaal </i>21/90-96 no. 4120 dan <i>Tahdziibut-Tahdziib</i>7/372]. Ibnu Hajar menyimpulkan : “<i>Shaduuq, sering berbuat </i>tadlis (<i>yudallis</i>), dan ber-<i>tasyayyu’</i>. Ibnu Hibbaan telah berlebihan dalam melemahkannya” [<i>Taqriibut-Tahdziib</i>, hal. 703 no. 4817]. <p>Kesimpulannya adalah sebagaimana kesimpulan Ibnu Hajar. <p><u>Hisyaam bin Hassaan Al-Azdiy, Abu ‘Abdillah Al-Bashriy</u>; seorang yang <i>tsiqah</i>, dan paling <i>tsabt </i>riwayatnya dari Muhammad bin Siiriin (w. 147/148 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam <i>Shahiih</i>-nya [<i>idem</i>, hal. 1020-1021 no. 7339]. <p><u>Muhammad bin Siiriin Al-Anshaariy</u>, <i>tabi’iy masyhur</i>; seorang yang <i>tsiqah</i> lagi<i>tsabat</i> (w. 110 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam <i>Shahih</i>-nya [<i>idem</i>, hal. 853 no. 5985]. <p><u>Abu ‘Ubaidah bin Hudzaifah bin Al-Yamaan</u>; seorang yang <i>maqbuul</i> [<i>idem</i>, hal. 1174 no. 8292]. Yaitu, riwayatnya diterima jika ada <i>mutaba’ah</i>, dan jika tidak, maka <i>dla’iif</i>. <p>Abu 'Ubaidah bin Hudzaifah mempunyai <i>mutaba’ah </i>dari Numair bin Aus, sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam <i>Musnad Asy-Syaamiyyiin</i><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn23" name="_ftnref23_8146">[23]</a> no. 1862 : Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Ishaaq : telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Al-Haarits : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Saalim, dari Az-Zubaidiy : Telah menceritakan kepada kami Numair bin Aus : Bahwasannya Hudzaifah bin Al-Yamaan kembali kepada Rasulullah<i>shallallaahu ‘alaihi wa sallam</i>, lalu beliau berkata : <p>مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ <p><i>“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka</i>”. <p>Keterangan para perawi : <p><u>‘Amru bin Ishaaq bin Ibraahiim bin Al-‘Alaa’ bin Adl-Dlahhaak bin Al-Muhaajir bin Zibriiq Az-Zubaidiy Al-Himshiy</u>; seorang yang <i>majhuul haal </i>[<i>Irsyaadul-Qaadliy wad-Daaniy</i>, hal. 451-452 no. 718]. <p><u>Ishaaq bin Ibraahiim bin Al-'Alaa' bin Adl-Dlahhaak bin Zibriiq Al-Himshiy Az-Zubaidiy</u>[<i>Al-Jarh wat-Ta'diil</i>, 2/209 no. 711 dan <i>Tahdziibul-Kamaal</i> 2/369-371 no. 330]. Mengenai Ishaaq bin Ibraahiim bin Zibriiq, Abu Haatim berkata : “Syaikh”. Ibnu Ma’iin memujinya dengan berkata : “Tidak mengapa dengannya (<i>laa ba’sa bihi</i>)” [<i>Al-Jarh wat-Ta’diil </i>2/209 no. 711]. An-Nasaa’iy – sebagaimana dinukil Al-Mizziy – mengatakan : “Tidak <i>tsiqah</i>”. Namun dalam riwayat Ibnu ‘Asaakir sebagaimana yang dibawakan oleh Ibnu Badraan dalam <i>At-Tahdziib</i> (2/407), An-Nasaa’iy berkata : “Tidak <i>tsiqah</i>, jika ia meriwayatkan dari ‘Amru bin Al-Haarits”. Jadi ketidaktsiqahan ini di-<i>taqyid</i> dalam periwayatan dari ‘Amru. Muhammad bin ‘Auf memutlakkan kedustaan terhadapnya. Abu Dawud mengikuti Muhammad bin ‘Auf dengan perkataannya : “Tidak ada apa-apanya”. Namun perkataan keduanya ini perlu ditinjau kembali, sebab Al-Bukhaariy (dalam <i>Shahih</i>-nya dengan periwayatan <i>mu’allaq</i>), Abu Haatim, Al-Fasaawiy, dan yang lainnya membawakan riwayatnya dimana tidak ada keraguan bahwa mereka tidaklah meriwayatkan dari para pendusta yang dikenal kedustaaannya. Abu Ishaaq Al-Huwainiy dalam <i>Natsnun-Nabaal</i><i> </i>(hal. 176-177 no. 276) membawakan bahwa Maslamah bin Al-Qaasim mentsiqahkannya. Al-Haakim (<i>Al-Mustadrak</i><i> </i>3/290) dan Ibnu Hibbaan (<i>Ats-Tsiqaat</i> 8/113) men-<i>tautsiq</i>-nya. Perkataan yang benar di sini adalah bahwa Ishaaq bin Ibraahiim bin Zibriiq adalah <i>shaduuq</i>; riwayatnya lemah jika berasal dari ‘Amr bin Al-Haarits. <p>‘<u>Amru bin Al-Haarits bin Adl-Dlahhaak Az-Zubaidiy Al-Himshiy</u>. Ibnu Hibbaan berkata : “<i>Mustaqiimul-hadiits</i>” [<i>Ats-Tsiqaat</i>, 8/48]. Adz-Dzahabiy berkata : <i>“</i>Telah ditsiqahkan” [<i>Al-Kaasyif</i>, 2/73 no. 4136]. Ibnu Hajar berkata : “<i>Maqbuul</i>” [<i>Taqriibut-Tahdziib</i>, hal. 732 no. 5036]. <p>Kesimpulan : Ia tidaklah jatuh dari derajat <i>hasan</i>, <i>wallaahu a’lam</i>. <p><u>‘Abdullah bin Saalim Al-Asy’ariy Al-Himshiy</u>; seorang yang <i>tsiqah</i> dan dituduh berpemahaman <i>nashb</i> (membenci Ahlul-Bait) (w. 179 H). Dipakai Al-Bukhaariy dalam<i>Shahiih</i>-nya [<i>idem</i>, hal. 509 no. 3355]. <p><u>Az-Zubaidiy, ia adalah Muhammad bin Al-Waliid bin ‘Aamir Az-Zubaidiy, Abul-Hudzail Al-Himshiy</u>; seorang yang <i>tsiqah </i>lagi <i>tsabat</i> (w. 146/147/149 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam <i>Shahiih</i>-nya [<i>idem</i>, hal. 905 no. 6412]. <p>Numair bin Aus Al-Asy’ariy. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam <i>Ats-Tsiqaat</i> (5/479). Ibnu Hajar berkata : “<i>Tsiqah</i>” [<i>Taqriibut-Tahdziib</i>, hal. 1009 no. 7239]. Namun yang benar – <i>wallaahu a’lam</i> – ia hanyalah seorang yang <i>shaduuq </i>saja, karena hanya Ibnu Hibbaan yang men-<i>tautsiq</i>-nya, akan tetapi sejumlah perawi <i>tsiqaat </i>meriwayatkan darinya. Kesimpulan ini adalah sebagaimana diambil Basyar ‘Awwaad dan Al-Arna’uth dalam <i>Tahriirut-Taqriib</i> (4/24 no. 7190). <p><i>Mutaba’ah </i>ini pun lemah, karena kelemahan ‘Amru bin Ishaaq dan ayahnya. <p>3. Abu Hurairah <i>radliyallaahu ‘anhu</i>. <p>Diriwayatkan oleh Al-Harawiy dalam <i>Dzammul-Kalaam</i><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn24" name="_ftnref24_8146">[24]</a><i> </i>no. 474, Abu Umayyah Ath-Thursuusiy dalam <i>Musnad</i>-nya<a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn25" name="_ftnref25_8146">[25]</a> no. 56, dan Adz-Dzahabiy dalam <i>As-Siyar</i><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn26" name="_ftnref26_8146">[26]</a>16/242; semuanya dari jalan Shadaqah bin ‘Abdillah, dari Al-Auzaa’iy, dari Yahyaa bin Katsiir, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi <i>shallallaahu ‘alaihi wa sallam</i>, beliau bersabda : <p>بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذُّلُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَنِي، وَمَنْ تَشَّبَهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ " <p><i>“Aku diutus menjelang hari kiamat dengan pedang. Dijadikan rizkiku di bawah bayangan tombakku, dan dijadikan kehinaan serta kerendahan atas orang yang menyelisihiku. Dan barangsiapa yang menyerupai satu kaum, maka ia termasuk golongan mereka</i>’. <p>Akan tetapi riwayat ini di-<i>ta’lil </i>oleh sejumlah ulama. <p>Dalam kitab <i>Al-‘Ilal lid-Daaruquthniy</i> disebutkan : <p>وَسُئِلَ عَنْ حَدِيثِ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: " بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، وَجُعِلَ رِزْقِي فِي ظُلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذُّلُّ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَنِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ "، فَقَالَ: يَرْوِيهِ الْأَوْزَاعِيُّ وَاخْتُلِفَ عَنْهُ، فَرَوَاهُ صَدَقَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ السَّمِينِ وَهُوَ ضَعِيفٌ، عَنْ يَحْيَى، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَخَالَفَهُ الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، رَوَاهُ عَنِ الْأَوْزَاعِيِّ، عَنْ حَسَّانَ بْنِ عَطِيَّةَ، عَنْ أَبِي مُنِيبٍ الْجُرْشِيِّ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ وَهُوَ الصَّحِيحُ <p>“Ad-Daaruquthniy pernah ditanya tentang hadits Abu Salamah, dari Abu Hurairah : Telah bersabda Rasulullah <i>shallallaahu ‘alaihi wa sallam</i> : <i>‘Aku diutus menjelang hari kiamat. Dijadikan rizkiku di bawah bayangan tombakku, dan dijadikan kehinaan serta kerendahan atas orang yang menyelisihiku. Dan barangsiapa yang menyerupai satu kaum, maka ia termasuk golongan mereka</i>’. Lalu ia berkata : ‘Diriwayatkan oleh Al-Auza’iy dan terdapat perselisihan padanya. Diriwayatkan oleh Shadaqah bin ‘Abdillah As-Samiin, dan ia seorang yang <i>dla’iif</i>, (dari Al-Auza’iy), dari Yahyaa, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah. Al-Waliid bin Muslim menyelisihinya dimana ia meriwayatkan dari Al-Auza’iy dari Hassaan bin ‘Athiyyah, dari Abul-Muniib Al-Jursyiy, dari Ibnu ‘Umar. Dan inilah yang benar/shahih” [<i>Al-‘Ilal </i>no. 1754]. <p>Adapun Ibnu Abi Haatim <i>rahimahullah </i>berkata : <p>وَسألت أبي عَنْ حديث رَوَاهُ عُمَرُ بْنُ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ صَدَقَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ الأَوْزَاعِيِّ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: " بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذُّلُّ، وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَنِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ". قَالَ أَبِي: قَالَ لِي دُحَيْمٌ: هَذَا الْحَدِيثُ لَيْسَ بِشَيْءٍ، وَالْحَدِيثُ حَدِيثُ الأَوْزَاعِيِّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جَبَلَةَ، عَنْ طَاوُسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم <p>“Dan aku pernah bertanya kepada ayahku tentang hadits yang diriwayatkan oleh ‘Umar bin Salamah, dari Shadaqah bin ‘Abdillah, dari Al-Auza’iy, dari Yahyaa bin Katsiir, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi <i>shallallaahu ‘alaihi wa sallam</i>, beliau bersabda : <i>“Aku diutus dengan pedang menjelang hari kiamat, dan dijadikan rizkiku di bawah bayangan tombakku, dan dijadikan kehinaan serta kerendahan atas orang-orang yang menyelisihiku. Dan barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka’</i>. Lalu ayahku (Abu Haatim) berkata : ‘Duhaim pernah berkata kepadaku : Hadits ini tidak ada apa-apanya. Hadits itu yang benar adalah hadits Al-Auzaa’iy, dari Sa’iid bin Jabalah, dari Thaawus, dari Nabi <i>shallallaahu ‘alaihi wa sallam </i>secara <i>mursal</i>” [<i>Al-‘Ilal</i> no. 956]. <p>Adapun Shadaqah bin ‘Abdillah, statusnya adalah seperti yang dikatakan Ad-Daaruquthniy, dan ia didla’ifkan oleh jumhur ahli hadits [lihat : <i>Tahdziibul-Kamaal</i>13/133-138 no. 2863 dan <i>Taqriibut-Tahdziib</i>, hal. 451 no. 2929]. <p>4. Abu Umaamah Al-Baahiliy <i>radliyallaahu ‘anhu</i>. <p>Diriwayatkan oleh Abu Dzawaalah dalam <i>Hadiits</i>-nya<a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn27" name="_ftnref27_8146">[27]</a> no. 3 : Telah menceritakan kepada kami Abu Dzawaalah : Telah menceritakan kepadaku Abu ‘Abdil-‘Aziiz bin Marwaan, dari kakeknya Abaan bin Sulaimaan bin Maalik Al-Laitsiy, dari Abu Umaamah Al-Baahiliy, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah <i>shallallaahu ‘alaihi wa sallam</i> : <p>مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ، وَمَنْ أَحَبَّ قَوْمًا حُشِرَ مَعَهُمْ <p><i>“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka. Dan barangsiapa mencintai suatu kaum, maka ia akan dikumpulkan bersama mereka</i>”. <p>Abaan bin Sulaimaan bin Maalik Al-Laitsiy, tidak diketemukan biografinya [lihat :<i>Rijaalul-Haakim</i>, hal. 87 no. 147]. Begitu pula Abu ‘Abdil-‘Aziiz bin Marwaan, belum saya ketemukan biografinya. <i>Wallaahu a’lam</i>. <p>5. Anas bin Maalik <i>radliyallaahu ‘anhu</i>. <p>Diriwayatkan oleh Al-Harawiy dalam <i>Dzammul-Kalaam</i><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn28" name="_ftnref28_8146">[28]</a> no. 475 dan Abu Nu’aim dalam <i>Akhbaar Ashbahaan</i><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn29" name="_ftnref29_8146">[29]</a><i> </i>1/166; semuanya dari jalan Al-Hajjaaj bin Yuusuf bin Qutaibah : Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Al-Husain, dari Az-Zubair bin ‘Adiy, dari Anas, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah <i>shallallaahu ‘alaihi wa sallam</i> : <p>جُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذُّلُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ <p><i>“Dijadikan rizkiku di bawah bayangan tombakku, dan dijadikan kehinaan serta kerendahan bagi siapa saja yang menyelisihiku. Dan barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka</i>”. <p>Sanad ini sangat lemah karena Bisyr bin Al-Husain, Abu Muhammad Al-Hilaaliy Al-Ashbahaaniy, seorang yang <i>matruuk </i>[<i>Mishbaahul-Ariib</i>, 1/243 no. 4828]. <p>6. Al-Hasan Al-Bashriy <i>rahimahullah </i>secara <i>mursal</i>. <p>Diriwayatkan oleh Sa’iid bin Manshuur<a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn30" name="_ftnref30_8146">[30]</a> no. 2194 : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin ‘Ayyaasy, dari Abu ‘Umair Ash-Shuuriy, dari Al-Hasan, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah <i>shallallaahu ‘alaihi wa salam </i>: <p>إن الله بعثني بسيفي بين يدي الساعة ، وجعل رزقي تحت ظل رمحي ، وجعل الذل والصغار على من خالفني ، ومن تشبه بقوم فهو منهم <p><i>“Sesungguhnya Allah mengutusku dengan pedangku menjelang hari kiamat, dijadikan rizkiku di bawah bayangan tombakku, dan dijadikan kehinaan serta kerendahan bagi siapa saja yang menyelisihiku. Dan barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka</i>”. <p>Keterangan perawi : <p><u>Ismaa’iil bin ‘Ayyaasy bin Sulaim Al-‘Ansiy, Abu ‘Utbah Al-Himshiy</u>; seorang yang<i>shaduuq</i> dalam riwayat penduduk negerinya, namun tercampur (<i>mukhtalith</i>) dalam riwayat selainnya (w. 181/182 H) [<i>Taqriibut-Tahdziib</i>, hal. 142 no. 477]. <p><u>Abu ‘Umair Ash-Shuuriy, namanya Abaan bin Sulaimaan</u>. Ibnu Abi Haatim berkata : “ia termasuk hamba Allah yang shaalih, berbicara dengan hikmah” [<i>Al-Jarh wat-Ta’diil</i>, 2/300 no. 1106]. <p><u>Al-Hasan, ia adalah Ibnu Abil-Hasan yang terkenal dengan Al-Hasan Al-Bashriy</u>; seorang yang <i>tsiqah</i>, <i>faadlil, </i>lagi <i>masyhuur</i> (w. 110 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam <i>Shahih</i>-nya [<i>Taqriibut-Tahdziib</i>, hal. 236 no. 1237]. <p>Selain <i>mursal</i>, sanad riwayat ini juga lemah sampai Al-Hasan karena Abu ‘Umair Ash-Shuuriy. Ia seorang yang <i>majhuul haal</i>. <p>7. Thaawus <i>rahimahullah </i>secara <i>mursal</i>. <p>Diriwayatkan oleh Ibnul-Mubaarak dalam <i>Al-Jihaad</i><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn31" name="_ftnref31_8146">[31]</a> no. 105, Al-Qadlaa’iy dalam<i>Musnad Asy-Syihaab</i><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn32" name="_ftnref32_8146">[32]</a> no. 390, dan Ibnu Abi Syaibah<a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn33" name="_ftnref33_8146">[33]</a> 5/313 & 12/351; semuanya dari Al-Auzaa’iy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Jabalah, ia berkata : telah menceritakan kepadaku Thaawus Al-Yamaaniy : Bahwasannya Rasulullah <i>shallallaahu ‘alaihi wa sallam</i> bersabda : <p>إِنَّ اللَّهَ بَعَثَنِي بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، وَجَعَلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجَعَلَ الذُّلَّ وَالصَّغَارَ عَلَى مَنْ خَالَفَنِي، وَمَنْ تشبه بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ " <p><i>“Sesungguhnya Allah mengutusku dengan pedang menjelang hari kiamat. Ia menjadikan rizkiku di bawah bayangan tombakku, dan menjadikan kehinaan serta kerendahan atas orang yang menyelisihiku. Dan barangsiapa yang menyerupai satu kaum, maka ia termasuk golongan mereka</i>’. <p>Selain <i>mursal</i>, riwayat ini juga tidak shahih sampai Thaawuus. Sa’iid bin Jabalah dari Thaawuus didla’ifkan oleh Asy-Syiiraaziy [<i>Mishbaahul-Ariib</i>, 2/19 no. 10594]. <p>Kesimpulan hadits dengan keseluruhan jalannya adalah <b>shahih</b>. <p><b>Penjelasan Ringkas Hadits</b><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn34" name="_ftnref34_8146">[34]</a><b></b> <p>Nabi <i>shallallaahu ‘alaihi wa sallam </i>mengkhabarkan bahwa diri beliau diutus menjelang hari kiamat dengan pedang, maksudnya adalah dekat masanya antara masa pengutusan beliau kepada manusia hingga nanti ditegakkannya hari kiamat. <p>Sabda beliau <i>shallallaahu ‘alaihi wa sallam</i> : <i>‘dengan pedang’</i> ; maksudnya beliau mengkhususkan diri beliau dengan pedang, meskipun nabi-nabi yang lain juga diutus dengan berperang dengan musuh-musuhnya, adalah karena apa yang mereka (para nabi lain) lakukan tidak menyamai apa yang beliau lakukan dalam hal ini. Bisa juga bahwa beliau<i>shallallaahu ‘alaihi wa sallam </i>hanya mengkhususkan dirinya dengan hal tersebut karena telah terdapat dalam kitab-kitab dimana hal itu dimaksudkan untuk menegur dua golongan Ahlul-Kitaab serta mengingatkan mereka apa-apa yang ada pada mereka.<a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn35" name="_ftnref35_8146">[35]</a> <p>Beliau <i>shallallaahu ‘alaihi wa sallam </i>juga menjelaskan inti risalah dan tujuan diutusnya beliau itu adalah untuk mentauhidkan Allah <i>ta’ala </i>dengan peribadahan, dan membatalkan segala macam bentuk kesyirikan. Dalam hadits tersebut terdapat isyarat pencapaian tujuan ini tidaklah akan terjadi kecuali dengan penegakkan jihad <i>fii sabiilillah</i> dengan memerangi para pelaku kesyirikan dan kesesatan. <p>Sabda beliau <i>shallallaahu ‘alaihi wa sallam </i>: <i>‘dan dijadikan rizkiku di bawah bayangan tombakku’</i> ; padanya terdapat isyarat halalnya <i>ghanimah</i> bagi umat ini. Dan juga bahwasannya rizki Nabi <i>shallallaahu ‘alaihi wa sallam </i>ada pada <i>ghaniimah</i> tersebut, bukan selainnya dari penghasilan kerja (<i>makaasib</i>). Oleh karena itu, sebagian ulama berkata : Ini adalah penghasilan yang paling utama.<a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn36" name="_ftnref36_8146">[36]</a> Beliau <i>shallallaahu ‘alaihi wa sallam</i> makan dari sumber yang lain, akan tetapi kebanyakan rizkinya diperoleh dari jihad dimana beliau mempunyai bagian khusus dalam harta <i>ghaniimah</i>.<a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn37" name="_ftnref37_8146">[37]</a> <p>Hikmah dalam pembatasan penyebutan tombak dalam hadits di atas, bukan selainnya dari peralatan perang seperti pedang, karena adat kebiasaan yang berlaku pada mereka saat itu bahwa bendera/panji peperangan diletakkan di ujung tombak. Maka ketika bayangan tombak menjadi sempurna (karenanya), penisbatan keberadaan rizki padanya pun menjadi lebih sesuai.<a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn38" name="_ftnref38_8146">[38]</a> <p>Nabi <i>shallallaahu ‘alaihi wa sallam </i>juga mengkhabarkan bahwa kerendahaan dan kehinaan itu ada pada orang yang menyelisihi perkara yang beliau bawa. Itulah makna kerendahan/kehinaan secara <i>maknawiy</i>. Adapun secara <i>hissiy</i> (kongkret), maka kehinaan itu diwujudkan dengan pembayaran <i>jizyah</i> (orang kafir <i>dzimmiy</i>)<i> </i>kepada kaum muslimin. <p>Sabda beliau <i>shallallaahu ‘alaihi wa sallam</i> : <p>مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ <p><i>“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka</i>” <p>menunjukkan siapa saja yang berusaha meniru-niru/menyerupai seseorang, maka ia seperti orang yang ia serupai dalam keadaan dan tempat kembalinya. <p>Barangsiapa yang menyerupai orang-orang shaalih, maka orang itu pun shaalih dan akan dikumpulkan (kelak) bersama mereka. Dan begitu juga sebaliknya bagi orang yang menyerupai orang-orang kafir atau fasiq.<a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn39" name="_ftnref39_8146">[39]</a> <p>Al-Munaawiy <i>rahimahullah </i>berkata : <p>وقيل المعنى : من تشبه بالصالحين وهو من أتباعهم يكرم كما يكرمون، ومن تشبه بالفساق يهان ويخذل كهم، ومن وضع عليه علامة الشرف أكرم وإن لم يتحقق شرفه، وفيه أن من تشبه من الجن بالحيات وظهر بصورتهم قتل.... <p>“Dikatakan maknanya adalah : barangsiapa yang menyerupai orang-orang shaalih, maka ia termasuk orang yang mengikuti mereka. Ia pun dimuliakan sebagaimana orang-orang shaalih itu dimuliakan. Barangsiapa yang menyerupai orang-orang fasiq, maka akan dihinakan dan direndahkan sebagaimana mereka (dimuliakan dan direndahkan). Dan barangsiapa yang diletakkan padanya tanda-tanda kehormatan, ia lebih mulia meskipun kehormatannya itu tidak kelihatan. Dalam hadits itu juga terdapat faedah : barangsiapa menyerupai ular dan nampak dalam bentuknya (seperti ular) dari kalangan jin, boleh dibunuh….”.<a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn40" name="_ftnref40_8146">[40]</a> <p>Ash-Shan’aaniy <i>rahimahullah </i>berkata : <p>والحديث دال على أن من تشبه بالفساق كان منهم أو بالكفار أو بالمبتدعة في أي شيء مما يختصمون به من ملبوس أو مركوب أو هيئة... <p>“Hadits tersebut menunjukkan bahwa siapa saja yang menyerupai orang-orang fasiq, maka ia termasuk golongan mereka. Atau menyerupai orang-orang kafir atau <i>mubtadi’ </i>(pelaku bid’ah) dalam hal apa saja yang menjadi kekhususan mereka dengannya dalam gaya berpakaian, berkendaraan, atau gaya/tata cara yang lainnya….”.<a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn41" name="_ftnref41_8146">[41]</a> <p>Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah berkata : <p>هذا الحديث أقل أحواله أن يقتضي تحريم التشبه بأهل الكتاب، وإن كان ظاهره كفر المتشبه بهم.... <p>“Minimal, hadits ini menetapkan adanya keharaman <i>tasyabbuh</i> kepada Ahlul-Kitaab, meskipun pada dhahirnya (dapat) mengkafirkan orang yang bertasyabbuh kepada mereka…”.<a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn42" name="_ftnref42_8146">[42]</a> <p>Perbuatan <i>tasyabbuh </i>dapat terjadi dalam perkara-perkara hati seperti keyakinan (<i>i’tiqad</i>) dan kehendak; dan bisa juga dalam perkara-perkara lahiriyah seperti berbagai macam ibadah dan kebiasaan.<a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftn43" name="_ftnref43_8146">[43]</a> <p><i>Wallaahu a’lam bish-shawwaab</i>. <p>Itu saja yang dapat dituliskan. Semoga yang sedikit ini ada manfaatnya. <p>[abu al-jauzaa’, jokja, awal tahun baru masehi 2011]. <hr align="left" size="1" width="33%"> <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref1" name="_ftn1_8146">[1]</a> حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ ثَابِتٍ، حَدَّثَنَا <u>حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ</u>، عَنْ أَبِي مُنِيبٍ الْجُرَشِيِّ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: " مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ " <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref2" name="_ftn2_8146">[2]</a> حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَزِيدَ يَعْنِي الْوَاسِطِيَّ، أَخْبَرَنَا ابْنُ ثَوْبَانَ، عَنْ <u>حَسَّانَ بْنِ عَطِيَّةَ</u>، عَنْ أَبِي مُنِيبٍ الْجُرَشِيِّ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: " بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ " <p>حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ ثَابِتِ بْنِ ثَوْبَانَ، <u>حَدَّثَنَا حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ</u>، عَنْ أَبِي مُنِيبٍ الْجُرَشِيِّ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: " بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيْ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ" <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref3" name="_ftn3_8146">[3]</a> حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ ثَابِتِ بْنِ ثَوْبَانَ، حَدَّثَنَا <u>حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ</u>، عَنْ أَبِي مُنِيبٍ الْجُرَشِيِّ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: " بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيْ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذُّلُّ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ" <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref4" name="_ftn4_8146">[4]</a> حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ ثَوْرٍ الْجُذَامِيُّ، قَالَ: ثنا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ الْفِرْيَابِيُّ، ح وَحَدَّثَنَا أَبُو زُرْعَةَ الدِّمَشْقِيُّ، ثنا عَلِيُّ بْنُ عَيَّاشٍ الْحِمْصِيُّ، ح وَحَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَزِيزٍ الْمَوْصِلِيُّ، ثنا غَسَّانُ بْنُ الرَّبِيعِ، قَالُوا: ثنا ابْنُ ثَوْبَانَ، عَنْ <u>حَسَّانَ بْنِ عَطِيَّةَ</u>، عَنْ أَبِي مُنِيبٍ الْجُرَشِيِّ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: " بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَتِ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَنِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ " – 216. <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref5" name="_ftn5_8146">[5]</a> حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ ثَابِتِ بْنِ ثَوْبَانَ، قَالَ: حَدَّثَنِي <u>حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ</u>، عَنْ أَبِي مُنِيبٍ الْجُرَشِيِّ،عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: " بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ مَعَ السَّيْفِ، وَجُعِلَ رِزْقِي فِي ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذُّلُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ". <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref6" name="_ftn6_8146">[6]</a> حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ ثَوْبَانَ، حَدَّثَنَا <u>حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ</u>، عَنْ أَبِي مُنِيبٍ الْجُرَشِيِّ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: " بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا يُشْرَكَ بِهِ شَيْءٌ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تشبه بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ". <p>حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ ثَابِتٍ، قَالَ: <u>حَدَّثَنَا حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ</u>، عَنْ أَبِي مُنِيبٍ الْجُرَشِيِّ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: " إنَّ اللَّهَ جَعَلَ رِزْقِي تَحْتَ رُمْحِي وَجَعَلَ الذِّلَّةَ وَالصَّغَارَ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، مَنْ تشبه بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ " – 12/531. <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref7" name="_ftn7_8146">[7]</a> وَقَالَ أَبُو يَعْلَى الْمَوْصِلِيُّ: ثنا زُهَيْرٌ، ثنا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، ثنا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ ثَابِتِ بْنِ ثَوْبَانَ، ثنا <u>حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ</u>، عَنْ أَبِي مُنِيبٍ الْحَارِثِ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: " بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيَّ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ، حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لَا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجَعَلَ الذِّلَّةَ وَالصَّغَارَ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ". <p>قَالَ أَبُو يَعْلَى الْمَوْصِلِيُّ: ثنا زُهَيْرٌ، ثنا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، ثنا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ ثَابِتِ بْنِ ثَوْبَانَ، ثنا <u>حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ</u>، عَنْ أَبِي مُنِيبٍ الْجَرْشِيِّ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: " بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ تَعَالَى وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَجَعَلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجَعَلَ الذِّلَّةَ وَالصَّغَارَ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ". قَالَ: وثنا إِسْحَاقُ بْنُ أَبِي إِسْرَائِيلَ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ يَزِيدَ، ثنا ابْنُ ثَوْبَانَ فَذَكَرَهُ.. <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref8" name="_ftn8_8146">[8]</a> نا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُعَاوِيَةَ الْقَيْسَرَانِيُّ، نا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ الْفِرْيَابِيُّ، نا ابْنُ ثَوْبَانَ، عَنْ <u>حَسَّانَ بْنِ عَطِيَّةَ</u>، عَنْ أَبِي مُنِيبٍ الْجُرَشِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: " بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهَ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذُّلُّ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهو مِنْهُمْ. <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref9" name="_ftn9_8146">[9]</a> حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْوَرَّاقُ، نَا غَسَّانُ بْنُ الرَّبِيعِ، نَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ ثَابِتِ بْنِ ثَوْبَانَ، عَنْ <u>حَسَّانِ بْنِ عَطِيَّةَ</u>، عَنْ أَبِي مُنِيبٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: " بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَنِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ، فَهُوَ مِنْهُمْ ". <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref10" name="_ftn10_8146">[10]</a> أَخْبَرَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ الأَصْبَهَانِيُّ، أنا أَبُو سَعِيدِ ابْنُ الأَعْرَابِيِّ، ثنا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُعَاوِيَةَ الْقَيْسَرَانِيُّ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ الْفِرْيَابِيُّ، ثنا ابْنُ ثَوْبَانَ. ح وَأَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، ثنا أَبُو الْعَبَّاسِ الأَصَمُّ، ثنا الْحَسَنُ بْنُ الْمُكَرَّمِ، ثنا أَبُو النَّضْرِ، ثنا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ ثَابِتِ بْنِ ثَوْبَانَ، ثنا <u>حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ</u>، عَنْ أَبِي مُنِيبٍ الْجُرَشِيِّ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: " بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ، حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ". <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref11" name="_ftn11_8146">[11]</a> وَأَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَخْبَرَنَا زَاهِرُ بْنُ أَحْمَدَ الْفَقِيهُ، حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ الْجَعْدِ، أَخْبَرَنَا ابْنُ عَسْكَرٍ، حَدَّثَنَا الْفِرْيَابِيُّ، وَعَلِيُّ بْنُ عَيَّاشٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا ابْنُ ثَوْبَانَ، عَنْ <u>حَسَّانِ بْنِ عَطِيَّةَ</u>، عَنْ أَبِي مُنِيبٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: " بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَّبَهَ بَقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ". <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref12" name="_ftn12_8146">[12]</a> وَنَا أَبُو الْحُسَيْنِ عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْمُعَدِّلُ، إِمْلاءً، وَأَنَا الْحَسَنُ بْنُ أَبِي بَكْرٍ، قِرَاءَةً عَلَيْهِ، قَالا: أنا أَبُو عُمَرَ الزَّاهِدُ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْوَاحِدِ، نا مُوسَى بْنُ سَهْلٍ الْوَشَّاءُ، أنا أَبُو النَّضْرِ، نا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ ثَابِتِ بْنِ ثَوْبَانَ، نا <u>حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ،</u> عَنْ أَبِي مُنِيبٍ الْجُرَشِيِّ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: " بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ، حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وَجَعَلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجَعَلَ الذُّلَّ وَالصَّغَارَ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي،وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ". <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref13" name="_ftn13_8146">[13]</a> أَخْبَرَنَا أَبُو الْحُسَيْنِ عَلِيُّ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ الْوَلِيدِ الْمُرِّيُّ الْمُقْرِئُ، ثنا أَبُو الْقَاسِمِ أَخْطَلُ بْنُ الْحَكَمِ بْنِ جَابِرٍ الْقُرَشِيُّ، ثنا الْفِرْيَابِيُّ، ثنا ابْنُ ثَوْبَانَ، عَنْ <u>حَسَّانَ بْنِ عَطِيَّةَ</u>، عَنْ أَبِي مُنِيبٍ الْجُرَشِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: " بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذُّلُّ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ". <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref14" name="_ftn14_8146">[14]</a> وقد أخبرنا ابن الحسين نا بن المذهب نا احمد بن جعفر ثنا عبد الله بن احمد ثنى أبي ثنا أبو النصر ثنا عبد الرحمن بن ثابت بن ثوبان ثنا <u>حسان بن عطية</u> عن أبي منيب الحرسي عن ابن عمر قال قال رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "من تشبه بقوم فهو منهم" <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref15" name="_ftn15_8146">[15]</a> ثنا مُحَمَّدٌ قَالَ: ثنا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْهَيْثَمِ قَالَ: ثنا عَلِيُّ بْنُ عَيَّاشٍ، قَالَ: ثنا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ ثَابِتِ بْنِ ثَوْبَانَ، عَنْ <u>حَسَّانِ بْنِ عَطِيَّةَ</u>، عَنْ أَبِي مُنِيبٍ الْجُرَشِيِّ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَتِ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ".. <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref16" name="_ftn16_8146">[16]</a> أَخْبَرَنَا بِهِ أبو الفرج بن قدامة، وأَبُو الْغَنَائِمِ بْنُ عَلانَ، وأحمد بن شيبان، قَالُوا: أَخْبَرَنَا حنبل، قال: أَخْبَرَنَا ابْنُ الْحُصَيْنِ، قال: أَخْبَرَنَا ابن المذهب، قال: أَخْبَرَنَا الْقَطِيعِيُّ، قال: حَدَّثَنَا عبد الله بن أحمد، قال: حَدَّثَنِي أَبِي، قال: حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ، قال: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ ثَابِتِ بْنِ ثَوْبَانَ، قال: حَدَّثَنَا <u>حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ</u>، عَنْ أَبِي مُنِيبٍ الْجُرَشِيِّ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قال: قال رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم: " بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيِّ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ رُمْحِي، وجُعِلَ الذُّلُّ والصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، ومَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ". <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref17" name="_ftn17_8146">[17]</a> قَرَأْتُ عَلَى أَحْمَدَ بْنِ إِسْحَاقَ الزَّاهِدِ، أَنْبَأَنَا ظَفْرُ بْنُ سَالِمٍ بِبَغْدَادَ سَنَةَ عِشْرِينَ وَسِتِّ مِائَةٍ، أَخْبَرَنَا هِبَةُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ الشِّبْلِيُّ سَنَةَ 557، أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ أَبِي عُثْمَانَ، أَخْبَرَنَا أَبُو الْحُسَيْنِ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ الْقَاسِمِ سَنَةَ سَبْعٍ وَأَرْبَعِ مِائَةٍ، حَدَّثَنَا أَبُو عُمَرَ غُلَامُ ثَعْلَبٍ، حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ سَهْلٍ الْوَشَّاءُ، حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ ثَابِتِ بْنِ ثَوْبَانَ، حَدَّثَنَا <u>حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ</u>، عَنْ أَبِي مُنِيبٍ الْجُرَشِيِّ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: " بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ، حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ، لا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذُّلُّ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ". إِسْنَادُهُ صَالِحٌ. <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref18" name="_ftn18_8146">[18]</a> قَرَأْتُهُ تَامًّا عَلَى إِبْرَاهِيمَ بْنِ أَحْمَدَ بْنِ الْحَرِيرِيِّ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ يُوسُفَ بْنِ مَكْتُومٍ، وَغَيْرِ وَاحِدٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ بْنِ اللَّتِّيِّ أَخْبَرَهُمْ، أنا عَبْدُ الأَوَّلِ بْنُ عِيسَى، أنا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مُحَمَّدٍ الدَّاوُدِيُّ، أنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ أَعْيَنَ، أنا إِبْرَاهِيمُ بْنُ خُرَيْمِ بْنِ قَمَرٍ، أنا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، حَدَّثَنِي سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ هُوَ الطَّيَالِسِيُّ،، قَالا: ثنا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ ثَابِتِ بْنِ ثَوْبَانَ. ح وَقَرَأْتُهُ عَلَى فَاطِمَةَ بِنْتِ، أَخْبَرَكُمْ أَحْمَدُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ، عَنْ يَاسَمِينَ بِنْتِ الْبَيْطَارِ، أَنَّ هِبَةَ اللَّهِ بْنَ الشِّبْلِيِّ أَخْبَرَهُمْ، أنا أَبُو الْغَنَائِمِ بْنُ الْمُنْتَابِ، أنا أَبُو الْحُسَيْنِ الضَّبِّيُّ، ثنا أَبُو عُمَرَ الزَّاهِدُ غُلامُ تَغْلِبَ، ثنا مُوسَى بْنُ سَهْلٍ، ثنا أَبُو النَّضْرِ، ثنا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ ثَابِتِ بْنِ ثَوْبَانَ، عَنْ <u>حَسَّانِ بْنِ عَطِيَّةَ</u>، عَنْ أَبِي مُنِيبٍ الْجُرْشِيِّ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ مَعَ السَّيْفِ "، وزاد أبو النضر: " حتى يعبد الله وحده لا شريك له " ثم اتفقوا: " وجعل رزقي تحت ظل رمحي، وجعل الذلة والصغار على من خالف أمري، ومن تشبه بقوم فهو منهم ". <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref19" name="_ftn19_8146">[19]</a> حَدَّثَنَا أَبُو أُمَيَّةَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ وَهْبِ بْنِ عَطِيَّةَ، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، حَدَّثَنَا الأَوْزَاعِيُّ، عَنْ <u>حَسَّانَ بْنِ عَطِيَّةَ</u>، عَنْ أَبِي مُنِيبٍ الْجُرَشِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ عَلَيْهِ السَّلامُ: " بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ لِيُعْبَدَ اللَّهُ صلى الله عليه وسلم وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذُّلُّ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَنِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ".. <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref20" name="_ftn20_8146">[20]</a> حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْمُعَلَّى بْنِ يَزِيدَ، قَالَ: حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، وَعَمْرُو بْنُ عُثْمَانَ، وَكَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ، قَالُوا: حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا الأَوْزَاعِيُّ، عَنْ <u>حَسَّانَ بْنِ عَطِيَّةَ</u>، عَنْ أَبِي الْمُنِيبِ الْجُرَشِيِّ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: " إِنَّ اللَّهَ بَعَثَنِي بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ لا يُشْرَكَ بِهِ، وَجَعَلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجَعَلَ الذُّلَّ وَالصَّغَارَ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ". <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref21" name="_ftn21_8146">[21]</a> حَدَّثَنَا <u>مُحَمَّدُ بْنُ مَرْزُوقٍ</u>، قَالَ: أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ الْخَطَّابِ، قَالَ: أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ غُرَابٍ، قَالَ: أَخْبَرَنَا هِشَامُ بْنُ حَسَّانَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَ بْنِ حُذَيْفَةَ، عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: " مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ "،. <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref22" name="_ftn22_8146">[22]</a> حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ زَكَرِيَّا، <u>ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَرْزُوقٍ</u>، نا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ الْخَطَّابِ، ثَنَا عَلِيُّ بْنُ غُرَابٍ، عَنْ هِشَامِ بْنِ حَسَّانٍ، عَنِ ابْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَ بْنِ حُذَيْفَةَ، عَنْ أَبِيهِ، أَنّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: " مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ". <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref23" name="_ftn23_8146">[23]</a> حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ إِسْحَاقَ، ثَنَا أَبِي، ثَنَا عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ، ثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَالِمٍ، عَنِ الزُّبَيْدِيِّ، ثَنَا نُمَيْرُ بْنُ أَوْسٍ، أَنَّ حُذَيْفَةَ بْنَ الْيَمَانِ، كَانَ يَرُدُّهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: " مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ". <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref24" name="_ftn24_8146">[24]</a> أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ الْحَافِظُ، أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ يَعْقُوبَ الْحَجَّاجِيُّ، أَخْبَرَنَا سَعِيدُ بْنُ هَاشِمِ بْنِ مِرْثَدٍ، أَنَّ دُحَيْمًا حَدَّثَهُمْ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ أَبِي سَلَمَةَ، حَدَّثَنَا صَدَقَةُ، عَنِ <u>الْأَوْزَاعِيِّ</u>، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: " بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذُّلُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَنِي، وَمَنْ تَشَّبَهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ". <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref25" name="_ftn25_8146">[25]</a> حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، ثنا ابْنُ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ <u>الأَوْزَاعِيِّ</u>، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: " إِنَّ اللَّهَ تعالى بَعَثَنِي بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، وَجَعَلَ رِزْقِي فِي ظِلِّ رُمْحِي، وَجَعَلَ الذُّلَّ وَالصَّغَارَ عَلَى مَنْ خَالَفَنِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ". <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref26" name="_ftn26_8146">[26]</a> أَخْبَرَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ اللَّتِّيِّ، أَخْبَرَنَا أَبُو الْوَقْتِ، أَخْبَرَنَا أَبُو إِسْمَاعِيلَ، أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ الْحَافِظُ، أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْحَجَّاجِيُّ، أَخْبَرَنَا سَعِيدُ بْنُ هَاشِمٍ، حَدَّثَنَا دُحَيْمٌ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ أَبِي سَلَمَةَ، حَدَّثَنَا صَدَقَةُ، عَنِ <u>الأَوْزَاعِيِّ</u>، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: " بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذُّلُّ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ". <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref27" name="_ftn27_8146">[27]</a> حَدَّثَنَا أَبُو ذَوَالَةَ، حَدَّثَنِي أَبِي عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مَرْوَانَ، عَنْ جَدِّهِ أَبَانِ بْنِ سُلَيْمَانَ بْنِ مَالِكٍ اللَّيْثِيِّ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: " مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ، وَمَنْ أَحَبَّ قَوْمًا حُشِرَ مَعَهُمْ ". <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref28" name="_ftn28_8146">[28]</a> وَحَدَّثَنِيهِ عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ بْنِ مُحَمَّدٍ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ السُّرِّيِّ الْبَوْسَنْجِيُّ، حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عُفَيْرٍ، حَدَّثَنَا الْحَجَّاجُ بْنُ يُوسُفَ بْنِ قُتَيْبَةَ، حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْحُسَيْنِ، عَنِ الزُّبَيْرِ بْنِ عَدِيٍّ، عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: " جُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذُّلُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ". <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref29" name="_ftn29_8146">[29]</a> حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرِ بْنِ يُوسُفَ، ثنا أَبُو الْعَبَّاسِ أَحْمَدُ بْنُ مَحْمُودِ بْنِ صُبَيْحٍ، ثنا الْحَجَّاجُ بْنُ يُوسُفَ بْنِ قُتَيْبَةَ، ثنا بِشْرُ بْنُ الْحُسَيْنِ الأصبهانيُّ، ثنا الزُّبَيْرُ بْنُ عَدِيٍّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: " بُعِثْتُ بَيْنَ يَدِيِ السَّاعَةِ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذُّلُّ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَنِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ لِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ". <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref30" name="_ftn30_8146">[30]</a> حدثنا سعيد قال : نا إسماعيل بن عياش ، عن أبي عمير الصوري ، عن الحسن ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « إن الله بعثني بسيفي بين يدي الساعة ، وجعل رزقي تحت ظل رمحي ، وجعل الذل والصغار على من خالفني ، ومن تشبه بقوم فهو منهم » <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref31" name="_ftn31_8146">[31]</a> عَنِ الأَوْزَاعِيِّ، قَالَ: حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ جَبَلَةَ، قَالَ: حَدَّثَنِي طَاوُسٌ الْيَمَانِيُّ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: " إِنَّ اللَّهَ بَعَثَنِي بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، وَجَعَلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجَعَلَ الذُّلَّ وَالصَّغَارَ عَلَى مَنْ خَالَفَنِي، وَمَنْ تشبه بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ". <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref32" name="_ftn32_8146">[32]</a> أَخْبَرَنا أَبُو الْقَاسِمِ الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدٍ الأَنْبَارِيُّ، ثنا أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ مِسْوَرٍ، ثنا مِقْدَامٌ، ثنا عَلِيُّ بْنُ مَعْبَدٍ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ، عَنِ <u>الأَوْزَاعِيِّ</u>، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جَبَلَةَ، قَالَ: حَدَّثَنِي طَاوُسٌ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: " مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ". <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref33" name="_ftn33_8146">[33]</a> حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ، عَنِ <u>الْأَوْزَاعِيِّ</u>، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جَبَلَةَ، عَنْ طَاوُسٍ، أَنّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: " إنَّ اللَّهَ بَعَثَنِي بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذُّلُّ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَنِي وَمَنْ تشبه بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ " – 5/313. <p>حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ، عَنِ <u>الْأَوْزَاعِيِّ</u>، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جَبَلَةَ، عَنْ طَاوُسٍ، أَنّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: " إنَّ اللَّهَ بَعَثَنِي بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، وَجَعَلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجَعَلَ الذُّلَّ وَالصَّغَارَ عَلَى مَنْ خَالَفَنِي، وَمَنْ تشبه بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ "، حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنِ الْأَوْزَاعِيِّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جَبَلَةَ، عَنْ طَاوُسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ثُمَّ ذَكَرَ مِثْلَهُ - 12/351. <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref34" name="_ftn34_8146">[34]</a> Saya ambil dari buku <i>At-Tasyabbuh Al-Manhiy fil-Fiqhil-Islaamiy </i>oleh Jamiil bin Habiib Al-Luwaihiq, hal. 28-29; thesis Fakultas Syari’ah, Univeristas Ummyl-Qurra’, tahun 1417 H. <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref35" name="_ftn35_8146">[35]</a> Lihat : <i>Al-Fathur-Rabbaaniy li-Tartiibi Musnad Al-Imaam Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibaaniy</i>bersama dengan <i>syarh</i>-nya : <i>Buluughul-Amaaniy</i>; keduanya merupakan tulisan Ahmad bin ‘Abdirrahmaan Al-Bannaa, Daaru Ihyaa At-Turaats Al-‘Arabiy, Beirut, 22/40. <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref36" name="_ftn36_8146">[36]</a> Lihat : <i>Fathul-Baariy</i> 6/. <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref37" name="_ftn37_8146">[37]</a> Lihat : <i>Al-Fathur-Rabbaaniy </i>22/40. <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref38" name="_ftn38_8146">[38]</a> Lihat : <i>Fathul-Baariy </i>oleh Ibnu Hajar, 6/98. <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref39" name="_ftn39_8146">[39]</a> Lihat : <i>Al-Fathur-Rabbaaniy</i> oleh Al-Bannaa 22/40. <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref40" name="_ftn40_8146">[40]</a> <i>Faidlul-Qadiir </i>oleh Al-Munaawiy, 6/104. <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref41" name="_ftn41_8146">[41]</a> <i>Subulus-Salaam </i>oleh Ash-Shan’aaniy, 4/347. <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref42" name="_ftn42_8146">[42]</a> <i>Iqtidlaa’ Ash-Shiraathil-Mustaqiim </i>oleh Ibnu Taimiyyah, 1/237. <p><a href="file:///D:/Islam/Internet/Takhrij%20Hadits%20%E2%80%9CBarangsiapa%20yang%20Menyerupai%20Suatu%20Kaum,%20Maka%20Ia%20Termasuk%20Golongan%20Mereka%E2%80%9D.docx#_ftnref43" name="_ftn43_8146">[43]</a> Lihat : <i>Faidlul-Qadiir </i>oleh Al-Munaawiy, 6/104. <p> </p> <p>Sumber :</p> <p><a href="http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/01/takhrij-hadits-barangsiapa-yang.html">http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/01/takhrij-hadits-barangsiapa-yang.html</a></p> Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5082219385398894338.post-21887038332635630972012-08-24T09:30:00.001+07:002012-08-24T09:30:21.254+07:00CADAR<p>Menutup wajah dan kedua tangan bagi wanita, <p>Berdasarkan hadits Ibnu Umar, bahwa Nabi SAW bersabda, “Bagi wanita yang berihram tidak boleh memakai niqab (penutup muka/cadar) dan kaos tangan.” (HR Bukhari, Abu Dawud, An-Nasa’i, Tirmidzi). <p><img style="display: inline; margin-left: 0px; margin-right: 0px" align="left" src="https://encrypted-tbn2.google.com/images?q=tbn:ANd9GcQ2EyIToTR4Db1LWF5yrEQhhcZN6IkFE2pEE83kxgiQKkk_8c_-"> <p>Diantara hadits-hadits lain yang menunjukkan hal ini ialah <p>yang diriwayatkan dalam ash-Shahih dari Jabir bin Abdullah, <p>dia berkata: Saya hadir bersama Rasulullah saw. pada hari <p>raya (Id), lalu beliau memulai shalat sebelum khutbah .... <p>Kemudian beliau berjalan hingga tiba di tempat kaum wanita, <p>lantas beliau menasihati dan mengingatkan mereka seraya <p>bersabda: "Bersedekahlah kamu karena kebanyakan kamu adalah <p>umpan neraka Jahanam." Lalu berdirilah seorang wanita yang <p>baik yang kedua pipinya berwarna hitam kemerah-merahan, lalu <p>ia bertanya, "Mengapa, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: <p>"Karena kamu banyak mengeluh dan mengkufuri pergaulan <p>(dengan suami)." <p>Jabir berkata, "Lalu mereka menyedekahkan perhiasan mereka, <p>melemparkan anting-anting dan cincin mereka ke pakaian <p>Bilal." <p>Maka, dari manakah Jabir mengetahui bahwa pipi wanita itu <p>hitam kemerah-merahan kalau wajahnya tertutup dengan cadar? <p>Selain itu, Imam Bukhari juga meriwayatkan kisah shalat Id <p>dari Ibnu Abbas, bahwa dia menghadiri shalat Id bersama <p>Rasulullah saw., dan beliau berkhutbah sesudah shalat, <p>kemudian beliau datang kepada kaum wanita bersama Bilal <p>untuk menasihati dan mengingatkan mereka serta menyuruh <p>mereka bersedekah. Ibnu Abbas berkata, "Maka saya lihat <p>mereka mengulurkan tangan mereka ke bawah dan melemparkan <p>(perhiasannya) ke pakaian Bilal." <p>Ibnu Hazm berkata, "Ibnu Abbas di sisi Rasulullah saw. <p>melihat tangan wanita-wanita itu. Maka benarlah bahwa tangan <p>dan wajah wanita itu bukan aurat."15 <p>Hadits itu juga diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Daud dan <p>lafal ini adalah lafal Abu Daud dari Jabir: <p>"Bahwa Nabi saw. berdiri pada hari raya Idul Fitri, lalu <p>beliau melakukan shalat sebelum kbutbah, kemudian beliau <p>mengkhutbahi orang banyak. Setelah selesai kbutbah, Nabi <p>saw. turun, lalu beliau mendatangi kaum wanita seraya <p>mengingatkan mereka, sambil bertelekan pada tangan Bilal,' <p>dan Bilal membentangkan pakaiannya tempat kaum wanita <p>melemparkan sedekah." Jabir berkata "Seorang wanita <p>melemparkan cincinnya yang besar dan tidak bermata, dan <p>wanita-wanita lain pun melemparkann sedekahnya."16 <p>Abu Muhammad bin Hazm berkata, "Al-Fatakh ialah <p>cincin-cincin besar yang biasa dipakai oleh kaum wanita pada <p>jari-jari mereka seandainya mereka tidak membuka <p>tangan-tangan mereka maka tidak mungkin mereka dapat melepas <p>dan melemparkan cincin-cincin itu."17 <p>Diantaranya lagi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan <p>Muslim dari Aisyah r.a., ia berkata, "Wanita-wanita mukminah <p>menghadiri shalat subuh bersama Nabi saw. sambil <p>menyelimutkan selimut mereka. Kemudian mereka pulang ke <p>rumah masing-masing setelah selesai menunaikan shalat, <p>sedangkan mereka tidak dikenal (satu per satu) karena hari <p>masih gelap." <p>Mafhum riwayat ini menunjukkan bahwa wanita-wanita itu dapat <p>dikenal jika hari tidak gelap, dan mereka itu hanya dapat <p>dikenal apabila wajah mereka terbuka. <p><b>Para Sahabat Memandang Aneh Memakai Cadar</b> <p>Diperoleh keterangan dalam Sunnah yang menunjukkan bahwa <p>apabila pada suatu waktu ada wanita yang memakai cadar, maka <p>hal itu dianggap aneh, menarik perhatian, dan menimbulkan <p>pertanyaan, <p>Abu Daud meriwayatkan dari Qais bin Syamas r.a., ia berkata, <p>"Seorang wanita yang bernama Ummu Khalad datang kepada Nabi <p>saw. sambil memakai cadar (penutup muka) untuk menanyakan <p>anaknya yang terbunuh. Lalu sebagian sahabat Nabi berkata <p>kepadanya, 'Anda datang untuk menanyakan anak Anda sambil <p>memakai cadar?' Lalu dia menjawab, 'Jika aku telah <p>kehilangan anakku, maka aku tidak kehilangan perasaan maluku <p>..."19 <p>Jika cadar itu sudah menjadi kebiasaan pada waktu itu, maka <p>tidak perlulah si perawi mengatakan bahwa dia datang dengan <p>"memakai cadar," dan tidak ada artinya pula keheranan para <p>sahabat dengan mengatakan, "Anda datang untuk menanyakan <p>anak Anda sambil memakai cadar?" <p>Bahkan dari jawaban wanita itu menunjukkan bahwa perasaan <p>malunyalah yang mendorongnya memakai cadar, bukan karena <p>perintah Allah dan Rasul-Nya. Dan seandainya cadar itu <p>diwajibkan oleh syara', maka tidak mungkin ia menjawab <p>dengan jawaban seperti itu, bahkan tidak mungkin timbul <p>pertanyaan dari para sahabat dengan pertanyaan seperti itu, <p>karena seorang muslim tidak akan menanyakan, "Mengapa dia <p>melakukan shalat? Mengapa dia mengeluarkan zakat?" Dan telah <p>ditetapkan dalam kaidah, "Apa yang sudah ada dasarnya tidak <p>perlu ditanyakan 'illat-nya." <p>"... dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu <p>dalam agama suatu kesempitan ..." (al-Hajj: 78) <p>"... Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak <p>menghendaki kesukaran bagimu..." (al-Baqarah: 185) <p>"...Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia <p>dijadikan bersifat lemah." (an-Nisa': 28) <p>Rasulullah saw. bersabda: <p>"Aku diutus dengan membawa agama yang lembut dan lapang <p>(toleran). ,' (HR Imam Ahmad dalam Musnadnya) <p> <p>Sumber : <p><a href="http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Kontemporer/CadarWajib3.html">http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Kontemporer/CadarWajib3.html</a> <p><a href="http://ngajiyok.blogspot.com/2012/08/menghapus-keraguan-tentang-hukum.html">http://ngajiyok.blogspot.com/2012/08/menghapus-keraguan-tentang-hukum.html</a> <p><a href="http://www.jurnalhaji.com/rukun-haji/hal-hal-yang-terlarang-ketika-ihram.html">http://www.jurnalhaji.com/rukun-haji/hal-hal-yang-terlarang-ketika-ihram.html</a> Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5082219385398894338.post-6562302450062431942012-08-24T09:21:00.001+07:002012-08-24T09:21:37.691+07:00PAKAIAN WANITA : HITAM ATAU BERWARNA?<p>Allah Ta'ala berfirman: <br><em><font size="3" face="Vivaldi">“Wahai anak adam, sesungguhnya kami telah menurunkan kepada kalian untuk menutupi aurat kalian dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda keku asaan Allah. Mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (Al-A’raf:26)</font></em></p> <p><em></em> </p> <p>Allah Ta'ala berfirman lagi: <br><em><font size="3" face="Vivaldi">“Dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang telah Dia ciptakan, dan Dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-gunung, dan Dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan. Demikianlah Allah menyempurnakan nikmat-Nya atasmu agar kamu berserah diri (kepada-Nya).”(</font>QS. 16:81)</em></p> <p>Saya pernah baca dari beberapa postingan bahwa sesuai syar’i pakaian wanita muslimah itu harus berwarna hitam. Benarkah demikian? Saya cari tahu hadis-hadis yang bersangkutan, ternyata saya menemukan beberapa hadis sbb :</p> <ul> <li>Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata: Rasulullah SAW, bersabda: “Pakailah pakaian berwarna putih! Karena itu adalah sebaikbaiknya pakaian. Dan kafanilah orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan kain putih.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)</li> <li>Dari Sumurah ra., ia berkata: Rasulullah SAW, bersabda: “Pakailah pakaian berwarna putih. Karena pakaian putih adalah pakaian yang paling suci dan paling baik. Dan kafanilah orang yang meninggal di antara kalian dengan kain putih!” (HR. An-Nasa’I dan Al-Hakim)</li> <li>Dari Al-Barra bin Azib ra., ia berkata: “Tubuh Rasulullah SAW, berukuran sedang. Saya pernah melihat beliau mengenakan kain merah, dan belum pernah melihat orang yang lebih tampan dari beliau.” (HR. Bukhari dan Muslim)</li> <li>Dari Abu Juhaifah Wahab bin Abdullah ra., ia berkata: “Saya melihat Nabi SAW, di Mekkah. Beliau berada di Abthah dalam sebuah tenda berwarna merah terbuat dari kulit. Kemudian keluar dengan membawa tempat air wudhu’ Nabi SAW, ada orang yang membasahi diri dan ada yang hanya mengambil sedikit dari air wudhu’ itu. Nabi SAW, keluar dengan pakaian berwarna merah, terlihat putih betisnya. Beliau berwudhu’ dan Bilal beradzan, sayapun memperhatikan mulutnya yang ke kanan dan ke kiri sambil mengucapkan: “HAYYA ‘ALASH SHOLAAH” menoleh ke kanan, dan bila mengucapkan: “HAYYA ‘ALAL FALAAH” menoleh ke kiri. Kemudian ditancapkan tangkat di muka nabi SAW, dan beliaumelaksanakan sholat. Dan tiada anjing atau keledai lewat didepannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)</li></ul> <p> </p> <p><img style="display: inline; margin-left: 0px; margin-right: 0px" align="left" src="http://drmaza.com/home/wp-content/tudung2.jpg" width="165" height="240">Adapun pakaian wanita yang berwarna bukanlah satu kesalahan selagi warna itu secara lojik itu tidak membawa kepada pandangan yang serong ataupun buruk terhadap dirinya. Ini kerana wanita pada zaman Nabi s.a.w, bahkan isteri-isteri dan anak perempuan baginda juga memakai pakaian berwarna. Begitu banyak riwayat yang membuktikan hal tersebut. Antaranya apa yang disebut oleh Aishah bint Sa’d: <blockquote> <p>“Aku melihat enam dari isteri-isteri memakai pakaian mu’asfar (berwarna merah)” (Riwayat al-Baghawi dalam Syarh al-Sunnah)</p></blockquote> <p><em>Mu’asfar</em> bermaksud dicelup dengan<em> ‘usfur </em>iaitu sejenis tumbuhan yang menghasilkan warna merah. Said bin Jubair meriwayatkan bahawa beliau lihat sesetengah isteri Nabi s.a.w bertawaf di Kaabah memakai pakaian<em>mu’asfar </em>(Riwayat Ibn Abi Syaibah). ‘Umar bin Al-Khattab apabila melihat lelaki memakai warna mu’asfar, akan memarahi mereka dan berkata:<em> “Tinggalkan ini untuk wanita”</em> (al-Baghawi dalam Syarh al-Sunnah). <p>Dalam beberapa hadits atau atsar telah tetap bahwa sebagian kaum wanita shahabiyyat memakai pakaian berwarna selain warna hitam. Di antara hadits atau atsar tersebut adalah : <ol> <li>Warna hijau. <p>عن عكرمة أن رفاعة طلق امرأته فتزوجها عبد الرحمن بن الزبير القرظي قالت عائشة وعليها خمار أخضر فشكت إليها وأرتها خضرة بجلدها فلما جاء رسول الله صلى الله عليه وسلم والنساء ينصر بعضهن بعضا قالت عائشة ما رأيت مثل ما يلقى المؤمنات لجلدها أشد خضرة من ثوبها <p>Dari ’Ikrimah : Bahwasannya Rifa’ah menceraikan istrinya yang kemudian dinikahi oleh ’Abdurrahman bin Az-Zubair Al-Quradhy. ’Aisyah berkata : ”Dia memakai khimar yang berwarna hijau, akan tetapi ia mengeluh sambil memperlihatkan warna hijau pada kulitnya”. Ketika Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam tiba - dan para wanita menolong satu kepada yang lainnya - maka ’Aisyah berkata : ”Aku tidak pernah melihat kondisi yang terjadi pada wanita-wanita beriman, warna kulit mereka lebih hijau daripada bajunya (karena kelunturan)” [HR. Al-Bukhari no. 5487].</p> <li>Motif kecil-kecil warna hitam, hijau, dan kuning. <p>عن أم خالد بنت خالد أتى النبي صلى الله عليه وسلم بثياب فيها خميصة سوداء صغيرة فقال من ترون أن نكسو هذه فسكت القوم فقال ائتوني بأم خالد فأتي بها تحمل فأخذ الخميصة بيده فألبسها وقال أبلي واخلقي وكان فيها علم أخضر أو أصفر <p>Dari Ummu Khaalid binti Khaalid : ”Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam datang dengan membawa beberapa helai pakaian yang bermotif kecil warna hitam. Beliau berkata :<em>”Menurut kalian, siapa yang pantas untuk memakai baju ini ?”</em>. Semua diam. Beliau kemudian berkata : <em>”Panggil Ummu Khaalid”</em>. Maka Ummu Khaalid pun datang dengan dipapah. Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam mengambil pakain tersebut dengan tanggannya dan kemudian memakaikannya kepada Ummu Khaalid seraya berkata :<em>”Pakailah ini sampai rusak”</em>. Pakaian tersebut dihiasi dengan motif lain berwarna hijau atau kuning” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5485].</p> <li>Warna kuning <p>ولبست عائشة رضى الله تعالى عنها الثياب المعصفرة وهي محرمة <p>”Aisyah radliyallaahu ’anhaa memakai pakaian yang berwarna kuning ketika sedang ihram” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari secara <em>mu’allaq</em> yang kemudian di-<em>maushul</em>-kan oleh Sa’iid bin Manshuur dengan sanad shahih; lihat <em>Mukhtashar Shahih Al-Bukhari</em> 1/457 oleh Al-Albani. Hal yang serupa juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam <em>Al-Mushannaf, Kitaabul-Libaas waz-Ziinah</em> 8/372 dengan sanad shahih].</p> <li>Warna merah <p>عن إبراهيم وهوالنخعي أنه كان يدخل مع علقمة والأسود على أزواج النبي صلى الله عليه وسلم فيراهن في اللحف الحمر <p>"Dari Ibrahim (An-Nakha’i) bahwasannya ia bersama ’Alqamah dan Al-Aswad masuk menemui istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Maka ia melihat mereka mengenakan mantel berwarna merah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam <em>Al-Mushannaf, Kitaabul-Libaas waz-Ziinah</em> 8/371].</p></li></ol> <p> </p> <p>Sumber : <p><a href="http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/06/warna-pakaian-akhwat-hitamgelap.html">http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/06/warna-pakaian-akhwat-hitamgelap.html</a> <p><a href="http://tafsiranmanusia.blogspot.com/2012/05/nahl-81-100.html">http://tafsiranmanusia.blogspot.com/2012/05/nahl-81-100.html</a> <p><a href="http://bocahbancar.files.wordpress.com/2010/10/riyadus-shalihin-buku-02.pdf">http://bocahbancar.files.wordpress.com/2010/10/riyadus-shalihin-buku-02.pdf</a> <p><a href="http://drmaza.com/himpunan_fatwa/?p=70">http://drmaza.com/himpunan_fatwa/?p=70</a> <p><a href="http://pakfakih.wordpress.com/2011/10/10/pakaian-menurut-hadits/">http://pakfakih.wordpress.com/2011/10/10/pakaian-menurut-hadits/</a> <p><a href="http://fkimuikabogor.wordpress.com/2011/06/16/terjemahan-hadits-shahih-muslim-kitab-pakaian-dan-perhiasan-part-1/">http://fkimuikabogor.wordpress.com/2011/06/16/terjemahan-hadits-shahih-muslim-kitab-pakaian-dan-perhiasan-part-1/</a> <p><a href="http://islamic.net63.net/muslim/b37_pakaian_dan_perhiasan.htm">http://islamic.net63.net/muslim/b37_pakaian_dan_perhiasan.htm</a><pre>Fatwa-fatwa Kontemporer<br />Dr. Yusuf Qardhawi<br />Gema Insani Press</pre> Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5082219385398894338.post-88959568386554252282012-08-15T14:07:00.001+07:002012-08-15T19:58:19.085+07:00Benarkah Bentuk Semesta Seperti Sangkakala?REPUBLIKA.CO.ID, “Sebelum kiamat datang, apa yang sekarang di lakukan oleh malaikat Isrofil?” Mungkin yang ada di benak kita malaikat Isrofil itu seperti sesosok seniman yang asyik mengelap terompet kecilnya sebelum tampil diatas panggung. Sebenarnya seperti apa sih terompetnya atau yang biasa juga dikenal dengan sangkakala malaikat Isrofil itu?<br />
<br />
Sekitar enam tahun silam sekelompok ilmuwan yang dipimpin oleh Prof. Frank Steiner dari Universitas Ulm, Jerman melakukan observasi terhadap alam semesta untuk menemukan bentuk sebenarnya dari alam semesta raya ini sebab prediksi yang umum selama ini mengatakan bahwa alam semesta berbentuk bulat bundar atau prediksi lain menyebutkan bentuknya datar saja.<br />
<br />
Menggunakan sebuah peralatan canggih milik NASA yang bernama “Wilkinson Microwave Anisotropy Prob” (WMAP), mereka mendapatkan sebuah kesimpulan yang sangat mencengangkan karena menurut hasil penelitian tersebut alam semesta ini ternyata berbentuk seperti terompet.<br />
<br />
Di mana pada bagian ujung belakang terompet (alam semesta) merupakan alam semesta yang tidak bisa diamati (unobservable), sedang bagian depan, di mana bumi dan seluruh sistem tata surya berada merupakan alam semesta yang masih mungkin untuk diamati (observable).<br />
<br />
Para peneliti pun mengungkapnya seperti gambar di bawah ini:<br />
<br />
<br />
<br />
Red: Endah Hapsari<br />
<div class="separator"style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://lh4.googleusercontent.com/-Cw04NxEfBQs/UCtLPxlB84I/AAAAAAAACgs/AYtDbC-h3UM/s640/blogger-image-1073622382.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://lh4.googleusercontent.com/-Cw04NxEfBQs/UCtLPxlB84I/AAAAAAAACgs/AYtDbC-h3UM/s640/blogger-image-1073622382.jpg" /></a></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5082219385398894338.post-16276321109345157502012-08-15T13:54:00.001+07:002012-08-15T13:54:06.468+07:00Tubuh dalam kuburREPUBLIKA.CO.ID, Sesungguhnya mayat di dalam kubur akan melewati beberapa fase perubahan, dan inilah fase-fase sejak malam pertama masuk ke kuburan hingga 25 tahun setelahnya.<br />
<br />
Malam Pertama<br />
<br />
Di kuburan pembusukan dimulai pada daerah perut dan kemaluan. Subhanallah, perut dan kemaluan adalah dua hal terpenting yang anak cucu Adam ini saling bergulat dan menjaganya di dunia. Dua hajat, yang karenanya Allah azza wa jalla membuat manusia merugi di dunia akan membusuk pada malam pertamanya di kuburan. Setelah itu, mulailah jasad berubah warna menjadi hijau kehitaman. Setelah berbagai make up, dan alat-alat kecantikan membuatnya memiliki ragam pesona, nanti tubuh manusia hanya akan memiliki satu warna saja.<br />
<br />
Malam Kedua<br />
<br />
Di kuburan, mulailah anggota-anggota tubuh membusuk seperti limpa, hati, paru-paru dan lambung.<br />
<br />
Hari Ketiga<br />
<br />
Di kuburan, mulailah anggota-anggota tubuh itu mengeluatkan bau busuk tidak sedap.<br />
<br />
Seminggu Setelahnya<br />
<br />
Wajah mulai tampak membengkak, dua mata, kedua lisan dan pipi.<br />
<br />
Setelah 10 hari<br />
<br />
Tetap terjadi pembusukan pada kali ini pada anggota-anggota tubuh tersebut, perut, lambung, limpa..<br />
<br />
Setelah 2 Minggu<br />
<br />
Rambut mulai rontok<br />
<br />
Setelah 15 Hari<br />
<br />
Lalat hijau mulai bisa mencium bau busuk dari jarak 5 km, dan ulat-ulat pun mulai menutupi seluruh tubuhnya<br />
<br />
Setelah 6 Bulan<br />
<br />
Yang tersisa hanya rangka tulang saja.<br />
<br />
Setelah 25 Tahun<br />
<br />
Rangka tubuh ini akan berubah menjadi semacam biji, dan di dalam biji tersebut, kita akan menemukan satu tulang yang sangat kecil disebut ‘ajbudz dzanab (tulang ekor). Dari tulang inilah kita akan dibangkitkan oleh Allah azza wa jalla pada hari kiamat.<br />
<br />
Inilah tubuh yang selama ini kita jaga. Inilah tubuh yang kita berbuat maksiat kepada Allah dengannya. Oleh karena itulah, jangan biarkan umur kita melewati jasad ini sia-sia, karena dia akan mendapatkan apa yang telah disebutkan. Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5082219385398894338.post-86866468701366701882012-08-07T14:33:00.001+07:002012-08-07T14:33:24.297+07:00HIJAB JILBAB KERUDUNG UNTUK WANITA<p>Hijab, Jilbab, Kerudung untuk wanita selalu jadi bahan pembicaraan. Saya ingin tahu ilmunya, saya coba googling … ketemu <a href="http://almanhaj.or.id/content/746/slash/0/hukum-hijab/" target="_blank">linknya</a>, menurut tulisan ini :</p> <p>Bahwasanya masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terbagi menjadi dua :<br></p> <p>Pertama : Masa sebelum diwajibkan hijab. Pada saat itu, kaum wanita tidak menutup wajah dan tidak diwajibkan berlindung dibalik tabir.<br></p> <p>Kedua : Masa setelah diwajibkannya hijab, yaitu setelah tahun keenam. Saat itu kaum wanita diwajibkan berhijab, sehingga mereka, sebagaimana diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mengatakan kepada putri-putrinya, isteri-isterinya dan isteri-isteri kaum mukminin ; </p> <blockquote> <p><em>Hendaknya mereka mengulurkan jilbab mereka, sehingga mereka mengenakan kain hitam dan tidak ada yang tampak dari tubuh mereka kecuali sebelah mata untuk melihat jalanan. </em></p></blockquote> <p>Sampai sini, saya tambah kaget…ah masak iya? Coba cek ayatnya deh…</p> <p>Allah Ta’ala berfirman:</p> <p align="right"> يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا </p> <p>“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab:59)</p> <p>surat An-Nuur ayat 31:</p> <p align="right"> وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ </p> <p>“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya”</p> <p><br>Di ayatnya kok gak ada yang menyatakan </p> <blockquote> <p>“…sehingga mereka mengenakan kain hitam …….kecuali sebelah mata untuk melihat jalanan” ya?</p></blockquote> <p>Jadi, batas aurat wanita itu mana? googling lagi,</p> <p>Batas aurat wanita adalah wajah dan telapak tangan sebagaimana disebutkan dalam hadits: Hadis riwayat Aisyah r.a., bahwasanya Asma binti Abu Bakar masuk menjumpai Rasulullah dengan pakaian yang tipis, lantas Rasulullah berpaling darinya dan berkata, </p> <blockquote> <p>“Hai Asma, seseungguhnya jika seorang wanita sudah mencapai usia haid (akil balig) maka tidak ada yang layak terlihat kecuali ini,” sambil beliau menunjuk wajah dan telapak tangan. (HR Abu Daud dan Baihaqi).<br></p></blockquote> <p>Jadi, hijab yang bagaimana sih yang benar? Menutupkan seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan? sampai sini ok! <em>Saya merasa sudah menutup aurat</em>.</p> <p> </p> <p>Saya pernah dapat foto ini :</p> <p><a href="http://lh4.ggpht.com/-npuoOGcPTDM/UCDEoJR3NDI/AAAAAAAACfk/eE1iP_frZCU/s1600-h/Sanggul%25255B4%25255D.jpg"><img style="border-bottom: 0px; border-left: 0px; display: inline; border-top: 0px; border-right: 0px" title="Sanggul" border="0" alt="Sanggul" src="http://lh6.ggpht.com/-uSK8cbYSpBw/UCDEpjFXV8I/AAAAAAAACfs/2gF0sn4sKlQ/Sanggul_thumb%25255B2%25255D.jpg?imgmax=800" width="520" height="391"></a> </p> <p> </p> <p>Wuah jilbab saya seperti itu…nah lho? Jadi?</p> <p>Lalu saya dapat lagi gambar ini dari BBM, </p> <p><a href="http://lh6.ggpht.com/-QUWBb7iEt4M/UCDEq0b6LHI/AAAAAAAACf0/UHgvcfnD7VQ/s1600-h/biarawati-%25255B4%25255D.jpg"><img style="border-bottom: 0px; border-left: 0px; display: inline; border-top: 0px; border-right: 0px" title="biarawati-" border="0" alt="biarawati-" src="http://lh6.ggpht.com/-AH7XlR3P80I/UCDEsedYKsI/AAAAAAAACf8/VLWqDYJB-2o/biarawati-_thumb%25255B2%25255D.jpg?imgmax=800" width="523" height="394"></a> </p> <p>Nah, kadang jilbab saya juga seperti itu …..</p> <p>Menurut beberapa referensi jilbab atau hijab itu harus begini, tapi yang sebelah kiri jilbabnya bukannya mirip dengan gambar diatas ya?</p> <p> </p> <p><a href="http://lh6.ggpht.com/-8uUMJUMZBhs/UCDEtAl5TxI/AAAAAAAACgE/UFpYhFs0P4I/s1600-h/jilbab%25255B3%25255D.jpg"><img style="border-bottom: 0px; border-left: 0px; display: inline; border-top: 0px; border-right: 0px" title="jilbab" border="0" alt="jilbab" src="http://lh4.ggpht.com/-noaE6M8IsFY/UCDEuP0viOI/AAAAAAAACgM/QUGOmliCU5Q/jilbab_thumb%25255B1%25255D.jpg?imgmax=800" width="523" height="419"></a> </p> <p>SYARAT-SYARAT PAKAIAN MUSLIMAH </p> <p>Pada dasarnya seluruh bahan, model, dan bentuk pakaian boleh dipakai, asalkan memenuhi syarat-syarat berikut: </p> <ul> <li>Menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. </li> <li>Tidak tipis dan transparan. </li> <li>Longgar dan tidak memperlihatkan lekuk-lekuk dan bentuk tubuh (tidak ketat). </li> <li>Bukan pakaian laki-laki atau menyerupai pakaian laki-laki. </li> <li>Tidak berwarna dan bermotif terlalu menyolok. Sebab, pakaian yang menyolok akan mengundang perhatian laki-laki. Dengan alasan ini pula, maka membunyikan (menggemerincingkan) perhiasan yang dipakai tidak diperbolehkan walaupun itu tersembunyi di balik pakaian. </li></ul> <p> </p> <p>DALAM HUKUM SYAR'I </p> <p>Hijab syar’i bagi seorang wanita muslimah ketika keluar rumah setelah memakai gamis (baju panjang) adalah khimar (kerudung penutup kepala, leher, dan dada), dan jilbab (baju setelah gamis dan khimar yang menutup seluruh badan wanita/abaya). </p> <p>Firman Allah SWT, </p> <p>“Katakanlah kepada wanita yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya. Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya.”<br>“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka,”<br>“Atau putra-putra saudara-saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (QS.24:31).</p> <p><a href="http://lh4.ggpht.com/-5g9_9qTjVF0/UCDEvNFTHjI/AAAAAAAACgU/AgI49CRtJXI/s1600-h/putu-jilbab%25255B3%25255D.jpg"><img style="border-bottom: 0px; border-left: 0px; display: inline; border-top: 0px; border-right: 0px" title="putu-jilbab" border="0" alt="putu-jilbab" src="http://lh5.ggpht.com/-Cg92HpDMGQE/UCDEwoquLAI/AAAAAAAACgc/cZECjPeh3KA/putu-jilbab_thumb%25255B1%25255D.jpg?imgmax=800" width="524" height="394"></a> <p> <p>Yah masalah jilbab ini masalah hati sih, kalau hati kita belum tersentuh, sulit untuk patuh ya? Masih berfikir bahwa pakaian seperti gambar diatas sebelah kiri, masih sah sah saja. Karena wanita itu menyukai keindahan, kecantikan, seni, dan itu terlihat dari cara mereka berpakaian. Walau dijilbab sekalipun, wanita kok ya pingin terlihat indah ya? <p>Untuk yang sudah berjilbab (seperti saya) semoga pelan-pelan kita bisa mengikuti aturan yang sebenar2nya yang ditetapkan oleh Allah, walaupun saat ini belum terbayang sama sekali buat saya untuk memakai pakaian serba hitam dan hanya membiarkan mata yang terlihat. <p> <p>Sumber - Source - </p> <p><a href="http://referensidunia.blogspot.com/2011/07/sudahkah-ibu-saudara-istri-anak-cucu.html">http://referensidunia.blogspot.com/2011/07/sudahkah-ibu-saudara-istri-anak-cucu.html</a><br><a href="http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/08/07/m8di7f-ensiklopedi-hukum-islam-aurat-2">http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/08/07/m8di7f-ensiklopedi-hukum-islam-aurat-2</a></p> <p><a href="http://almanhaj.or.id/content/746/slash/0/hukum-hijab/">http://almanhaj.or.id/content/746/slash/0/hukum-hijab/</a></p> <p><a href="http://www.shoutussalam.com/read/muslimah/12848/cara-berjilbab-yang-benar-menurut-alquran-dan-assunnah/">http://www.shoutussalam.com/read/muslimah/12848/cara-berjilbab-yang-benar-menurut-alquran-dan-assunnah/</a></p> Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5082219385398894338.post-59773499222242814182010-09-07T19:09:00.001+07:002010-09-07T19:42:31.505+07:00LAILATUL QADAR : 7 September 2010 ?<span class="fullpost"></span><br />Sudah lama saya selalu mencarii cari, apa itu malam lailatul qadar. Setiap kali ramadhan, saya ingin mendapatkan itu, malam yang lebih baik dari seribu bulan. Yang saya tahu, malam itu adalah malam ganjil, entah bagaimana perhitungan ganjil, saya kurang tahu. Apakah jika ini tanggal 25 ramadhan lalu malamnya akan ada lailatul qadar, atau pada tanggal 24 malamnya yang akan ada lailatul qadar. Pengetahuan saya sangatlah sedikit.<br /><br />Saya juga hanya tahu malam lailatul qadar itu dari lagu Bimbo,<br /><br />Margasatwa tak berbunyi.<br />Gunung menahan nafasnya.<br />Angin pun berhenti.<br />Pohon-pohon tunduk.<br />dalam gelap malam.<br />Pada bulan suci.<br />Qur’an turun ke bumi.<br />Qur’an turun ke bumi.<br /><br />Dalam bayangan saya, seperti apa malam itu ya? Pohon-pohon apakah bersujud? atau bagaimana rasanya malam seperti itu? <br /><br />Pernah dengar cerita, bahwa ada seorang non muslim, yang sedang memikirkan tentang Tuhan yang menciptakan dunia beserta isinya, pada malam ramadhan, beliau duduk di teras rumah dan berfikir. Pada saat itu, tiba-tiba saja beliau melihat malam lailatul qadar. Hm, seroang non muslim, lalu kenapa Saya yang sudah muslim belum juga bisa melihat lailatul qadar ini?<br /><br />Jakarta diguyur hujan seharian, tanggal 6 September 2010. Di televisi saya melihat para pembawa berita mengenakan payung dan pakain jas hujan. Di Cikampek, Di Bandung, Di Sumedang. Semua hujan dari pagi. Hm...<br /><br />Malamnya enak sekali buat tidur. Saya tertidur mungkin jam 23.30 malam, karena keletihan sejak pagi. Saya tidak bisa membantu suami yang masih saja mengerjakan pekerjaannya. Duniawi-lah.<br /><br />Saya belum shalat Isya. Tiba-tiba pukul 3.40 WIB saya bangun. Kaget!Dan langsung ambil wudhu, sembari berfikir "hm alangkah baiknya kalau saat ini adalah lailatul qadar..." tapi kemudian saya berfikir lagi "siapa saya, mau diperlihatkan lailatul qadar oleh Allah? Banyak orang yang sudah melakukan itikaf di mesjid. Saya ngapain? sedang taraweh sejak awal ramadhan saja tidak saya kerjakan. Malah sibuk menjaga anak di rumah sakit yang kena dbd dan selalu tertidur di malam hari karena kecapean mengurus urusan duniawi sejak pagi." Saya tersenyum sendiri. "Ya sudahlah yang penting shalat dulu, keburu abis waktunya nih!"<br /><br />Selesai shalat, saya tiba2 melihat ke jendela, terlihat tanaman daun-daunan di luar. "Hm aneh.." Tiba tiba saja ada dorongan dalam diri saya "Hayo! lihat keluar! Siapa tahu..." dorongan yang sangat kuat. Tapi Saya tidak bisa menemukan kunci pintu depan. Akhirnya saya mengintip saja. Apa yang saya lihat adalah, SELURUH DAUN DAUNAN TIDAK ADA YANG BERGERAK! SATUPUN! SEMUA SEPERTI TERDIAM!. <br /><br />Akhirnya pembantu saya bangun dan menemukan kunci, saya buka pintu depan rumah dan lari keluar. Melihat ke semua pohon-pohon yang ada, rumput-rumput, daun-daun...YA! SEMUANYA TIDAK ADA YANG BERGERAK!<br /><br />"Kenapa semua daun ini pada diam ya? kok nggak ada yang bergerak ya?" tanya saya bergumam sendiri.<br /><br />Pembantu saya tiba-tiba nyeletuk "Ya iyalah nggak bergerak, orang nggak ada angin!"<br /><br />Saya langsung merinding, ingat lagu Bimbo, 'Ya Allah..benarkah? Jika ya, saya ingin menyaksikan kebaikan yang ada pada malam ini, malam yang baik dibandingkan 1000 bulan!'<br /><br />Memang tidak ada suara hewan, satupun.. tidak ada suara! nyaris sepiiiiiiii... dan damai! setelah seharian diguyur hujan, tanah benar-benar basah. Saya sulit menggambarkan kondisinya, tapi saya sudah keburu takjub dengan keheningan malam tadi.<br /><br />"Ya Allah jika ini memang adalah malam lailatul qadar, betapa saya bersyukur ke hadapan Mu, ya Rabbi telah diberikan anugerah dengan menjadi saksi bagaimana itu malam lailatul qadar!" <br /><br />Subhanallah, Alhamdulillah.. La-ila-ha-ilallah...Allahu Akbar... <br /><br />hanya itu yang terucapkan dari mulut saya.<br /><br />Akhirnya kami menyantap sahur. Setelah sahur selesai saya kembali keluar. Suasana masih seperti tadi. Tapi begitu terdengar suara adzan subuh, dengan kaget, saya baru sadar ternyata hewan hewan malam baru saja mengeluarkan suaranya. Ada suara kodok disana sini menyaingi suara adzan. <br /><br />Malam telah usai.<br /><br />Paginya bangun, udara sejuk, matahari bersinar cerah. <br /><br />Masih bertanya "apakah tadi malam lailatul Qadar?" saya tetap tidak berani memastikan, "siapa saya?"<br /><br />Saya searcging di google, dapat artikel ini http://www.alsofwah.or.id/?pilih=rdnlihat&id=11<br /><br /><br />Di dalam sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan terdapat Lailatul Qadr yaitu suatu malam yang dimuliakan oleh Allah dari malam-malam lainnya. Pada malam itu Allah memberikan keutamaan dan kebaikan yang teramat banyak kepada ummat Islam. Allah Subhaanahu wa Ta'ala telah menjelaskan tentang malam itu di dalam firman-Nya, artinya, "Haa Miim. Demi Kitab (al-Qur'an) yang menjelaskan. Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami.Sesungguhnya Kami adalah yang mengutus rasul-rasul, sebagai rahmat dari Rabbmu.Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, Rabb Yang memelihara langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, jika kamu adalah orang yang menyakini. Tidak ada ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menghidupkan dan Yang mematikan.(Dialah) Rabbmu dan Rabb bapak-bapakmu yang terdahulu." (QS. ad-Dukhan :1-8) <br /><br />Allah Subhannahu wa Ta'ala telah menyifati malam itu dengan mubarakah (yang diberkahi) karena banyaknya kebaikan, berkah dan keutamaannya. Di antara berkah itu adalah bahwa al-Qur'an diturunkan pada malam Lailatul Qadr ini. Allah Subhaanahu wa Ta'ala juga menyebutkan bahwa malam itu adalah malam yang di dalamnya dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. Allah Subhaanahu wa Ta'ala memerinci di dalam Lauhul Mahfudz agar ditulis para malaikat penulis berbagai hal yang ditetapkan Allah Subhaanahu Wa Ta'ala sepanjang tahun, baik berupa rizki, ajal, kebaikan, keburukan dengan penuh hikmah dengan sangat jelas dan teliti, tanpa ada kekeliruan, kebodohan dan kebatilan. Demikianlah ketetapan Dzat Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. <br /><br />Allah Subhannahu wa Ta'ala juga telah berfirman, artinya, " <br />Sesungguhnya Kami telah menurunkan nya (al-Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." (QS. al-Qadr:1-5) <br /><br />Al Qadr artinya asy-Syarfu wat Ta'dzim (mulia dan agung) dan juga memiliki arti at-Taqdir wal Qadla' (ketetapan dan keputusan). Disebut demikian karena malam itu merupakan malam yang mulia dan agung yang pada malam tersebut Allah menetapkan berbagai perkara penuh hikmah yang terjadi sepanjang tahun. <br /><br />Berdasarkan ayat,"hatta mathla'i'l fajr, " maka batas lailatul qadr adalah jika telah terbit Fajar (Shubuh) yang menandakan selesainya berbagai aktivitas ibadah malam hari. <br /><br />Adapun keutamaan Laitul Qadr berdasarkan surat al-Qadr ini adalah sebagai berikut:<br /><br />Bahwasanya Allah menurunkan al-Qur'an pada malam tersebut, yang dengan al-Qur'an itu manusia dapat mengambil petunjuk untuk menggapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.<br />Dalam firman Allah yang berupa pertanyaan, artinya "Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?" Menunjukkan kebesaran dan keagungan malam tersebut.<br />Bahwa malam itu lebih baik daripada seribu bulan dalam hal kemuliaan dan keutamaannya.<br />Pada malam itu para malaikat turun, dan tidaklah malaikat turun kecuali dengan membawa kebaikan, berkah dan rahmat.<br />Malam itu penuh dengan keselamatan karena banyak orang yang diselamatkan oleh Allah ƒ¹ƒndari siksa dan adzab disebabkan mereka melakukan berbagai macam ketaatan kepada Allah di malam itu.<br />Bahwa pada malam itu Allah Subhannahu wa Ta'ala menurunkan satu surat yang senantiasa dibaca hingga hari kiamat.<br />Ada pun keutamaan Lailatul Qadr berdasarkan hadits Nabi Shalallaahu alaihi wasalam adalah seperti yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah zbahwa Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, "Barang siapa shalat malam pada malam lailatul qadr karena iman dan mengharap pahala (ihtisab) maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." <br /><br />Yang dimaksud dengan iman di sini adalah percaya kepada Allah Subhaanahu wa Ta'ala dan kepada apa yang disediakan Allah berupa pahala bagi siapa saja yang menghidupkan malam itu, sedang ihtisab memiliki arti mengharapkan pahala dan balasan. Keutamaan ini akan didapatkan oleh siapa saja, baik yang mengetahui bahwa malam itu adalah Lailatul Qadr atau yang tidak mengetahuinya, karena Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam tidak mensyaratkan bahwa yang mendapatkan pahala harus orang yang tahu Lailatul Qadr ini. <br /><br />Lailatul Qadr Ada di Bulan Ramadhan <br />Lailatul Qadr terjadi pada bulan Ramadhan, karena Allah Subhaanahu wa Ta'ala menurunkan al-Qur'an pada malam itu. Sedangkan Allah telah menjelaskan bahwa turunnya al-Qur'an adalah pada bulan Ramadhan. Allah berfirman, artinya, "Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur'an) pada malam kemuliaan." (QS. al-Qadr:1) <br /><br />Dalam firman-Nya yang lain disebutkan, artinya,"(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'an." (QS. al-Baqarah :185) <br /><br />Berdasarkan ayat ini maka jelas sekali bahwa Lailatul Qadr itu terjadi pada bulan Ramadhan, dan ia terus ada pada ummat ini hingga hari Kiamat berdasarkan hadits riwayat imam Ahmad dan an-Nasa'i dari Abu Dzar dia berkata, "Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku tentang Lailatul Qadr, apakah dia itu di bulan Ramadhan atau lainnya? Maka Nabi n menjawab, "Dia ada di bulan Ramadhan." Abu Dzar zberkata, "Dia ada bersama para nabi selagi mereka masih hidup, maka apabila para nabi meninggal apakah Lailatul Qadr itu diangkat atau tetap ada hingga hari Kiamat? Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, "Dia tetap ada hingga hari Kiamat." <br /><br />Akan tetapi besarnya keutamaan dan pahala secara khusus bagi ummat ini hanya Allah Subhannahu wa Ta'ala yang mengetahui nya, sebagaimana ummat ini juga telah dikhusukan dengan hari Jum'at dari hari-hari lainnya dengan berbagai keutamaan -walillahil hamd- <br /><br />Lailatul Qadr di Sepuluh Akhir Ramadhan <br />Lailatul Qadr ada pada sepuluh akhir Ramadhan, berdasarkan sabda Nabi saw, "Carilah Lailatul Qadr di sepuluh malam akhir pada bulan Ramadhan." (Muttafaq 'alaih) <br /><br />Dan kemungkinan terjadi pada malam-malam yang ganjil lebih besar daripada malam-malam yang genap, berdasarkan sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, "Carilah lailatul qadr itu pada malam yang ganjil pada sepuluh akhir dari bulan Ramadhan." (HR. al-Bukhari) <br /><br />Dan lebih mendekati lagi adalah pada tujuh malam terakhir berdasarkan hadits dari Ibnu Umar bahwa beberapa orang shahabat Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bermimpi melihat Lailatul Qadr terjadi pada tujuh malam terakhir bulan Ramadhan. Maka Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, "Aku melihat bahwa mimpi kalian adalah benar pada tujuh malam terkahir. Maka barang siapa mencarinya maka hendaknya dia mencari pada tujuh malam terakhir." (Muttafaq alaih). <br /><br />Dan dalam riwayat Muslim Nabi bersabda, "Carilah ia pada sepuluh malam terakhir, jika salah seorang dari kalian merasa lelah atau lemah maka jangan sampai terlewatkan pada tujuh malam yang tersisa." <br /><br />Dan di antara tujuh malam terakhir yang paling mendekati adalah pada malam ke dua puluh tujuh. Ini berdasarkan hadits Ubay bin Ka'ab dia berkata, " Demi Allah sungguh aku mengetahui mana malam yang pada malam itu kita semua diperintahkan oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam untuk melakukan shalat malam, yaitu malam dua puluh tujuh." (HR Muslim). <br /><br />Lailatul Qadr tidak terjadi pada malam tertentu secara khusus dalam setiap tahunnya, namun berubah-ubah atau berpindah-pindah. Mungkin pada suatu tahun terjadi pada malam dua puluh tujuh dan pada tahun yang lain terjadi pada malam dua puluh lima, dan demikian seterusnya sesuai dengan kehendak Allah Subhannahu wa Ta'ala dan hikmah-Nya. Ini ditunjukkan dalam sebuah sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, "Carilah ia pada sembilan terakhir, atau tujuh terakhir, atau lima terakhir." (HR. al-Bukhari). <br /><br />Disebutkan di dalam kitab Fathul Bari bahwa malam itu terjadi pada malam yang ganjil pada sepuluh hari terkahir Ramadhan, dan bahwasanya dia berpindah pindah. <br /><br />Hikmah Dirahasiakannya Lailatul Qadr <br />Allah Subhannahu wa Ta'ala merahasiakan kapan terjadinya lailatul qadr kepada hamba-hamba-Nya tidak lain adalah sebagai rahmat bagi mereka agar mereka banyak-banyak mengerjakan amal kebaikan dalam rangka mencari malam itu. Yaitu dengan banyak melakukan shalat, dzikir, do'a dan lain-lain sehingga terus bertambah kedekatan nya kepada Allah , dan bertambah pula pahala mereka. Allah juga merahasiakan itu sebagai ujian agar diketahui siapakah yang sungguh- sungguh di dalam mencarinya dan siapa yang bermalas-malasan dan meremehkannya. Karena orang yang berkeinginan mendapatkan sesuatu maka dia pasti akan bersungguh- sungguh untuk memperolehya, tanpa mempedulikan rasa letih dalam rangka menempuh jalan untuk mencapainya. <br /><br /><bold>Hanya saja di antara tanda-tanda yang sempat terlihat pada masa Nabi Shalallaahu alaihi wasalam adalah bahwasanya beliau bersujud di waktu Shubuh di atas tanah yang basah oleh air, artinya bahwa pada malam itu turun hujan sehingga beliau sujud di atas tanah yang berair.</bold> <br /><br />Lailatul Qadr adalah malam dibukanya seluruh pintu kebaikan, didekatkannya para kekasih Allah, didengarkannya permohonan dan dijawabnya doa. Amal kebaikan pada malam itu ditulis dengan pahala sebesar besarnya, malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Maka hendaknya kita berusaha untuk menggapainya. <br /><br />Sumber: Majalis Syahr Ramadhan hal 104-107, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah (Ibnu Djawari)Unknownnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5082219385398894338.post-46186386267090627672010-06-23T12:15:00.000+07:002010-06-23T12:16:06.682+07:00BELAJAR DARI KEMATIAN<span class="fullpost"></span>Musim panas merupakan ujian yang cukup berat. Terutama bagi muslimah, untuk tetap mempertahankan pakaian kesopanannnya. Gerah dan panas tak lantas menjadikannya menggadaikan akhlak. Berbeda dengan musim dingin, dengan menutup telinga dan leher kehangatan badan bisa dijaga. Jilbab bisa sebagai multi fungsi. <br /><br />Dalam sebuah perjalanan yang cukup panjang, Cairo-Alexandria; di sebuah mikrobus. <br />Ada seorang perempuan muda berpakaian kurang layak untuk dideskripsikan sebagai penutup aurat. <br />Karena menantang kesopanan. Ia duduk diujung kursi dekat pintu keluar. Tentu saja dengan cara pakaian seperti itu mengundang ‘perhatian’ kalau bisa dibahasakan sebagai keprihatinan sosial. <br /><br />Seorang bapak setengah baya yang kebetulan duduk disampingnya mengingatkan. ” Maaf Nona, apa Anda tidak takut terjadi sesuatu yang tidak baik menimpa Anda dengan berpakaian seminim ini ? ”, ” maksud bapak apa ? suka-suka saya, begini ini kan hak saya, saya mau pakai baju atau mau telanjang itu semua hak prerogatif saya ! ”, ” tapi kan Non kelihatannya kurang sopan dilihat dan aturan agamapun melarang ”. <br /><br />Dengan ketersinggungan yang sangat ia mengekspresikan kemarahannya. Karena merasa privasinya terusik. Hak berpakaian menurutnya adalah hak prerogatif seseorang. <br /><br />"Oke, Oke kalau begitu , Jika memang bapak yang benar, ini ponsel saya, tolong lapor ke Tuhan Anda dan Tolong pesankan saya, tempat di neraka , sekarang juga !! <br /><br />Sebuah respon yang sangat frontal. Dan sang bapak pun hanya beristighfar. Ia terus menggumamkan kalimat-kalimat Allah. Detik-detik berikutnya suasanapun hening. Beberapa orang terlihat kelelahan dan terlelap dalam mimpinya. Tak terkecuali perempuan muda itu. Hingga sampailah perjalanan dipenghujung tujuan. Di terminal akhir mikrobus Alexandria. Kini semua penumpang bersiap-siap untuk turun. <br />Tapi mereka terhalangi oleh perempuan muda tersebut yang masih terlihat tertidur. Ia berada didekat pintu keluar. "Bangunkan saja!" begitu kira-kira permintaan para penumpang. Tahukah apa yang terjadi. Perempuan muda tersebut benar-benar tak bangun lagi. Ia menemui ajalnya. Dan seisi mikrobus tersebut terus beristighfar, menggumamkan kalimat Allah sebagaimana yang dilakukan bapak tua yang duduk disampingnya. <br /><br />Sebuah akhir yang menakutkan. Mati dalam keadaan menantang Tuhan<br /><br />Sahabat ...<br />Kematian itu PASTI datangnya...<br /><br />Cukuplah kematian sebagai pelajaran buat kita<br />Cukuplah kematian sebagai nasehat buat kita<br /><br />Kemanapun kita pergi...<br />Kepada siapapun kita berlindung...<br />Dengan apapun kita menghindar...<br />Bila sudah saatnya KEMATIAN datang...<br />Kita tidak bisa pergi, berlindung atau menghindar...<br /><br />“Perbanyaklah mengingat sesuatu yang melenyapkan semua kelezatan, yaitu KEMATIAN!” (HR. Tirmidzi)<br /><br />Nilai-nilai pelajaran yang ingin diungkapkan guru kematian begitu banyak, menarik, bahkan menenteramkan. Di antaranya adalah apa yang mungkin sering kita rasakan dan lakukan.<br /><br /># Kematian mengingatkan bahwa WAKTU SANGAT BERHARGA<br />Ketika seorang manusia melalaikan nilai waktu pada hakekatnya ia sedang menggiring dirinya kepada jurang kebinasaan. Karena tak ada satu detik pun waktu terlewat melainkan ajal kian mendekat, Allah swt dalam FirmanNya : “Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya).” (Al-Anbiya :1)<br /><br />Ketika jatah waktu terhamburkan sia-sia, dan ajal sudah di depan mata. Tiba-tiba, lisan tergerak untuk mengatakan, “Ya Allah, mundurkan ajalku sedetik saja. Akan kugunakan itu untuk bertaubat dan mengejar ketinggalan.” Tapi sayang, permohonan tinggallah permohonan. Dan, kematian akan tetap datang tanpa ada perundingan.<br />“Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) datang azab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang zalim: ‘Ya Tuhan kami, beri tangguhlah kami walaupun dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul….” (Ibrahim :44)<br /><br /># Kematian mengingatkan bahwa KITA BUKAN SIAPA-SIAPA<br />Kalau kehidupan dunia bisa diumpamakan dengan pentas sandiwara, maka kematian adalah akhir segala peran. Apa pun dan siapa pun peran yang telah dimainkan, ketika sutradara mengatakan ‘habis’, usai sudah permainan. Semua kembali kepada peran yang sebenarnya. Lalu, masih kurang patutkah kita dikatakan orang gila ketika bersikeras akan tetap selamanya menjadi tokoh yang kita perankan. Hingga kapan pun. Padahal, sandiwara sudah berakhir.<br /><br />Sebagus-bagusnya peran yang kita mainkan, tak akan pernah melekat selamanya. Silakan kita bangga ketika dapat peran sebagai orang kaya. Silakan kita menangis ketika berperan sebagai orang miskin yang menderita. Tapi, bangga dan menangis itu bukan untuk selamanya. Semuanya akan berakhir. Dan, peran-peran itu akan dikembalikan kepada sang sutradara untuk dimasukkan kedalam laci-laci peran.<br /><br />Teramat naif kalau ada manusia yang berbangga dan yakin bahwa dia akan menjadi orang yang kaya dan berkuasa selamanya. Pun begitu, teramat naif kalau ada manusia yang merasa akan terus menderita selamanya. Semua berawal, dan juga akan berakhir. Dan akhir itu semua adalah kematian.<br /><br /># Kematian mengingatkan bahwa KITA TAK MEMILIKI APA-APA<br />Fikih Islam menggariskan kita bahwa tak ada satu benda pun yang boleh ikut masuk ke liang lahat kecuali kain kafan. Siapa pun dia. Kaya atau miskin. Penguasa atau rakyat jelata Semuanya akan masuk lubang kubur bersama bungkusan kain kafan. Cuma kain kafan itu. Itu pun masih bagus. Karena, kita terlahir dengan tidak membawa apa-apa. Cuma tubuh kecil yang telanjang.<br /><br />Lalu, masih layakkah kita mengatasnamakan kesuksesan diri ketika kita meraih keberhasilan. Masih patutkah kita membangga-banggakan harta dengan sebutan kepemilikan. Kita datang dengan tidak membawa apa-apa dan pergipun bersama sesuatu yang tak berharga.<br /><br />Ternyata, semua hanya peran. Dan pemilik sebenarnya hanya Allah. Ketika peran usai, kepemilikan pun kembali kepada Allah. Lalu, dengan keadaan seperti itu, masihkah kita menyangkal bahwa kita bukan apa-apa. Dan, bukan siapa-siapa. Kecuali, hanya hamba Allah. Setelah itu, kehidupan pun berlalu melupakan peran yang pernah kita mainkan.<br /><br /># Kematian mengingatkan bahwa HIDUP ADALAH SEMENTARA<br />Kejayaan dan kesuksesan kadang menghanyutkan anak manusia kepada sebuah khayalan bahwa ia akan hidup selamanya. Hingga kapan pun. Seolah ia ingin menyatakan kepada dunia bahwa tak satu pun yang mampu memisahkan antara dirinya dengan kenikmatan saat ini.<br /><br />Ketika sapaan kematian mulai datang berupa rambut yang beruban, tenaga yang kian berkurang, wajah yang makin keriput, barulah ia tersadar. Bahwa, segalanya akan berpisah. Dan pemisah kenikmatan itu bernama kematian. Hidup tak jauh dari siklus: awal, berkembang, dan kemudian berakhir.<br /><br /># Kematian mengingatkan bahwa HIDUP BEGITU BERHARGA<br />Seorang hamba Allah yang mengingat kematian akan senantiasa tersadar bahwa hidup teramat berharga. Hidup tak ubahnya seperti ladang pinjaman. Seorang petani yang cerdas akan memanfaatkan ladang itu dengan menanam tumbuhan yang berharga. Dengan sungguh-sungguh. Petani itu khawatir, ia tidak mendapat apa-apa ketika ladang harus dikembalikan.<br /><br />Mungkin, inilah maksud ungkapan Imam Ghazali ketika menafsirkan surah Al-Qashash ayat 77, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) dunia…” dengan menyebut, “Ad-Dun-ya mazra’atul akhirah.” (Dunia adalah ladang buat akhirat)<br />Orang yang mencintai sesuatu takkan melewatkan sedetik pun waktunya untuk mengingat sesuatu itu. Termasuk, ketika kematian menjadi sesuatu yang paling diingat. Dengan memaknai kematian, berarti kita sedang menghargai arti kehidupan.<br /><br />Sumber : http://www.facebook.com/l.php?u=http%3A%2F%2Fwww.rumah-yatim-indonesia.org%2F&h=355d1WLPG0MQzyOkyuM7mWG5NpQUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5082219385398894338.post-27343310521330911722010-06-23T12:13:00.001+07:002010-06-23T12:13:49.738+07:00SUARA HATI SEKAR<span class="fullpost"></span>Jujur, saya tidak memiliki jawaban yang pasti,<br />Saya HANYA ingin pulang, kembali ke Pangkuan ALLAH …<br />Yang dapat saya rasakan adalah Kerinduan yang amat sangat….<br />Sudah bukan waktunya lagi berlari-lari mencari kebahagian versi dunia tentunya…<br />Yang setelah saya peroleh semuanya …<br />Lalu saya merasa bahwa bukan ini, dan bukan itu arti bahagia,..<br />Lalu DIMANA….?<br />Dan saya mengayunkan langkah untuk mencari ALLAH,<br />Dan langkah pertama saya adalah mengenakan Jilbab.<br /><br />Sumber idenya adalah dari sifat romantisme saya,<br />Jika saya ingin mendekat kepada kekasih saya…<br />Maka hal pertama adalah saya harus mempercantik diri,<br />ALLAH menyukai perempuan yang menutup auratnya dengan hijab,<br />Perhiasan seorang perempuan muslimah adalah akhlaknya yang solehah,<br />Orang akan langsung mengenali saya bahwa saya adalah muslim karena jilbab saya,<br />Karena jika tidak maka saya tidak ada bedanya dengan yang bukan …<br />Iya HANYA ini langkah awal saya…. HANYA ini.<br /><br />Kemudian tarikan tarikan ALLAH terus membetot ubun-ubun saya…<br />Untuk melepaskan semua atribut kejahiliahan saya …<br /><br />TANPA saya sadari…<br />Saya mulai mencintai hal-hal yang menuju kepada Sang Pemilik napas saya,<br />Saya terbawa arus kebaikan,<br />Saya tenggelam di danau pengajian,<br />Saya terdampar dipadang illalang yang berisi dzikir,<br />Saya bermahkotakan Al Quran dan Hadits,<br />Saya tiba-tiba sangat mencintai tahajud,<br />Saya menjadi seperti penari dalam kalimat taubah dan hamdalah<br /><br />Dalam proses kemudian…<br />Saya mulai meninggalkan rok mini saya,<br />Berhenti memakai tanktop,<br />Bahkan blus lengan pendek<br />Apalagi celana pendek saya jauh saya tanggalkan…<br />Lalu saya mulai berhenti mewarnai dan meluruskan rambut gelombang saya …<br />Dan entah mengapa saya merasa lebih cantik…<br />Dengan membuang jauh-jauh pakaian itu,<br /><br />Sahabat saya bilang :<br />“De, yang penting kan hati, loe tidak perlu berjilbab pun loe bisa menjadi baik“<br />Sahabat saya tidak salah …<br />Tapi untuk saya, jilbab adalah sarat mutlak untuk taat terhadap ALLAH<br />Dan sifat sosial saya untuk menjaga diri saya terhadap tarikan tarikan mata Lawan Jenis<br />Bukankah indah akan semakin indah bila tertutup,<br />Akan menarik jika ia tidak terlihat,<br />Akan tetap menjadi misteri,<br />Yang tidak pernah akan selesai kecuali memiliki,<br />Sesuatu yang tidak bisa disingkap apalagi disentuh akan menimbulkan kerinduan…<br />Yang tersembunyi dengan baik dan terjaga akan memiliki nilai yang tinggi…<br />Tanpa hijab, tidak ada daya tarik, tidak ada KERINDUAN…<br /><br />Bukankah ALLAH adalah misteri,<br />Dan tersembunyi maka kita semua merindukanNYA,<br />bisa dibayangkan jika ALLAH terlihat oleh mata dunia kita kan?<br /><br />Iya, inilah saya yang tidak pernah punya jawaban…<br />Mengapa saya tiba-tiba kesetrum dan mengenakan jilbab …<br />Hanya ALLAH yang memiliki jawabannya<br />Karena saya tidak sanggup menjawab,<br /><br />Yang pasti ketika kening menyentuh sajadah,<br />Ketika airmata tumpah saat tahajud,<br />Ketika tangan terangkat tinggi-tinggi untuk memohon ampunan,<br />Ketika titik NOL adalah titik kepasrahan saya…<br />Atas semua yang ALLAH titipkan kepada saya,<br />Ketika tidak ada lagi jarak antara ALLAH dan saya,<br />Ketika jilbab saya menutup dada saya,<br />Ketika rok panjang semata kaki menjadi perhiasan saya kini,<br />Maka inilah kebahagian yang sesungguhnya saya CARI kemarin …<br /><br />Doakan saya kuat dan istiqomah dengan langkah yang saya ayunkan ini …<br />Doakan saya kuat dan istiqomah dengan tarian tanpa topeng ini,<br />Dengan dawai tasbih dan hamdallah…<br />Saya ingin berpulang dengan pakaian yang disukai ALLAH<br /><br />Ya ALLAH kuatkan saya…<br />Hingga saya menutup mata,<br />Mempertanggung jawabkan semua perbuatan saya<br />Di mahkamah agung milik MU …<br /><br />Sahabat Perempuanku, kapan lagi Kerinduan Sang Kekasih kita penuhi ? Dia telah memanggil-manggil kita dengan firman-firmanNya yang menentramkan dada, memuaskan akal dan memberi solusi atas segala permasalahan kehidupan :<br /><br />“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan JILBABnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (QS 33:59)<br /><br />“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain KERUDUNG ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS 24:31)<br /><br />“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk MENUTUPI `auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian TAKWA itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.”<br /><br />“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya `auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.”<br />(QS 7:26-27)<br /><br />DARI SAHABATMU SEKAR, http://www.rumah-yatim-indonesia.org/Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5082219385398894338.post-85689477769199080542010-06-23T12:02:00.000+07:002010-06-23T12:03:10.162+07:00DOA SHALAT DHUHA<span class="fullpost"></span><br /><br />“Wahai Tuhanku, sesungguhnya waktu dhuha adalah waktu dhuha-Mu, keagungan adalah keagunan-Mu, keindahan adalah keindahan-Mu, kekuatan adalah kekuatan-Mu, penjagaan adalah penjagaan-Mu, Wahai Tuhanku, apabila rezekiku berada di atas langit maka turunkanlah, apabila berada di dalam bumi maka keluarkanlah, apabila sukar mudahkanlah, apabila haram sucikanlah, apabila jauh dekatkanlah dengan kebenaran dhuha-Mu, kekuasaan-Mu (Wahai Tuhanku), datangkanlah padaku apa yang Engkau datangkan kepada hamba-hambaMu yang soleh”.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5082219385398894338.post-24541357815268636392010-06-10T16:10:00.002+07:002010-06-10T16:12:12.285+07:00DO NOT ACCEPT IF SEAL IS BROKEN, JILBAB?<span class="fullpost"></span>D<br /><br />Sahabat, seringkali kita salah persepsi ketika menilai fenomena yang sedang terjadi akibat dari membebek dengan pendapat media massa dan pendapat sebagian besar tokoh yang sedang gencar-gencarnya memfonis kalangan tertentu yang dianggap melanggar norma kemasyarakatan dan nasionalisme.<br /><br />Contoh Penangkapan orang-orang yang diduga ’Pelaku Teror’ yang kebetulan para istrinya berjilbab besar dan bercadar, maka serta merta kita ikut-ikutan memfonis minimal mencurigai setiap ada wanita berjilbab besar dan bercadar, ” awas ya, waspada ! ” itulah kata hati kecil kita.<br /><br />Padahal tahukah kita apa alasan para wanita itu berjilbab besar dan bercadar ? inilah kisah yang mudah-mudah dapat mengubah persepsi atas sebagaian beser fonis yang tersebar di kebanyakan orang.<br /><br />Seorang Yahudi bertamu ke rumah salah seorang Ulama. Ketika sang Yahudi dan Ulama ini duduk di ruang tamu tiba-tiba melintas wanita berpakaian serba tertutup.<br />Si yahudi pun kemudian bertanya kepada Ulama, “Ya Syaikh siapakah orang yang lewat tadi.”<br />“Dia Istriku.” Jawab Syaikh.<br />“Kenapa agama anda sangat berlebihan dalam mengatur pakaian wanita?”<br />Syaikh terdiam dan tidak menjawab, kemudian berkata, “ Kalau tidak keberatan, Maukah anda kuajak berjalan-jalan di pasar.”<br />“ oh, Dengan senang hati.”<br /><br />Syaikh dan orang yahudi itupun pergi ke pasar yang tidak jauh dari rumah Syaikh. Tiba di pasar sang Syaikh langsung mengajak orang yahudi ke dekat penjual kue kaki lima.<br />“Ini ada bermacam-macam kue, semuanya hampir sama enak rasanya, namun ada yang tertutup dengan bungkusan ada yang terbuka, kira-kira kalau anda saya suruh memilih kue yang mana akan anda pilih, yang tertutup atau terbuka?”<br /><br />Tanpa banyak pikir Yahudi tersebut menjawab, “Tentu saya pilih yang tertutup, karena lebih bersih, serta terjaga dari sentuhan tangan dan lalat yang bisa membawa kotoran dan penyakit.”<br /><br />Mendengar jawaban orang yahudi, Ulama tersebut langsung menyambung. “Begitulah agama kami menjaga wanita kami, mereka hanya milik kami, tidak boleh sembarang dilihat orang apalagi disentuh ?”<br /><br />Sumber : rumah yatim indonesia, fbUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5082219385398894338.post-49321908796448868902010-06-09T18:37:00.000+07:002010-06-09T19:17:57.707+07:00BELAJAR DARI GOSIP ???<span class="fullpost"></span><br /><br />Tiba tiba saja, gosip merebak mengenai video porno artis papan atas indonesia. Semua orang membicarakannya. Bayangkan, hanya dalam waktu kurang dari 1 hari, video tersebut sudah menyebar kemana-mana. Saya tahu berita ini pertama kali justru dari twitter, dari situs satu koran diberitakan "ada video yang MIRIP artis AP dan LM yang menyebar di internet". Pertama saya baca, Saya masih cuek, "ulah orang iseng paling" saya pikir, tidak mungkin artis papan atas akan berlaku tidak senonoh dan menyebar videonya ke publik yang akan menghancurkan citranya sendiri.<br /><br />Tapi tidak sampai beberapa jam, berita di twitter semakin merajalela, lalu muncul link di bbm saya, saya (masih) belum tertarik untuk melihatnya. Kemudian facebook, nyaris sebagian besar teman-teman mengupdate statusnya dengan topik yang sama. Dan inilah yang mengerikan.<br /><br />Kemudian di setiap link berita online saya lihat gambar-gambar yang memang sengaja di kaburkan rupanya, namun masih bisa terlihat secara samar kemiripan tokohnya. Keesokan harinya, seluruh televisi di indonesia membicarakan hal yang sama dengan memperlihatkan gambar-gambar yang lebih jelas (saya tetap belum melihat videonya, entah karena apa). Kemudian banyak seloroh yang berdatangan. Sang artis yang dihebohkan, langsung mengambil cuti dari host acaranya di salah satu stasiun TV, sungguh akibatnya sungguh dahsyat bagi pelaku video ini.<br /><br />Ada yang bilang "sanksi sosial justru lebih berat"<br /><br />Yah, dengan sanksi sosial, sang pelaku kehilangan muka untuk menghadapi masyarakat.<br /><br />Ada juga yang bilang "saya yakin, diantara sekian banyak yang komentar, pasti salah satu atau dua, ada yang melakukan kesalahan yang sama, bedanya yang ini ketahuan dan yang lain tidak!" <br /><br />Jadi ingat dengan hal-hal seperti ini :<br />Manusia diciptakan dalam keadaan lemah dan serba kekurangan. Kezoliman dan kebodohan akan selalu membayangi setiap langkahnya. Seseorang yang melakukan perbuatan salah dengan sengaja maka dia disebut orang yang zolim. Dan orang yang melakukan kesalahan karena ketidaktahuannya maka dia disebut orang yang bodoh.<br /><br />siapa yg suka menceritakan kekurangan dan kesalahan orang lain mk diri pun tdk aman utk diceritakan oleh orang lain. Seorang ulama salaf berkata “Aku mendapati orang2 yg tdk memiliki cacat/cela lalu mereka membicarakan aib manusia mk manusia pun menceritakan aib-aib mereka. Aku dapati pula orang2 yg memiliki aib namun mereka menahan diri dari membicarakan aib manusia yg lain mk manusia pun melupakan aib mereka.”<br /><br />Tahukah engkau bahwa manusia itu terbagi dua:<br /><br />Pertama: Seseorang yg tertutup keadaan tdk pernah sedikitpun diketahui berbuat maksiat. Bila orang seperti ini tergelincir dlm kesalahan mk tdk boleh menyingkap dan menceritakan krn hal itu termasuk ghibah yg diharamkan. Perbuatan demikian juga berarti menyebarkan kejelekan di kalangan orang2 yg beriman. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:<br /><br />إِنَّ الَّذِيْنَ يُحِبُّوْنَ أَنْ تَشِيْعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِيْنَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ<br /><br />“Sesungguh orang2 yg menyenangi tersebar perbuatan keji2 di kalangan orang2 beriman mereka memperoleh azab yg pedih di dunia dan di akhirat.”<br /><br />Kedua: Seorang yg terkenal suka berbuat maksiat dgn terang-terangan tanpa malu-malu tdk peduli dgn pandangan dan ucapan orang lain. mk membicarakan orang seperti ini bukanlah ghibah. Bahkan harus diterangkan keadaan kepada manusia hingga mereka berhati-hati dari kejelekannya. Karena bila orang seperti ini ditutup-tutupi kejelekan dia akan semakin bernafsu utk berbuat kerusakan melakukan keharaman dan membuat orang lain berani utk mengikuti perbuatannya.<br /><br />Dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yg berbunyi:<br /><br />مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فيِ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ ..<br /><br />“Siapa yg melepaskan dari seorang mukmin satu kesusahan yg sangat dari kesusahan dunia niscaya Allah akan melepaskan dari satu kesusahan dari kesusahan di hari kiamat. Siapa yg memudahkan orang yg sedang kesulitan niscaya Allah akan memudahkan di dunia dan nanti di akhirat. Siapa yg menutup aib seorang muslim niscaya Allah akan menutup aib di dunia dan kelak di akhirat. Dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu menolong saudaranya.”<br /><br />Dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma ia berkata “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />إِنَّ اللهَ يُدْنِي الْمُؤْمِنَ فَيَضَعُ عَلَيْهِ كَنَفَهُ وَيَسْتُرُهُ فَيَقُوْلُ: أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا، أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا؟ فَيَقُوْلُ: نَعَمْ، أَيْ رَبِّ. حَتَّى إِذَا قَرَّرَهُ بِذُنُوْبِهِ وَرَأَى فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ هَلَكَ، قَالَ: سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا، وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ. فَيُعْطِي كِتَابَ حَسَنَاتِهِ ..<br /><br />“Sesungguh Allah mendekatkan seorang mukmin lalu Allah meletakkan tabir dan menutupi si mukmin . Allah berfirman ‘Apakah engkau mengetahui dosa ini yg pernah kau lakukan? Apakah engkau tahu dosa itu yg dulu di dunia engkau kerjakan?’ Si mukmin menjawab: ‘Iya hamba tahu wahai Rabbku .’ Hingga ketika si mukmin ini telah mengakui dosa-dosa dan ia memandang diri akan binasa krn dosa-dosa tersebut Allah memberi kabar gembira padanya: ‘Ketika di dunia Aku menutupi dosa-dosamu ini dan pada hari ini Aku ampuni dosa-dosamu itu.’ Lalu diberikanlah pada catatan kebaikan-kebaikannya”<br /><br />Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />لاَ يَسْتُرُ اللهُ عَلَى عَبْدٍ فِي الدُّنْيَا إِلاَّ سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ<br /><br />“Tidaklah Allah menutup aib seorang hamba di dunia melainkan nanti di hari kiamat Allah juga akan menutup aibnya.”<br />Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.<br /><br />Jadi, jika kita ingin aib kita ditutupi oleh Allah baik di dunia dan akhirat, lebih baik kita tidak ikut-ikutan menyebarkan fitnah video tersebut.<br /><br />:PUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5082219385398894338.post-42573017540969177532010-05-30T17:04:00.002+07:002010-05-30T17:06:29.481+07:00SEDEKAH DAN BALASANNYA<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_5ZVxbIi2l2g/TAI4mDtmkXI/AAAAAAAAA8s/qJ6Q3IjgedY/s1600/images.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 121px; height: 87px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_5ZVxbIi2l2g/TAI4mDtmkXI/AAAAAAAAA8s/qJ6Q3IjgedY/s320/images.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5477002323318706546" /></a><br /><span class="Apple-style-span" style=" color: rgb(51, 51, 51); font-family:'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif;font-size:13px;">Sahabat, setiap kebaikan sekcil apapun pasti akan dibalas oleh Allah SWT dengan kebaikan yang setimpal bahkan akan dilipatgandakan sepuluh kali lipat bahkan sampai 700 kali lipat. Akan tetapi bentuk balasan kebaikan itu tidak selamanya sesuai dengan keinginan kita tetapi Allahlah yang Maha Tahu bentuk balasan apa yang saat ini dan yang akan datang yang amat sangat kita butuhkan.<br /><br />Maka konsisten dengan segala bentuk kebaikan adalah keberuntungan dan kebahagiaan, menghentikannya adalah awal sebuah penderitaan<br /><br />Ini adalah kisah nyata seorang hamba Allah bernama Ibnu Jad'aan dengan kedermawanannya yang terjadi kira-kira seratus tahun yang lalu di Saudi Arabia.<br /><br />Dia (Ibnu Jad'aan) mengatakan selama musim semi dia sering pergi keluar. Dia menemukan unta-untanya dalam keadaaan sehat dan baik. Unta-unta betina memiliki susu yang penuh seolah-olah memancar keluar sewaktu-waktu. Setiap kali seekor anak unta mendakati ibunya, air susu akan mengalir dengan melimpah dan penuh berkah.<br /><br />Tatkala aku (Ibnu Jad'aan) melihat salah satu dari untaku dan anaknya, aku teringat tetanggaku yang miskin yang memiliki tujuh orang anak perempuan. Jadi aku berkata pada diriku, demi Allah aku akan memberikan unta ini dan anaknya sebagai sedekah kepada tetanggaku , karena aku teringat Firman Allah di dalam QS Al-Imran : 92.<br /><br /><br />لَن تَنَالُواْ ٱلۡبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَىۡءٍ۬ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ۬<br />“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan [yang sempurna], sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”<br /><br />“Dan yang paling aku cintai diantara hewan ternakku adalah unta betina ini. Jadi aku membawanya dan mengetuk pintu tetanggaku. Aku berharap dia mau menerima sebagai sedekah dariku. Ku lihat wajahnya yang sendu menjadi ceria akan kebahagiaan datang dan tak mampu berkata apapun”.<br /><br />Setelah itu tetangganya mendapatkan manfaat dari susunya, unta tersebut dapat pula membantunya bekerja membawa kayu, dan saat unta melahirkan anak, sebagian bisa dijualnya. Tetangga miskin itu mendapatkan berkah atas unta yang diberikan.<br /><br /><br />Musim semi berlalu, musim panas yang kering datang dan orang Badui mulai mencari air dan rumput. Kami mengumpulkan barang-barang kami dan meninggalkan tempat kami untuk mencari air dan masuk kedalam ”duhool” atau 'lubang' di bumi, yang terletak di bawah tanah dan mengarah ke sumber air di bawah tanah. Orang badui sangat mengenal baik tempat seperti ini.<br /><br />Aku (yakni Ibnu Jad'aan) masuk ke dalam salah satu lubang untuk membawa air buat diminum. Ketiga putranya menunggunya di luar. Namun Ibnu Jad’aan tidak kembali. Mereka menunggunya satu, dua dan tiga hari dan akhirnya menjadi putus asa.<br /><br />Mereka berfikir mungkin bapaknya telah mati digigit ular. Putranya tidak berusaha menolong (naadzubillah min dzalik), bahkan sebaliknya berusaha membagi warisan dengan serakah.<br /><br />Lalu mereka pulang ke rumah dan membagi harta warisan. Mereka teringat bahwa sang ayah (Ibnu Jad'aan) memberikan unta betina ke tetangga miskin. Mereka beranjak ke tetangga tersebut dan mengatakan kepadanya untuk meminta kembali atau dengan diambil secara paksa.<br /><br />Tetangga miskin itu sedih dan akan melaporkannya kepada Ibnu Jad’aan, tapi ketiga anaknya memberitahukan bahwa ia telah meninggal dan menceritakan kejadiannya.<br /><br />Tetangga miskin itu berkata: "Demi Allah aku akan mencari tempat tersebut, ambillah unta betina ini dan lakukan apapun yang kamu mau dan aku tidak berharap untamu kembali kepadaku!"<br /><br />Ketiga anak yang serakah ini membawa untanya pergi. Sepeninggal mereka, si tetangga miskin itu pergi berusaha melihat tempat lubang tersebut. Dengan membawa tali, menyalakan obor, dan kemudian ia melangkah masuk kedalamnya. Ia merayap namun terguling dan dalam keadaan gelap ia merasakan adanya uap air yang mendekat dan tiba-tiba dia mendengar suara seorang lelaki merintih dan mengerang.<br /><br />Ia berusaha mencari ke arah suara tersebut dan tangannya menggapi tangan orang itu (Ibnu Jad'aan). Tetangga miskin itu memeriksa dan mendapatinya masih bernafas. Dipapahnya keluar dan diberikannya minuman.<br /><br />Dia membawa ke rumahnya dengan digendong keatas punggungnya, sementara anak-anaknya tidak ada satupun yang tahu. Setelah pulih, dia kemudian bertanya kepada Ibnu Jad’aan: "Katakan kepadaku, demi Allah, selama seminggu kamu berada di bawah tanah tetapi tidak meninggal ”<br /><br /><br />"Saya akan ceritakan sesuatu yang aneh ..." Ibnu Jad’aan menjelaskan: "... ketika aku berada di dalam sana, aku tersesat, aku berkata : lebih baik aku tinggal dekat yang ada airnya sehingga aku bisa minum. Namun kelaparan tidak punya belas kasihan dan air sudah mulai habis. Lalu setelah tiga hari kelaparan, aku terbaring dan menyerah diri kepada Allah dan meletakkan semua urusan di tanganNya. Tiba-tiba aku merasakan kehangatan tuangan susu ke mulutku. Aku terduduk di tengah-tengah kegelapan dan aku melihat sebuah panci datang menghampiriku. Aku minum darinya dan kemudian ia pergi! Hal ini terjadi tiga kali dalam sehari, tetapi dua hari terakhir ini berhenti dan aku tidak tahu apa yang terjadi. "<br /><br />Tetangganya kemudian memberitahukan kepadanya: "Jika anda tahu alasannya Anda pasti akan kagum! Putra anda berfikir bahwa anda telah meninggal dan mereka datang kepadaku dan untuk mengambil unta betina yang Allah (Subhaanahu Wa Ta'Aala) telah berikan susunya kepada Anda!"<br /><br />“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS: At Talaaq, 2-3) <a href="http://www.rumah-yatim-indonesia.org/" rel="nofollow" target="_blank" style="cursor: pointer; color: rgb(59, 89, 152); text-decoration: none; ">http://www.rumah-yatim-indonesia.org/</a><br /><br />Jika kita belum mampu memberikan Yang Terbaik, mari kita belajar Meng-Abadikan Yang Tersisa.</span><span class="fullpost"></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5082219385398894338.post-15626548393582381172010-05-26T19:17:00.001+07:002010-05-26T19:20:48.558+07:00HARGA SEBUAH KEKUASAAN = 1 GELAS AIR SAJA<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/_5ZVxbIi2l2g/S_0R_aIUZeI/AAAAAAAAA8k/EVj8sCtm810/s1600/images.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 87px; height: 130px;" src="http://1.bp.blogspot.com/_5ZVxbIi2l2g/S_0R_aIUZeI/AAAAAAAAA8k/EVj8sCtm810/s320/images.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5475552502996035042" /></a><br /><span class="fullpost"></span><br />Khalifah Harun Ar Rasyid sedang dalam sebuah perjalanan melintasi sebuah gurun pasir menunggangi unta. Bersamanya Seorang Penasehat yang bijak, Ibnu As Samak. Perjalanan panjang di siang yang panas. Terik matahari membuat dehidrasi dan sang khalifah pun kehausan. Pada satu tempat yang teduh, Harun ar Rasyid menepi.<br /><br />Ibnu Samak menawarkan segelas air sambil berujar, “Khalifah…, dalam kondisi panas dan tenggorokan kehausan, andaikata kau tidak dapatkan air untuk minum kecuali dengan harus mengeluarkan separuh kekuasaanmu, sudikah engkau membayar dan mengeluarkannya? !”<br /><br />Tanpa pikir panjang khalifah ar Rasyid menjawab, “Tentu Aku bersedia membayarnya seharga itu asal tidak mati kehausan!”<br /><br />Maka usai mendengarnya, Ibnus Samak memberikan segelas air itu dan khalifah pun tidak lagi kehausan.<br /><br />Kemudian Ibnu Samak melontarkan pertanyaan lagi, “Wahai Khalifah, andai air segelas yang kau minum tadi tidak keluar dari lambungmu selama beberapa hari tentulah amat sakit rasanya. Perut jadi gak keruan dan semua urusan jadi berantakan karenanya. Andai kata bila kau berobat demi mengeluarkan air itu dan harus menghabiskan separuh kekayaanmu lagi, akankah kau sudi membayarnya? ”<br /><br />Mendengar itu, sang khalifah merenungi kondisi yang disebut oleh Ibnu Samak. Seolah mengamini maka khalifah menjawab, “Saya akan membayarnya meski dengan separuh kekuasaanku !”<br /><br />Mendengar jawaban dari sang khalifah, maka Ibnus Samak sang penasehat raja yang bijak kemudian berkomentar, “O…., kalau begitu seluruh Kekuasaan yang khalifah miliki itu rupanya hanya senilai segelas air saja!”<br /><br />"Seandainya kalian menghitung nikmat Allah, tentu kalian tidak akan mampu"( QS,An-Nahl: 18)<br /><br />Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?" QS. ar-Rahman (55) : 13<div><br /></div><div>Sumber : <span class="Apple-style-span" style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 13px; color: rgb(51, 51, 51); "> RUMAH YATIM INDONESIA</span></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5082219385398894338.post-73419859891454115112010-05-24T09:33:00.000+07:002010-05-24T09:34:34.626+07:00MENCARI SOLUSI DENGAN MEMBERI<span class="fullpost"></span>Sahabat, ternyata untuk mencari solusi dari kemelut masalah yang menyelimuti disetiap langkah kehidupan kita tidak harus selalu dengan upaya dan kerja keras untuk mendapatkan segala yang kita inginkan untuk keluar dari masalah itu, tetapi bisa jadi dengan memberikan sebagian dari apa yang dikaruniakan kepada kita, kita akan mendapatkan solusi yang selama ini kita cari. <br /><br />Dibawah ini sebuah ilustrasi Sunnatullah yang dapat menginspirasi kita dalam mengambil kebijakan untuk keluar dari setiap masalah yang sedang kita hadapi.<br /><br />Dua anak kecil, kakak adik, tampak sibuk di sebuah pojok pekarangan rumah. Salah satu dari mereka terlihat menelungkup seperti mengambil sesuatu dari balik lubang kecil. Sementara yang satunya lagi begitu serius memperhatikan sang kakak. Sambil sesekali ikut melongok ke arah lubang, tangan kanannya tetap erat mencekal ranting kecil.<br /><br />“Dapat, Kak?” ujar sang adik menampakkan wajah penasaran.<br /><br />“Belum, Dik. Lubangnya dalam sekali!” jawab sang kakak yang masih ingin mencoba merogohkan tangannya lebih dalam ke pangkal lubang.<br /><br />Rupanya, dua anak itu sedang berusaha mengambil sebuah bola pimpong yang masuk ke lubang. Tibalah giliran sang adik mengorek-ngorek lubang dengan rantingnya. Ia berharap, bola pimpong bisa tersangkut di ujung ranting dan tercungkil keluar lubang. Tapi, selalu saja ia gagal.<br /><br />Di tengah kebingungan itu, seorang ibu menghampiri mereka. Ia melongok-longok mencari tahu apa yang sedang dilakukan dua anaknya dengan sebuah lubang. Tak lama kemudian, sang ibu pun mengangguk pelan.<br /><br />“Belum berhasil, Nak?” tanya sang ibu sambil memberikan isyarat kehadirannya.<br /><br />“Belum, Bu. Lubangnya dalam sekali!” ujar kedua bocah itu memperlihatkan keputusasaan.<br /><br />“Nak,” ujar sang ibu sambil memegang dua pundak anak-anaknya. “Coba kau isikan air ke lubang. Insya Allah, lubang akan memberikan kalian bola!”<br /><br />Mencari solusi dalam problematika hidup tak ubahnya dengan upaya mengeluarkan sesuatu yang kita inginkan dari dalam lubang yang dalam dan gelap. Butuh cara bijaksana agar yang kita inginkan bisa kita dapatkan dengan mudah.<br /><br />Sayangnya, tak semua kita mampu bijaksana menyikapi lubang problematika hidup tersebut. TAK BANYAK YANG MEMAHAMI BAHWA MENCARI SOLUSI DARI MASALAH TIDAK SELALU DENGAN UPAYA INGIN MENDAPATKAN SESUATU. TAPI JUSTRU DENGAN SEMANGAT MEMBERI. DARI MEMBERI ITULAH, KITA MENDAPATKAN SESUATU YANG KITA INGINKAN.<br /><br />Tepat sekali apa yang diucapkan sang ibu kepada dua anaknya, “Penuhi lubang dengan air, ia akan memberimu bola!”.<br /><br />Oleh karena itu jangan pernah letih denganpekerjaan memberi karena dengan memberi setiap langkah kita selalu diringi dengan solusi. http://www.rumah-yatim-indonesia.org/Unknownnoreply@blogger.com0