Search This Blog
September 14, 2012
Wanita haid dan al quran
Ass. Ustadz Sigit…boleh nggak sih kalo perempuan yang sedang haidl itu memegang mushaf atau membaca al-Qur’an? Soalnya yang saya tau sih, nggak boleh. Tapi gimana kalo pas lagi ujian di kampus dan harus bawa al-Qur’an untuk ujian bacaan al-Qur’an? Terima kasih atas jawabannya.
Jawab :
Pendapat yang umum di masyarakat kita memang melarang perempuan yang sedang haidl membaca al-Qur’an dan memang seperti itulah pendapat mayoritas di kalangan ‘ulama berdasarkan ayat 79 surat al-Waqiah dan juga beberapa hadits sebagai penguat pendapat tersebut. Namun ada juga pendapat yang berbeda yang dikemukakan oleh sebagian ulama yang lain, yakni bahwa perempuan yang sedang haidl boleh saja memegang mushaf dan membaca al-Qur’an. Dan dalil yang dijadikan landasannya pun sama hanya berbeda dalam memahami makna ayat yang dijadikan landasan tersebut. Menurut sebagian ulama ini, suci yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah suci aqidah yakni orang yang beriman. Sedangkan orang yang kafir dan menyekutukan Allah aqidahnya kotor dan najis sebagaimana sebuah ayat dalam surat at-Taubah innamal musyrikuuna najasun (sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis). Najisnya orang musyrik dalam ayat ini ialah najis aqidah atau keyakinannya. Dalil lain yang dijadikan landasan bolehnya perempuan yang sedang haidl membaca al-Qur’an ialah sebuah hadits yang dikemukakan oleh ‘Aisyah radliyallohu ‘anha bahwa Rasulullah SAW selalu berdzikir kepada Allah di semua keadaannya. Sedangkan membaca al-Qur’an termasuk dzikir juga berarti boleh juga walaupun sedang dalam keadaan tidak suci.
Sumber : http://ustadzgawatdarurat.net/sholat/sedang-haid-boleh-baca-al-qur’an-tidak/
Bolehkah seorang wanita yang sedang haid membaca Al Qur’an (dengan hafalannya) ?
Sebagian ulama berpendapat bahwa wanita yang haid dilarang untuk membaca Al Qur’an (dengan hafalannya) dengan dalil:
لاَ تَقرَأِ الْحَا ءضُ َوَلاََ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْانِ
“Orang junub dan wanita haid tidak boleh membaca sedikitpun dari Al Qur’an.” (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi I/236; Al Baihaqi I/89 dari Isma’il bin ‘Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar)
Al Baihaqi berkata, “Pada hadits ini perlu diperiksa lagi. Muhammad bin Ismail al Bukhari menurut keterangan yang sampai kepadaku berkata, ‘Sesungguhnya yang meriwayatkan hadits ini adalah Isma’il bin Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dan aku tidak tahu hadits lain yang diriwayatkan, sedangkan Isma’il adalah munkar haditsnya (apabila) gurunya berasal dari Hijaz dan ‘Iraq’.”
Al ‘Uqaili berkata, “Abdullah bin Ahmad berkata, ‘Ayahku (Imam Ahmad) berkata, ‘Ini hadits bathil. Aku mengingkari hadits ini karena adanya Ismail bin ‘Ayyasi’ yaitu kesalahannya disebabkan oleh Isma’il bin ‘Ayyasi’.”
Syaikh Al Albani berkata, “Hadits ini diriwayatkan dari penduduk Hijaz maka hadits ini dhoif.” (Diringkas dari Larangan-larangan Seputar Wanita Haid dari Irwa’ul Gholil I/206-210)
Kesimpulan dari komentar para imam ahli hadits mengenai hadits di atas adalah sanad hadits tersebut lemah sehingga tidak dapat digunakan sebagai dalil untuk melarang wanita haid membaca Al Qur’an.
Hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha beliau berkata, “Aku datang ke Mekkah sedangkan aku sedang haidh. Aku tidak melakukan thowaf di Baitullah dan (sa’i) antara Shofa dan Marwah. Saya laporkan keadaanku itu kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka beliau bersabda, ‘Lakukanlah apa yang biasa dilakukan oleh haji selain thowaf di Baitullah hingga engkau suci’.” (Hadits riwayat Imam Bukhori no. 1650)
Seorang yang melakukan haji diperbolehkan untuk berdzikir dan membaca Al Qur’an. Maka, kedua hal tersebut juga diperbolehkan bagi seorang wanita yang haid karena yang terlarang dilakukan oleh wanita tersebut -berdasar hadits di atas- hanyalah thowaf di Baitullah. (Jami’ Ahkamin Nisa’ I/183)
Kesimpulan:
Wanita yang sedang haid diperbolehkan untuk berdzikir dan membaca Al Qur’an karena tidak ada dalil yang jelas dan shohih dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang melarang hal tersebut. Wallahu Ta’ala a’lam.
Bolehkah seorang wanita yang sedang haid menyentuh mushhaf Al Qur’an ?
Telah terjadi perselisihan pendapat di kalangan ulama. Ulama yang melarang hal tersebut berdalil dengan ayat:
لاَّ يَمَسَّةُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ
Artinya:
“Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (QS. Al Waqi’ah: 79)
يَمُسُّ maksudnya adalah menyentuh mushhaf al Qur’an. المُطَهَّرُونَ maksudnya adalah orang-orang yang bersuci. Oleh karena itu tidak boleh menyentuh mushaf al Qur’an kecuali bagi orang-orang yang telah bersuci dari hadats besar atau kecil.
Mereka juga berdalil dengan hadits Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm dari bapaknya dari kakeknya bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menulis surat kepada penduduk Yaman dan di dalamnya terdapat perkataan:
لاَّ يَمَسُّ الْقُرْاَنَ إِلاَّ طَا هِرٌ
“Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci.” (Hadits Al Atsram dari Daruqutni)
Sanad hadits ini dho’if namun memiliki sanad-sanad lain yang menguatkannya sehingga menjadi shahih li ghairihi (Irwa’ul Ghalil I/158-161, no. 122)
Ulama yang membolehkan wanita haid menyentuh mushhaf Al Qur’an memberikan penjelasan sebagai berikut:
إِنَّهُ لَقُرْءَانٌ كَرِيْمٌ فِي كِتَابٍ مَّكْنُو نٍ لاَّ يَمَسَّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ تَتِريلٌ مِّن رَّبِّ الْعَا لَمِينَ
Artinya:
“Sesungguhnya Al qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia pada kitab yang terpelihara. Tidak menyentuhya kecuali (hamba-hamba) yang disucikan. Diturunkan oleh Robbul ‘Alamin.” (QS. Al Waqi’ah: 77-80)
Kata ganti ﻪ (-nya pada “Tidak menyentuhnya”) kembali kepada ﻛﺘﺎﺏ ﻣﻜﻨﻮﻥ (Kitab yang terpelihara). Ibnu ‘Abbas, Jabir bin Zaid, dan Abu Nuhaik berkata, “(yaitu) kitab yang ada di langit”.
Adh Dhahhak berkata, “Mereka (orang-orang kafir) menyangka bahwa setan-setanlah yang menurunkan Al Qur’an kepada Muhammad shallallaahu’alaihi wa sallam, maka Allah memberitakan kepada mereka bahwa setan-setan tidak kuasa dan tidak mampu melakukannya.” (Tafsir Ath Thobari XI/659).
Mengenai ﺍﻟﻤُﻄَﻬَّﺮُﻭﻥَ menurut pendapat beberapa ulama, di antaranya:
Ibnu ‘Abbas berkata, “Adalah para malaikat. Demikian pula pendapat Anas, Mujahid, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Adh Dhahhak, Abu Sya’tsa’ , Jabir bin Zaid, Abu Nuhaik, As Suddi, ‘Abdurrohman bin Zaid bin Aslam, dan selain mereka.” [Tafsir Ibnu Katsir (Terj.)]
Ibnu Zaid berkata, “yaitu para malaikat dan para Nabi. Para utusan (malaikat) yang menurunkan dari sisi Allah disucikan; para nabi disucikan; dan para rasul yang membawanya juga disucikan.” (Tafsir Ath Thobari XI/659)
Imam Asy Syaukani berkata dalam Nailul Author, Kitab Thoharoh, Bab Wajibnya Berwudhu Ketika Hendak Melaksanakan Sholat, Thowaf, dan Menyentuh Mushhaf: “Hamba-hamba yang disucikan adalah hamba yang tidak najis, sedangkan seorang mu’min selamanya bukan orang yang najis berdasarkan hadits:
الْمُؤْمِنُ لاَ يَنْجُسُ
“Orang mu’min itu tidaklah najis.” (Muttafaqun ‘alaih)
Maka tidak sah membawakan arti (hamba) yang disucikan bagi orang yang tidak junub, haid, orang yang berhadats, atau membawa barang najis. Akan tetapi, wajib untuk membawanya kepada arti: Orang yang tidak musyrik sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.” (QS. At Taubah: 28)
Di samping itu lafadz yang digunakan dalam ayat tersebut adalah dalam bentuk isim maf’ul-nya (orang-orang yang disucikan), bukan dalam bentuk isim fa’il (orang-orang yang bersuci). Tentu hal tersebut mengandung makna yang sangat berbeda.
Mengenai hadits “Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci”, Syaikh Nashiruddin Al Albani rahimahullah berkata, “Yang paling dekat -Wallahu a’lam- maksud “orang yang suci” dalam hadits ini adalah orang mu’min baik dalam keadaan berhadats besar, kecil, wanita haid, atau yang di atas badannya terdapat benda najis karena sabda beliau shallallahu’alaihi wa sallam: “Orang mu’min tidakah najis” dan hadits di atas disepakati keshahihannya. Yang dimaksudkan dalam hadits ini (yaitu hadits Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci) bahwasanya beliau melarang memberikan kuasa kepada orang musyrik untuk menyentuhnya, sebagaimana dalam hadits:
نَهَى أَنْ يُسَا فَرَ بِا لْقُرْانِ إِلَى أَرْضِ اْلعَدُو
“Beliau melarang perjalanan dengan membawa Al Qur’an menuju tanah musuh.” (Hadits riwayat Bukhori). (Dinukil dari Larangan-larangan Seputar Wanita Haid dari Tamamul Minnah, hal. 107).
Meski demikian, bagi seseorang yang berhadats kecil sedang ia ingin memegang mushaf untuk membacanya maka lebih baik dia berwudhu terlebih dahulu. Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqash berkata, “Aku sedang memegang mushhaf di hadapan Sa’ad bin Abi Waqash kemudian aku menggaruk-garuk. Maka Sa’ad berkata, ‘Apakah engkau telah menyentuh kemaluanmu?’ Aku jawab, ‘Ya.’ Dia berkata, ‘Berdiri dan berwudhulah!’ Maka aku pun berdiri dan berwudhu kemudian aku kembali.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al Muwaththa’ dengan sanad yang shahih)
Ishaq bin Marwazi berkata, “Aku berkata (kepada Imam Ahmad bin Hanbal), ‘Apakah seseorang boleh membaca tanpa berwudhu terlebih dahulu?’ Beliau menjawab, ‘Ya, akan tetapi hendaknya dia tidak membaca pada mushhaf sebelum berwudhu”.
Ishaq bin Rahawaih berkata, “Benar yang beliau katakan, karena terdapat hadits yang dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Beliau bersabda, ‘Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci’ dan demikian pula yang diperbuat oleh para shahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.” (Dari Larangan-larangan Seputar Wanita Haid, dari Irwaul Gholil I/161 dari Masa’il Imam Ahmad hal. 5)
Abu Muhammad bin Hazm dalam Al Muhalla I/77 berkata, “Menyentuh mushhaf dan berdzikir kepada Allah merupakan ibadah yang diperbolehkan untuk dilakukan dan pelakunya diberi pahala. Maka barangsiapa yang melarang dari hal tersebut, maka ia harus mendatangkan dalil.” (Jami’ Ahkamin Nisa’ I/188).
Kesimpulan:
Wanita yang sedang haid diperbolehkan menyentuh mushhaf Al Qur’an karena tidak ada dalil yang jelas dan shohih yang melarang hal tersebut. Wallaahu Ta’ala A’lam.
Rujukan:
Larangan-larangan Seputar Wanita Haid, artikel Majalah As Sunnah 01/ IV/ 1420-1999, Abu Sholihah Muslim al Atsari.
Jami’ Ahkamin Nisa’, Syaikh Musthofa al ‘Adawi.
Tafsir Al Qur’an Al ‘Adziim (Terj. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8), Ibnu Katsir.
***
Sumber : http://muslimah.or.id/fikih/hukum-seputar-darah-wanita-haid.html/comment-page-1
Lain halnya cerita pada saat umar masuk Islam. Ketika hendak membunuh Rasulullah saw, beliau berbalik arah ke rumah adiknya karena ada yg mengatakan bahwa adiknya telah masuk Islam.
...Umar langsung menuju ke rumah adiknya. Saat itu di dalam rumah tersebut terdapat Khabbab bin Art yang sedang mengajarkan al-Quran kepada keduanya (Fatimah, saudara perempuan Umar dan suaminya). Namun ketika Khabbab merasakan kedatangan Umar, dia segera bersembunyi di balik rumah. Sementara Fatimah, segera menutupi lembaran al-Quran.
Sebelum masuk rumah, rupanya Umar telah mendengar bacaan Khabbab, lalu dia bertanya :
“Suara apakah yang tadi saya dengar dari kalian?”,
“Tidak ada suara apa-apa kecuali obrolan kami berdua saja”, jawab mereka
“Pasti kalian telah murtad”, kata Umar dengan geram
“Wahai Umar, bagaimana pendapatmu jika kebenaran bukan berada pada agamamu ?”, jawab ipar Umar.
Mendengar jawaban tersebut, Umar langsung menendangnya dengan keras hingga jatuh dan berdarah. Fatimah segera memba-ngunkan suaminya yang berlumuran darah, namun Fatimah pun ditampar dengan keras hingga wajahnya berdarah, maka berkata-lah Fatimah kepada Umar dengan penuh amarah:
“Wahai Umar, jika kebenaran bukan terdapat pada agamamu, maka aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah Rasulullah”
Melihat keadaan saudara perempuannya dalam keadaan ber-darah, timbul penyesalan dan rasa malu di hati Umar. Lalu dia meminta lembaran al-Quran tersebut. Namun Fatimah menolaknya seraya mengatakan bahwa Umar najis, dan al-Quran tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang telah bersuci. Fatimah memerintahkan Umar untuk mandi jika ingin menyentuh mushaf tersebut dan Umar pun menurutinya.
Setelah mandi, Umar membaca lembaran tersebut, lalu membaca : Bismillahirrahmanirrahim. Kemudian dia berkomentar: “Ini adalah nama-nama yang indah nan suci”
Pada saat akan memegang mushnaf Umar terlebih dahulu bersuci, tp dia blm masuk Islam
September 10, 2012
Berkah dan Balasan Sedekah
Oleh: Moch Hisyam
Dalam perjalanan menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji, Abdullah ibnu Mubarak, ulama termasyhur abad ke-12 (1118 M/797 H) singgah di Kota Kufah, Irak. Di kota itu, ia melihat seorang wanita sedang mencabuti bulu itik di tempat sampah.
Dalam hatinya, Ibnu Mubarak merasa bahwa itik itu sudah mati dan telah menjadi bangkai. Ia pun menanyakan hal tersebut kepada si. “Apakah itik ini bangkai atau sudah disembelih?”
Wanita itu menjawab dengan tegas bahwa hewan itu sudah menjadi bangkai dan ia akan tetap mengambilnya untuk dimakan bersama keluarganya.
Karena tak ingin hal itu menimbulkan kemudharatan kepada wanita tersebut maka Ibnu Mubarak terus menanyakan. “Bukankah Nabi SAW telah mengharamkan daging bangkai?” ujar Ibnu Mubarak. Namun demikian, wanita itu tetap pada pendiriannya.
Ia pun membentak dan memerintahkan Ibnu Mubarak untuk meninggalkan dirinya dengan bangkai tersebut. “Sudah, pergilah kau dari sini!
Tapi, Ibnu Mubarak tetap bertahan dan terus menanyakannya, hingga akhirnya wanita itu membuka rahasianya. Wanita itu menjawab, “Aku mempunyai putra yang masih kecil-kecil, sudah tiga hari mereka tidak makan, sehingga aku terpaksa memberi mereka daging bangkai ini.”
Mendengar jawaban sedih wanita itu, Abdullah bin Mubarak segera pergi kembali mengambil makanan dan pakaian, yang diangkut dengan menggunakan keledainya. Kemudian, ia kembali ke tempat wanita itu. Setelah bertemu muka, ia berkata, “Ini uang, pakaian, dan makanan. Ambillah berikut keledai dan segala yang ada padanya!”
Kemudian, Ibnu Mubarak tinggal di kota itu karena waktu haji telah lewat. Akhirnya, ketika orang-orang telah menunaikan haji pulang kembali ke negeri mereka, maka Abdullah pulang juga bersama mereka.
Setelah tiba di kotanya, orang-orang datang kepadanya sambil mengucapkan selamat karena telah menunaikan ibadah haji. Tetapi, Ibnu Mubarak menjawab, “Tahun ini aku tidak jadi naik haji!”
Seseorang menegurnya, “Subhanallah, bukankah aku telah menitipkan uangku kepada Anda, lalu aku ambil kembali di Arafah?” Yang lain berkata, “Bukankah Anda telah memberi minum di suatu tempat dulu?” Sementara yang lain berkata pula, “Bukankah Anda telah membelikanku ini dan itu?”
Abdullah menjawab, “Aku tidak mengerti apa yang kalian katakan, sebab aku tidak jadi naik haji pada tahun ini.” Pada intinya, mereka yang menemui Abdullah ibnu Mubarak menyaksikan dirinya menunaikan ibadah haji.
Pada malam harinya, di kala tidur, Abdullah ibnu Mubarak bermimpi. Ia mendengar suara gaib yang mengatakan, “Hai Abdullah, sesungguhnya Allah telah menerima sedekahmu dan telah mengutus seorang malaikat menyerupai dirimu untuk melaksanakan ibadah haji sebagai ganti dirimu!”
Kisah yang terdapat dalam kitab “An-Nawadir” karya Ahmad Syihabudin bin Salamah Al-Qalyubiy ini memberikan pelajaran kepada kita untuk lebih mendahulukan membantu orang yang membutuhkan uluran tangan, ketimbang melaksanakan haji berkali-kali. Apalagi bila hanya untuk memuaskan nafsu semata. Wallahu a’lam.
Sumber :
RT @republikaonline: Berkah dan Balasan Sedekah http://t.co/PZywVWFf
August 30, 2012
"Janganlah terlahir fatwa padahal Imam Malik masih hidup di Madinah.
2) Dalam masa Atba'ut Tabi'in ungkapan ini masyhur tersepakati, "Janganlah terlahir fatwa padahal Imam Malik masih hidup di Madinah.
3) Termula ia dari kejadian aneh; kala seorang wanita yang dikenal sebagai pezina meninggal & perempuan ahli rawat jenazah dipanggil.
4) Perawat jenazah pun memandikan jasad wanita itu; tapi dengan rasa geram di hati mengingat bahwa si mayyit masyhur sebagai pendosa.
5) Maka tatkala membasuh bagian kemaluan sang mayat; tak mampu lagi menahan gemas hati, diapun memukulnya & menggerutukan serapah
6) "Duhai, sudah berapa kali ini kaupakai mendurhakai Allah!", hardiknya. Ajaib, tangan yang memukul itu melekat di kemaluan jenazah
7) SubhanaLlah, maka jadi ricuhlah suasana pemulasaraan jenazah. Para 'alim & cendikia dihadirkan, ditanya & dimintai jalan keluar.
8) Ada yang mengusulkan potong saja tangan pengurus jenazah. Ada yang berpendapat iris saja bagian tubuh mayyitnya. Semua tak elok.
9) Buntu semua pembahasan, tak memuaskan segala jawaban; maka merekapun membawa perkara ini kepada Imam Daril Hijrah; Malik ibn Anas.
10) Imam Malik menyatakan sembari meleleh air mata, "Ma'adzaLlah, betapa beratnya dosa menuduh zina, hingga Allah menetapkan hadNya.
11) Allah turunkan hukum tentang dosa Qadzaf; menuduh seorang wanita berzina tanpa dapat menghadirkan bukti & 4 saksi dalam QS 24: 4.
12) Maka Imam Malik memfatwakan agar pengurus jenazah yang tangannya melekat di kemaluan mayat itu dikenai had Qadzaf; dera 80 kali.
13) Sebab walau telah masyhur bahwa jenazah yang dimandikan itu semasa hidupnya adalah pezina; tapi tiada 4 saksi melihat langsung.
14) Jadi ringkas kisah; si pengurus jenazah pun dicambuk 80 kali sesuai had Qadzaf. TabarakaLlah, begitu tunai, lepaslah tangannya.
15) Sejak itulah muncul ungkapan, "La yufta wa Malik fil Madinah!" Tapi sungguh kita belajar jauh lebih banyak hal lagi dari #kisah ini.
Sumber : https://twitter.com/salimafillah
August 28, 2012
Makna Al Fatihah
Ayat 1: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”.
Rasakan betapa besar kasih sayang Allah kepada kita semua, bayangkan semua nikmat yang telah kita terima dariNya. Nikmat udara yang kita hirup, nikmat penglihatan, nikmat pendengaran, nikmat sehat. Apakah kita sudah berterima kasih padaNya??. Rasakan kasih sayang dan sifatnya yang maha pengasih serta pemurah. Rasakan getaran dihati anda, hingga timbul dorongan untuk menangis. Silahkan menangis jika dorongan itu memang kuat. Jangan tahan tangisan anda.
Sumber : http://tirtaamijaya.com/2008/07/21/makna-surat-al-fatihah/
Hukum Menyanyi dan Musik dalam Fiqih Islam
1. Pendahuluan
Keprihatinan yang dalam akan kita rasakan, kalau kita melihat ulah generasi muda Islam saat ini yang cenderung liar dalam bermain musik atau bernyanyi. Mungkin mereka berkiblat kepada penyanyi atau kelompok musik terkenal yang umumnya memang bermental bejat dan bobrok serta tidak berpegang dengan nilai-nilai Islam. Atau mungkin juga, mereka cukup sulit atau jarang mendapatkan teladan permainan musik dan nyanyian yang Islami di tengah suasana hedonistik yang mendominasi kehidupan saat ini. Walhasil, generasi muda Islam akhirnya cenderung membebek kepada para pemusik atau penyanyi sekuler yang sering mereka saksikan atau dengar di TV, radio, kaset, VCD, dan berbagai media lainnya.
Tak dapat diingkari, kondisi memprihatinkan tersebut tercipta karena sistem kehidupan kita telah menganut paham sekularisme yang sangat bertentangan dengan Islam. Muhammad Quthb mengatakan sekularisme adalah iqamatul hayati ‘ala ghayri asasin minad dîn, artinya, mengatur kehidupan dengan tidak berasaskan agama (Islam). Atau dalam bahasa yang lebih tajam, sekularisme menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah memisahkan agama dari segala urusan kehidupan (fashl ad-din ‘an al-hayah) (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizhâm Al-Islâm, hal. 25). Dengan demikian, sekularisme sebenarnya tidak sekedar terwujud dalam pemisahan agama dari dunia politik, tetapi juga nampak dalam pemisahan agama dari urusan seni budaya, termasuk seni musik dan seni vokal (nyanyian).
Kondisi ini harus segera diakhiri dengan jalan mendobrak dan merobohkan sistem kehidupan sekuler yang ada, lalu di atas reruntuhannya kita bangun sistem kehidupan Islam, yaitu sebuah sistem kehidupan yang berasaskan semata pada Aqidah Islamiyah sebagaimana dicontohkan Rasulullah Saw dan para shahabatnya. Inilah solusi fundamental dan radikal terhadap kondisi kehidupan yang sangat rusak dan buruk sekarang ini, sebagai akibat penerapan paham sekulerisme yang kufur. Namun demikian, di tengah perjuangan kita mewujudkan kembali masyarakat Islami tersebut, bukan berarti kita saat ini tidak berbuat apa-apa dan hanya berpangku tangan menunggu perubahan. Tidak demikian. Kita tetap wajib melakukan Islamisasi pada hal-hal yang dapat kita jangkau dan dapat kita lakukan, seperti halnya bermain musik dan bernyanyi sesuai ketentuan Islam dalam ruang lingkup kampus kita atau lingkungan kita.
Tulisan ini bertujuan menjelaskan secara ringkas hukum musik dan menyanyi dalam pandangan fiqih Islam. Diharapkan, norma-norma Islami yang disampaikan dalam makalah ini tidak hanya menjadi bahan perdebatan akademis atau menjadi wacana semata, tetapi juga menjadi acuan dasar untuk merumuskan bagaimana bermusik dan bernyanyi dalam perspektif Islam. Selain itu, tentu saja perumusan tersebut diharapkan akan bermuara pada pengamalan konkret di lapangan, berupa perilaku Islami yang nyata dalam aktivitas bermain musik atau melantunkan lagu. Minimal di kampus atau lingkungan kita.
2. Definisi Seni
Karena bernyanyi dan bermain musik adalah bagian dari seni, maka kita akan meninjau lebih dahulu definisi seni, sebagai proses pendahuluan untuk memahami fakta (fahmul waqi’) yang menjadi objek penerapan hukum. Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa seni adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), indera pendengar (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama) (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 13).
Adapun seni musik (instrumental art) adalah seni yang berhubungan dengan alat-alat musik dan irama yang keluar dari alat-alat musik tersebut. Seni musik membahas antara lain cara memainkan instrumen musik, cara membuat not, dan studi bermacam-macam aliran musik. Seni musik ini bentuknya dapat berdiri sendiri sebagai seni instrumentalia (tanpa vokal) dan dapat juga disatukan dengan seni vokal. Seni instrumentalia, seperti telah dijelaskan di muka, adalah seni yang diperdengarkan melalui media alat-alat musik. Sedang seni vokal, adalah seni yang diungkapkan dengan cara melagukan syair melalui perantaraan oral (suara saja) tanpa iringan instrumen musik. Seni vokal tersebut dapat digabungkan dengan alat-alat musik tunggal (gitar, biola, piano, dan lain-lain) atau dengan alat-alat musik majemuk seperti band, orkes simfoni, karawitan, dan sebagainya (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 13-14). Inilah sekilas penjelasan fakta seni musik dan seni vokal yang menjadi topik pembahasan.
3. Tinjauan Fiqih Islam
Dalam pembahasan hukum musik dan menyanyi ini, penulis melakukan pemilahan hukum berdasarkan variasi dan kompleksitas fakta yang ada dalam aktivitas bermusik dan menyanyi. Menurut penulis, terlalu sederhana jika hukumnya hanya digolongkan menjadi dua, yaitu hukum memainkan musik dan hukum menyanyi. Sebab fakta yang ada, lebih beranekaragam dari dua aktivitas tersebut. Maka dari itu, paling tidak, ada 4 (empat) hukum fiqih yang berkaitan dengan aktivitas bermain musik dan menyanyi, yaitu:
Pertama, hukum melantunkan nyanyian (ghina’).
Kedua, hukum mendengarkan nyanyian.
Ketiga, hukum memainkan alat musik.
Keempat, hukum mendengarkan musik.
Di samping pembahasan ini, akan disajikan juga tinjauan fiqih Islam berupa kaidah-kaidah atau patokan-patokan umum, agar aktivitas bermain musik dan bernyanyi tidak tercampur dengan kemaksiatan atau keharaman.
Ada baiknya penulis sampaikan, bahwa hukum menyanyi dan bermain musik bukan hukum yang disepakati oleh para fuqaha, melainkan hukum yang termasuk dalam masalah khilafiyah. Jadi para ulama mempunyai pendapat berbeda-beda dalam masalah ini (Syaikh Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, hal. 41-42; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96; Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 21-25; Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam, hal. 3). Karena itu, boleh jadi pendirian penulis dalam tulisan ini akan berbeda dengan pendapat sebagian fuqaha atau ulama lainnya. Pendapat-pendapat Islami seputar musik dan menyanyi yang berbeda dengan pendapat penulis, tetap penulis hormati.
3.1. Hukum Melantunkan Nyanyian (al-Ghina’ / at-Taghanni)
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menyanyi (al-ghina’ / at-taghanni). Sebagian mengharamkan nyanyian dan sebagian lainnya menghalalkan. Masing-masing mempunyai dalilnya sendiri-sendiri. Berikut sebagian dalil masing-masing, seperti diuraikan oleh al-Ustadz Muhammad al-Marzuq Bin Abdul Mu’min al-Fallaty mengemukakan dalam kitabnya Saiful Qathi’i lin-Niza’ bab Fi Bayani Tahrimi al-Ghina’ wa Tahrim Istima’ Lahu (Musik.http://www.ashifnet.tripod.com),/ juga oleh Dr. Abdurrahman al-Baghdadi dalam bukunyaSeni dalam Pandangan Islam (hal. 27-38), dan Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki dalamAl-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas (hal. 97-101):
A. Dalil-Dalil Yang Mengharamkan Nyanyian:
a. Berdasarkan firman Allah:
“Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (Qs. Luqmân [31]: 6)
Beberapa ulama menafsirkan maksud lahwal hadits ini sebagai nyanyian, musik atau lagu, di antaranya al-Hasan, al-Qurthubi, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud.
Ayat-ayat lain yang dijadikan dalil pengharaman nyanyian adalah Qs. an-Najm [53]: 59-61; dan Qs. al-Isrâ’ [17]: 64 (Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 20-22).
b. Hadits Abu Malik Al-Asy’ari ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat musik (al-ma’azif).” [HR. Bukhari, Shahih Bukhari, hadits no. 5590].
c. Hadits Aisyah ra Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah) dan menjualbelikannya, mempelajarinya atau mendengar-kannya.” Kemudian beliau membacakan ayat di atas. [HR. Ibnu Abi Dunya dan Ibnu Mardawaih].
d. Hadits dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda:
“Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq, seperti air menumbuhkan kembang.” [HR. Ibnu Abi Dunya dan al-Baihaqi, hadits mauquf].
e. Hadits dari Abu Umamah ra, Rasulullah Saw bersabda:
“Orang yang bernyanyi, maka Allah SWT mengutus padanya dua syaitan yang menunggangi dua pundaknya dan memukul-mukul tumitnya pada dada si penyanyi sampai dia berhenti.” [HR. Ibnu Abid Dunya.].
f. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Auf ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya aku dilarang dari suara yang hina dan sesat, yaitu: 1. Alunan suara nyanyian yang melalaikan dengan iringan seruling syaitan (mazamirus syaithan). 2. Ratapan seorang ketika mendapat musibah sehingga menampar wajahnya sendiri dan merobek pakaiannya dengan ratapan syetan (rannatus syaithan).”
B. Dalil-Dalil Yang Menghalalkan Nyanyian:
a. Firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
b. Hadits dari Nafi’ ra, katanya:
Aku berjalan bersama Abdullah Bin Umar ra. Dalam perjalanan kami mendengar suara seruling, maka dia menutup telinganya dengan telunjuknya terus berjalan sambil berkata; “Hai Nafi, masihkah kau dengar suara itu?” sampai aku menjawab tidak. Kemudian dia lepaskan jarinya dan berkata; “Demikianlah yang dilakukan Rasulullah Saw.” [HR. Ibnu Abid Dunya dan al-Baihaqi].
c. Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra berkata:
Nabi Saw mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata: “Di antara kita ada Nabi Saw yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi Saw bersabda:
“Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.” [HR. Bukhari, dalamFâth al-Bârî, juz. III, hal. 113, dari Aisyah ra].
d. Dari Aisyah ra; dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda Anshar. Tiba-tiba Rasulullah Saw bersabda:
“Mengapa tidak kalian adakan permainan karena orang Anshar itu suka pada permainan.” [HR. Bukhari].
e. Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan sedangkan ia sedang melantunkan syi’ir di masjid. Maka Umar memicingkan mata tidak setuju. Lalu Hasan berkata:
“Aku pernah bersyi’ir di masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaitu Rasulullah Saw)” [HR. Muslim, juz II, hal. 485].
C. Pandangan Penulis
Dengan menelaah dalil-dalil tersebut di atas (dan dalil-dalil lainnya), akan nampak adanya kontradiksi (ta’arudh) satu dalil dengan dalil lainnya. Karena itu kita perlu melihat kaidah-kaidah ushul fiqih yang sudah masyhur di kalangan ulama untuk menyikapi secara bijaksana berbagai dalil yang nampak bertentangan itu.
Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa tidak dibenarkan dari Nabi Saw ada dua hadits shahih yang saling bertentangan, di mana salah satunya menafikan apa yang ditetapkan yang lainnya, kecuali dua hadits ini dapat dipahami salah satunya berupa hukum khusus sedang lainnya hukum umum, atau salah satunya global (ijmal) sedang lainnya adalah penjelasan (tafsir). Pertentangan hanya terjadi jika terjadi nasakh (penghapusan hukum), meskipun mujtahid belum menjumpai nasakh itu (Imam asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul, hal. 275).
Karena itu, jika ada dua kelompok dalil hadits yang nampak bertentangan, maka sikap yang lebih tepat adalah melakukan kompromi (jama’) di antara keduanya, bukan menolak salah satunya. Jadi kedua dalil yang nampak bertentangan itu semuanya diamalkan dan diberi pengertian yang memungkinkan sesuai proporsinya. Itu lebih baik daripada melakukan tarjih, yakni menguatkan salah satunya dengan menolak yang lainnya. Dalam hal ini Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah menetapkan kaidah ushul fiqih:
Al-‘amal bi ad-dalilaini —walaw min wajhin— awlâ min ihmali ahadihima “Mengamalkan dua dalil —walau pun hanya dari satu segi pengertian— lebih utama daripada meninggalkan salah satunya.” (Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh, hal. 390).
Prinsip yang demikian itu dikarenakan pada dasarnya suatu dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan (tak diamalkan). Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan:
Al-ashlu fi ad-dalil al-i’mal lâ al-ihmal “Pada dasarnya dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan.” (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, juz 1, hal. 239).
Atas dasar itu, kedua dalil yang seolah bertentangan di atas dapat dipahami sebagai berikut : bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan hukum umum nyanyian. Sedang dalil yang membolehkan, menunjukkan hukum khusus, atau perkecualian (takhsis), yaitu bolehnya nyanyian pada tempat, kondisi, atau peristiwa tertentu yang dibolehkan syara’, seperti pada hari raya. Atau dapat pula dipahami bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan keharaman nyanyian secara mutlak. Sedang dalil yang menghalalkan, menunjukkan bolehnya nyanyian secara muqayyad (ada batasan atau kriterianya) (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 63-64; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 102-103).
Dari sini kita dapat memahami bahwa nyanyian ada yang diharamkan, dan ada yang dihalalkan.Nyanyian haram didasarkan pada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, yaitu nyanyian yang disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi’il), atau sarana (asy-yâ’), misalnya disertai khamr, zina, penampakan aurat, ikhtilath (campur baur pria–wanita), atau syairnya yang bertentangan dengan syara’, misalnya mengajak pacaran, mendukung pergaulan bebas, mempropagandakan sekularisme, liberalisme, nasionalisme, dan sebagainya. Nyanyian halal didasarkan pada dalil-dalil yang menghalalkan, yaitu nyanyian yang kriterianya adalah bersih dari unsur kemaksiatan atau kemunkaran. Misalnya nyanyian yang syairnya memuji sifat-sifat Allah SWT, mendorong orang meneladani Rasul, mengajak taubat dari judi, mengajak menuntut ilmu, menceritakan keindahan alam semesta, dan semisalnya (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 64-65; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 103).
3.2. Hukum Mendengarkan Nyanyian
a. Hukum Mendengarkan Nyanyian (Sama’ al-Ghina’)
Hukum menyanyi tidak dapat disamakan dengan hukum mendengarkan nyanyian. Sebab memang ada perbedaan antara melantunkan lagu (at-taghanni bi al-ghina’) dengan mendengar lagu (sama’ al-ghina’). Hukum melantunkan lagu termasuk dalam hukum af-‘âl (perbuatan) yang hukum asalnya wajib terikat dengan hukum syara’ (at-taqayyud bi al-hukm asy-syar’i). Sedangkan mendengarkan lagu, termasuk dalam hukum af-‘âl jibiliyah, yang hukum asalnya mubah. Af-‘âl jibiliyyah adalah perbuatan-perbuatan alamiah manusia, yang muncul dari penciptaan manusia, seperti berjalan, duduk, tidur, menggerakkan kaki, menggerakkan tangan, makan, minum, melihat, membaui, mendengar, dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan yang tergolong kepada af-‘âl jibiliyyah ini hukum asalnya adalah mubah, kecuali adfa dalil yang mengharamkan. Kaidah syariah menetapkan:
Al-ashlu fi al-af’âl al-jibiliyah al-ibahah “Hukum asal perbuatan-perbuatan jibiliyyah, adalah mubah.” (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96).
Maka dari itu, melihat —sebagai perbuatan jibiliyyah— hukum asalnya adalah boleh (ibahah). Jadi, melihat apa saja adalah boleh, apakah melihat gunung, pohon, batu, kerikil, mobil, dan seterusnya. Masing-masing ini tidak memerlukan dalil khusus untuk membolehkannya, sebab melihat itu sendiri adalah boleh menurut syara’. Hanya saja jika ada dalil khusus yang mengaramkan melihat sesuatu, misalnya melihat aurat wanita, maka pada saat itu melihat hukumnya haram.
Demikian pula mendengar. Perbuatan mendengar termasuk perbuatan jibiliyyah, sehingga hukum asalnya adalah boleh. Mendengar suara apa saja boleh, apakah suara gemericik air, suara halilintar, suara binatang, juga suara manusia termasuk di dalamnya nyanyian. Hanya saja di sini ada sedikit catatan. Jika suara yang terdengar berisi suatu aktivitas maksiat, maka meskipun mendengarnya mubah, ada kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, dan tidak boleh mendiamkannya. Misalnya kita mendengar seseorang mengatakan, “Saya akan membunuh si Fulan!” Membunuh memang haram. Tapi perbuatan kita mendengar perkataan orang tadi, sebenarnya adalah mubah, tidak haram. Hanya saja kita berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap orang tersebut dan kita diharamkan mendiamkannya.
Demikian pula hukum mendengar nyanyian. Sekedar mendengarkan nyanyian adalah mubah, bagaimanapun juga nyanyian itu. Sebab mendengar adalah perbuatan jibiliyyah yang hukum asalnya mubah. Tetapi jika isi atau syair nyanyian itu mengandung kemungkaran, kita tidak dibolehkan berdiam diri dan wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Nabi Saw bersabda:
“Siapa saja di antara kalian melihat kemungkaran, ubahlah kemungkaran itu dengan tangannya (kekuatan fisik). Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya (ucapannya). Jika tidak mampu, ubahlah dengan hatinya (dengan tidak meridhai). Dan itu adalah selemah-lemah iman.” [HR. Imam Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibnu Majah].
b. Hukum Mendengar Nyanyian Secara Interaktif (Istima’ al-Ghina’)
Penjelasan sebelumnya adalah hukum mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’). Ada hukum lain, yaitu mendengarkan nyanyian secara interaktif (istima’ li al-ghina’). Dalam bahasa Arab, ada perbedaan antara mendengar (as-sama’) dengan mendengar-interaktif (istima’). Mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’) adalah sekedar mendengar, tanpa ada interaksi misalnya ikut hadir dalam proses menyanyinya seseorang. Sedangkan istima’ li al-ghina’, adalah lebih dari sekedar mendengar, yaitu ada tambahannya berupa interaksi dengan penyanyi, yaitu duduk bersama sang penyanyi, berada dalam satu forum, berdiam di sana, dan kemudian mendengarkan nyanyian sang penyanyi (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Jadi kalau mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’) adalah perbuatan jibiliyyah, sedang mendengar-menghadiri nyanyian (istima’ al-ghina’) bukan perbuatan jibiliyyah.
Jika seseorang mendengarkan nyanyian secara interaktif, dan nyanyian serta kondisi yang melingkupinya sama sekali tidak mengandung unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka orang itu boleh mendengarkan nyanyian tersebut.
Adapun jika seseorang mendengar nyanyian secara interaktif (istima’ al-ghina’) dan nyanyiannya adalah nyanyian haram, atau kondisi yang melingkupinya haram (misalnya ada ikhthilat) karena disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, maka aktivitasnya itu adalah haram (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Allah SWT berfirman:
“Maka janganlah kamu duduk bersama mereka hingga mereka beralih pada pembicaraan yang lainnya.” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 140).
“…Maka janganlah kamu duduk bersama kaum yang zhalim setelah (mereka) diberi peringatan.” (Qs. al-An’âm [6]: 68).
3.3. Hukum Memainkan Alat Musik
Bagaimanakah hukum memainkan alat musik, seperti gitar, piano, rebana, dan sebagainya? Jawabannya adalah, secara tekstual (nash), ada satu jenis alat musik yang dengan jelas diterangkan kebolehannya dalam hadits, yaitu ad-duff atau al-ghirbal, atau rebana. Sabda Nabi Saw:
“Umumkanlah pernikahan dan tabuhkanlah untuknya rebana (ghirbal).” [HR. Ibnu Majah] ( Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (Al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 52; Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam, hal. 24).
Adapun selain alat musik ad-duff / al-ghirbal, maka ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan dan ada pula yang menghalalkan. Dalam hal ini penulis cenderung kepada pendapat Syaikh Nashiruddin al-Albani. Menurut Syaikh Nashiruddin al-Albani hadits-hadits yang mengharamkan alat-alat musik seperti seruling, gendang, dan sejenisnya, seluruhnya dha’if. Memang ada beberapa ahli hadits yang memandang shahih, seperti Ibnu Shalah dalamMuqaddimah ‘Ulumul Hadits, Imam an-Nawawi dalam Al-Irsyad, Imam Ibnu Katsirdalam Ikhtishar ‘Ulumul Hadits, Imam Ibnu Hajar dalam Taghliqul Ta’liq, as-Sakhawydalam Fathul Mugits, ash-Shan’ani dalam Tanqihul Afkar dan Taudlihul Afkar juga Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim dan masih banyak lagi. Akan tetapi Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya Dha’if al-Adab al-Mufrad setuju dengan pendapatIbnu Hazm dalam Al-Muhalla bahwa hadits yang mengharamkan alat-alat musik adalahMunqathi’ (Syaikh Nashiruddin Al-Albani, Dha’if al-Adab al-Mufrad, hal. 14-16).
Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla, juz VI, hal. 59 mengatakan:
“Jika belum ada perincian dari Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang sesuatu yang kita perbincangkan di sini [dalam hal ini adalah nyanyian dan memainkan alat-alat musik], maka telah terbukti bahwa ia halal atau boleh secara mutlak.” (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 57).
Kesimpulannya, memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum dasarnya. Kecuali jika ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka pada saat itu suatu alat musik tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil yang mengharamkan, kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah.
3.4. Hukum Mendengarkan Musik
a. Mendengarkan Musik Secara Langsung (Live)
Pada dasarnya mendengarkan musik (atau dapat juga digabung dengan vokal) secara langsung, seperti show di panggung pertunjukkan, di GOR, lapangan, dan semisalnya, hukumnya sama dengan mendengarkan nyanyian secara interaktif. Patokannya adalah tergantung ada tidaknya unsur kemaksiatan atau kemungkaran dalam pelaksanaannya.
Jika terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, misalnya syairnya tidak Islami, atau terjadiikhthilat, atau terjadi penampakan aurat, maka hukumnya haram.
Jika tidak terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka hukumnya adalah mubah (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74).
b. Mendengarkan Musik Di Radio, TV, Dan Semisalnya
Menurut Dr. Abdurrahman al-Baghdadi (Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74-76) danSyaikh Muhammad asy-Syuwaiki (Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 107-108) hukum mendengarkan musik melalui media TV, radio, dan semisalnya, tidak sama dengan hukum mendengarkan musik secara langsung sepereti show di panggung pertunjukkan. Hukum asalnya adalah mubah (ibahah), bagaimana pun juga bentuk musik atau nyanyian yang ada dalam media tersebut.
Kemubahannya didasarkan pada hukum asal pemanfaatan benda (asy-yâ’) —dalam hal ini TV, kaset, VCD, dan semisalnya— yaitu mubah. Kaidah syar’iyah mengenai hukum asal pemanfaatan benda menyebutkan:
Al-ashlu fi al-asy-yâ’ al-ibahah ma lam yarid dalilu at-tahrim “Hukum asal benda-benda, adalah boleh, selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya.” (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 76).
Namun demikian, meskipun asalnya adalah mubah, hukumnya dapat menjadi haram, bila diduga kuat akan mengantarkan pada perbuatan haram, atau mengakibatkan dilalaikannya kewajiban. Kaidah syar’iyah menetapkan:
Al-wasilah ila al-haram haram “Segala sesuatu perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram juga.” (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hal. 86).
4. Pedoman Umum Nyanyian Dan Musik Islami
Setelah menerangkan berbagai hukum di atas, penulis ingin membuat suatu pedoman umum tentang nyanyian dan musik yang Islami, dalam bentuk yang lebih rinci dan operasional. Pedoman ini disusun atas di prinsip dasar, bahwa nyanyian dan musik Islami wajib bersih dari segala unsur kemaksiatan atau kemungkaran, seperti diuraikan di atas. Setidaknya ada 4 (empat) komponen pokok yang harus diislamisasikan, hingga tersuguh sebuah nyanyian atau alunan musik yang indah (Islami):
1. Musisi/Penyanyi.
2. Instrumen (alat musik).
3. Sya’ir dalam bait lagu.
4. Waktu dan Tempat.
Berikut sekilas uraiannya:
1). Musisi/Penyanyi
a) Bertujuan menghibur dan menggairahkan perbuatan baik (khayr / ma’ruf) dan menghapus kemaksiatan, kemungkaran, dan kezhaliman. Misalnya, mengajak jihad fi sabilillah, mengajak mendirikan masyarakat Islam. Atau menentang judi, menentang pergaulan bebas, menentang pacaran, menentang kezaliman penguasa sekuler.
b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar (meniru orang kafir dalam masalah yang bersangkutpaut dengan sifat khas kekufurannya) baik dalam penampilan maupun dalam berpakaian. Misalnya, mengenakan kalung salib, berpakaian ala pastor atau bhiksu, dan sejenisnya.
c) Tidak menyalahi ketentuan syara’, seperti wanita tampil menampakkan aurat, berpakaian ketat dan transparan, bergoyang pinggul, dan sejenisnya. Atau yang laki-laki memakai pakaian dan/atau asesoris wanita, atau sebaliknya, yang wanita memakai pakaian dan/atau asesoris pria. Ini semua haram.
2). Instrumen/Alat Musik
Dengan memperhatikan instrumen atau alat musik yang digunakan para shahabat, maka di antara yang mendekati kesamaan bentuk dan sifat adalah:
a) Memberi kemaslahatan bagi pemain ataupun pendengarnya. Salah satu bentuknya seperti genderang untuk membangkitkan semangat.
b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar dengan alat musik atau bunyi instrumen yang biasa dijadikan sarana upacara non muslim.
Dalam hal ini, instrumen yang digunakan sangat relatif tergantung maksud si pemakainya. Dan perlu diingat, hukum asal alat musik adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
3). Sya’ir
Berisi:
a) Amar ma’ruf (menuntut keadilan, perdamaian, kebenaran dan sebagainya) dan nahi munkar(menghujat kedzaliman, memberantas kemaksiatan, dan sebagainya)
b) Memuji Allah, Rasul-Nya dan ciptaan-Nya.
c) Berisi ‘ibrah dan menggugah kesadaran manusia.
d) Tidak menggunakan ungkapan yang dicela oleh agama.
e) Hal-hal mubah yang tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.
Tidak berisi:
a) Amar munkar (mengajak pacaran, dan sebagainya) dan nahi ma’ruf (mencela jilbab,dsb).
b) Mencela Allah, Rasul-Nya, al-Qur’an.
c) Berisi “bius” yang menghilangkan kesadaran manusia sebagai hamba Allah.
d) Ungkapan yang tercela menurut syara’ (porno, tak tahu malu, dan sebagainya).
e) Segala hal yang bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.
4). Waktu Dan Tempat
a) Waktu mendapatkan kebahagiaan (waqtu sururin) seperti pesta pernikahan, hari raya, kedatangan saudara, mendapatkan rizki, dan sebagainya.
b) Tidak melalaikan atau menyita waktu beribadah (yang wajib).
c) Tidak mengganggu orang lain (baik dari segi waktu maupun tempat).
d) Pria dan wanita wajib ditempatkan terpisah (infishal) tidak boleh ikhtilat (campur baur).
5. Penutup
Demikianlah kiranya apa yang dapat penulis sampaikan mengenai hukum menyanyi dan bermusik dalam pandangan Islam. Tentu saja tulisan ini terlalu sederhana jika dikatakan sempurna. Maka dari itu, dialog dan kritik konstruktif sangat diperlukan guna penyempurnaan dan koreksi.
Penulis sadari bahwa permasalahan yang dibahas ini adalah permasalahan khilafiyah. Mungkin sebagian pembaca ada yang berbeda pandangan dalam menentukan status hukum menyanyi dan musik ini, dan perbedaan itu sangat penulis hormati.
Semua ini mudah-mudahan dapat menjadi kontribusi —walau pun cuma secuil— dalam upaya melepaskan diri dari masyarakat sekuler yang bobrok, yang menjadi pendahuluan untuk membangun peradaban dan masyarakat Islam yang kita idam-idamkan bersama, yaitu masyarakat Islam di bawah naungan Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah. Amin. [M. Shiddiq al-Jawi]
Wallahu a’lam bi ash-showab.
Daftar Bacaan
* Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh. Cetakan II. (Beirut : Darul Bayariq).
* Al-Amidi, Saifuddin. 1996. Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam. Juz I. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).
* Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1991. Seni Dalam Pandangan Islam. Cetakan I. (Jakarta : Gema Insani Press).
* Al-Jazairi, Abi Bakar Jabir. 1992. Haramkah Musik dan Lagu ? (Al-I’lam bi Anna Al-‘Azif wa Al-Ghina Haram). Alih Bahasa oleh Awfal Ahdi. Cetakan I. (Jakarta : Wala` Press).
* Al-Jaziri, Abdurrahman. 1999. Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah. Juz II. Qism Al-Mu’amalat. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).
* Asy-Syaukani. Tanpa Tahun. Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq Al-Haq min ‘Ilm Al-Ushul.(Beirut : Darul Fikr).
* Asy-Syuwaiki, Muhammad. Tanpa Tahun. Al-Khalash wa Ikhtilaf An-Nas. (Al-Quds : Mu`assasah Al-Qudsiyah Al-Islamiyyah).
* An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III (Ushul Al-Fiqh). Cetakan II. (Al-Quds : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir).
* ———-. 1963. Muqaddimah Ad-Dustur.(t.t.p. : t.p.).
* ———-. 1994. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz I. Cetakan IV. (Beirut : Darul Ummah).
* ———-.2001. Nizham Al-Islam. (t.t.p. : t.p.).
* Ath-Thahhan, Mahmud. Tanpa Tahun. Taysir Musthalah Al-Hadits. (Surabaya : Syirkah Bungkul Indah).
* Bulletin An-Nur. Hukum Musik dan Lagu. http://www.alsofwah.or.id/
* Bulletin Istinbat. Mendengarkan Musik, Haram ? http://www.sidogiri.com/
* Fatwa Pusat Konsultasi Syariah. Lagu dan Musik. http://www.syariahonline.com/
* Kusuma, Juanda. 2001. Tentang Musik. http://www.pesantrenvirtual.com/
* “Norma Islam untuk Musisi, Instrumen, Sya’ir, dan Waktu”. Musik.http://www.ashifnet.tripod.com/
* Omar, Toha Yahya. 1983. Hukum Seni Musik, Seni Suara, dan Seni Tari Dalam Islam. Cetakan II. (Jakarta : Penerbit Widjaya).
* Santoso, Iman. Hukum Nyanyian dan Musik. http://www.ummigroup.co.id/
* Wafaa, Muhammad. 2001. Metode Tarjih Atas Kontradiksi Dalil-Dalil Syara’ (Ta’arudh Al-Adillah min Al-Kitab wa As-Sunnah wa At-Tarjih Baynaha). Alih Bahasa oleh Muslich. Cetakan I. (Bangil : Al-Izzah).
Sumber : http://muhammadsugiono.wordpress.com/2011/05/22/hukum-menyanyi-dan-musik-dalam-fiqih-islam/
Hukum Lukisan dan Patung Dalam Islam
Lukisan dan Ukiran
Demikianlah pendirian Islam terhadap gambar yang bertubuh, yakni yang sekarang dikenal dengan patung atau monumen. Tetapi bagaimanakah hukumnya gambar-gambar dan lukisan-lukisan seni yang dilukis di lembaran-lembaran, seperti kertas, pakaian, dinding, lantai, uang dan sebagainya itu?
Jawabnya: Bahwa hukumnya tidak jelas, kecuali kita harus melihat gambar itu sendiri untuk tujuan apa? Di mana dia itu diletakkan? Bagaimana diperbuatnya? Dan apa tujuan pelukisnya itu?
Kalau lukisan seni itu berbentuk sesuatu yang disembah selain Allah, seperti gambar al-Masih bagi orang-orang Kristen atau sapi bagi orang-orang Hindu dan sebagainya, maka bagi si pelukisnya untuk tujuan-tujuan di atas, tidak lain dia adalah menyiarkan kekufuran dan kesesatan. Dalam hal ini berlakulah baginya ancaman Nabi yang begitu keras:
"Sesungguhnya orang yang paling berat siksaannya nanti di hari kiamat ialah orang-orang yang menggambar." (Riwayat Muslim)
Imam Thabari berkata: "Yang dimaksud dalam hadis ini, yaitu orang-orang yang menggambar sesuatu yang disembah selain Allah, sedangkan dia mengetahui dan sengaja. Orang yang berbuat demikian adalah kufur. Tetapi kalau tidak ada maksud seperti di atas, maka dia tergolong orang yang berdosa sebab menggambar saja."
Yang seperti ini ialah orang yang menggantungkan gambar-gambar tersebut untuk dikuduskan. Perbuatan seperti ini tidak pantas dilakukan oleh seorang muslim, kecuali kalau agama Islam itu dibuang di belakang punggungnya.
Dan yang lebih mendekati persoalan ini ialah orang yang melukis sesuatu yang tidak biasa disembah, tetapi dengan maksud untuk menandingi ciptaan Allah. Yakni dia beranggapan, bahwa dia dapat membuat dan menciptakan jenis terbaru seperti ciptaan Allah. Orang yang melukis dengan tujuan seperti itu jelas telah keluar dari agama Tauhid. Terhadap orang ini berlakulah hadis Nabi yang mengatakan:
"Sesungguhnya orang yang paling berat siksaannya ialah orang-orang yang menandingi ciptaan Allah." (Riwayat Muslim)
Persoalan ini tergantung pada niat si pelukisnya itu sendiri.
Barangkali hadis ini dapat diperkuat dengan hadis yang mengatakan:
"Siapakah orang yang lebih berbuat zalim selain orang yang bekerja membuat seperti pembuatanku? Oleh karena itu cobalah mereka membuat biji atau zarrah." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Allah mengungkapkan firmanNya di sini dengan kata-kata "dzahaba yakhluqu kakhalqi" (dia bekerja untuk membuat seperti pembuatanku), ini menunjukkan adanya suatu kesengajaan untuk menandingi dan menentang kekhususan Allah dalam ciptaannya dan keindahannya. Oleh karena itu Allah menentang mereka supaya membuat sebutir zarrah. Ia memberikan isyarat, bahwa mereka itu benar-benar bersengaja untuk maksud tersebut. Justru itu Allah akan membalas mereka itu nanti dan mengatakan kepada mereka: "Hidupkan apa yang kamu cipta itu!" Mereka dipaksa untuk meniupkan roh ke dalam lukisannya itu, padahal dia tidak akan mampu.
Termasuk gambar/lukisan yang diharamkan, yaitu gambar/lukisan yang dikuduskan (disucikan) oleh pemiliknya secara keagamaan atau diagung-agungkan secara keduniaan.
Untuk yang pertama: Seperti gambar-gambar Malaikat dan para Nabi, misalnya Nabi Ibrahim, Ishak, Musa dan sebagainya. Gambar-gambar ini biasa dikuduskan oleh orang-orang Nasrani, dan kemudian sementara orang-orang Islam ada yang menirunya, yaitu dengan melukiskan Ali, Fatimah dan lain-lain.
Sedang untuk yang kedua: Seperti gambar raja-raja, pemimpin-pemimpin dan seniman-seniman. Ini dosanya tidak seberapa kalau dibandingkan dengan yang pertama tadi. Tetapi akan meningkat dosanya, apabila yang dilukis itu orang-orang kafir, orang-orang yang zalim atau orang-orang yang fasik. Misalnya para hakim yang menghukum dengan selain hukum Allah, para pemimpin yang mengajak umat untuk berpegang kepada selain agama Allah atau seniman-seniman yang mengagung-agungkan kebatilan dan menyiarnyiarkan kecabulan di kalangan umat.
Kebanyakan gambar-gambar/lukisan-lukisan di zaman Nabi dan sesudahnya, adalah lukisan-lukisan yang disucikan dan diagung-agungkan. Sebab pada umumnya lukisan-lukisan itu adalah buatan Rum dan Parsi (Nasrani dan Majusi). Oleh karena itu tidak dapat melepaskan pengaruhnya terhadap pengkultusan kepada pemimpin-pemimpin agama dan negara.
Imam Muslim meriwayatkan, bahwa Abu Dhuha pernah berkata sebagai berikut: Saya dan Masruq berada di sebuah rumah yang di situ ada beberapa patung. Kemudian Masruq berkata kepadaku: Apakah ini patung Kaisar? Saya jawab: Tidak! Ini adalah patung Maryam.
Masruq bertanya demikian, karena menurut anggapannya, bahwa lukisan itu buatan Majusi dimana mereka biasa melukis raja-raja mereka di bejana-bejana. Tetapi akhirnya ketahuan, bahwa patung tersebut adalah buatan orang Nasrani.
Dalam kisah ini Masruq kemudian berkata: Saya pernah mendengar Ibnu Mas'ud menceriterakan apa yang ia dengar dari Nabi s.a.w., bahwa beliau bersabda: "Sesungguhnya orang yang paling berat siksaannya di sisi Allah, ialah para pelukis."
Selain gambar-gambar di atas, yaitu misalnya dia menggambar/melukis makhluk-makhluk yang tidak bernyawa seperti tumbuh-tumbuhan, pohon-pohonan, laut, gunung, matahari, bulan, bintang dan sebagainya. Maka hal ini sedikitpun tidak berdosa dan tidak ada pertentangan samasekali di kalangan para ulama.
Tetapi gambar-gambar yang bernyawa kalau tidak ada unsur-unsur larangan seperti tersebut di atas, yaitu bukan untuk disucikan dan diagung-agungkan dan bukan pula untuk maksud menyaingi ciptaan Allah, maka menurut hemat saya tidak haram. Dasar daripada pendapat ini adalah hadis sahih, antara lain:
"Dari Bisir bin Said dari Zaid bin Khalid dari Abu Talhah sahabat Nabi, bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya Malaikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya ada gambar." (Riwayat Muslim)
Bisir berkata: Sesudah itu Zaid mengadukan. Kemudian kami jenguk dia, tiba-tiba di pintu rumah Zaid ada gambarnya. Lantas aku bertanya kepada Ubaidillah al-Khaulani anak tiri Maimunah isteri Nabi: Apakah Zaid belum pernah memberitahumu tentang gambar pada hari pertama? Kemudian Ubaidillah berkata: Apakah kamu tidak pernah mendengar dia ketika ia berkata: "Kecuali gambar di pakaian."
Tarmizi meriwayatkan dengan sanadnya dari Utbah, bahwa dia pernah masuk di rumah Abu Talhah al-Ansari untuk menjenguknya, tiba-tiba di situ ada Sahal bin Hanif. Kemudian Abu Talhah menyuruh orang supaya mencabut seprei yang di bawahnya (karena ada gambarnya). Sahal lantas bertanya kepada Abu Talhah: Mengapa kau cabut dia? Abu Talhah menjawab: Karena ada gambarnya, dimana hal tersebut telah dikatakan oleh Nabi yang barangkali engkau telah mengetahuinya. Sahal kemudian bertanya lagi: Apakah beliau (Nabi) tidak pernah berkata: "Kecuali gambar yang ada di pakaian?" Abu Talhah kemudian menjawab: Betul! Tetapi itu lebih menyenangkan hatiku." (Kata Tarmizi: hadis ini hasan sahih)
Tidakkah dua hadis di atas sudah cukup untuk menunjukkan, bahwa gambar yang dilarang itu ialah yang berjasad atau yang biasa kita istilahkan dengan patung? Adapun gambar-gambar ataupun lukisan-lukisan di papan, pakaian, lantai, tembok dan sebagainya tidak ada satupun nas sahih yang melarangnya.
Betul di situ ada beberapa hadis sahih yang menerangkan bahwa Nabi menampakkan ketidak-sukaannya, tetapi itu sekedar makruh saja. Karena di situ ada unsur-unsur menyerupai orang-orang yang bermewah-mewah dan penggemar barang-barang rendahan.
Imam Muslim meriwayatkan dari jalan Zaid bin Khalid al-Juhani dari Abu Talhah al-Ansari, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Malaikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya ada anjing dan patung. Saya (Zaid) kemudian bertanya kepada Aisyah: Sesungguhnya ini (Abu Talhah) memberitahuku, bahwa Rasulullah s.a.w. telah bersabda. Malaikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya ada anjing dan patung. Apakah engkau juga demikian? Maka kata Aisyah: Tidak! Tetapi saya akan menceriterakan kepadamu apa yang pernah saya lihat Nabi kerjakan, yaitu: Saya lihat Nabi keluar dalam salah satu peperangan, kemudian saya membuat seprei korden (yang ada gambarnya) untuk saya pakai menutup pintu. Setelah Nabi datang, ia melihat korden tersebut. Saya lihat tanda marah pada wajahnya, lantas dicabutnya korden tersebut sehingga disobek atau dipotong sambil ia berkata: Sesungguhnya Allahi tidak menyuruh kita untuk memberi pakaian kepada batu dan tanah. Kata Aisyah selanjutnya: Kemudian kain itu saya potong daripadanya untuk dua bantal dan saya penuhi dengan kulit buah-buahan, tetapi Rasulullah sama sekali tidak mencela saya terhadap yang demikian itu." (Riwayat Muslim)
Hadis tersebut tidak lebih hanya menunjukkan makruh tanzih karena memberikan pakaian kepada dinding dengan korden yang bergambar.
Imam Nawawi berkata: hadis tersebut tidak menunjukkan haram, karena hakikat perkataan sesungguhnya Allah tidak menyuruh kita itu tidak dapat dipakai untuk menunjukkan wajib, sunnat atau haram.
Yang semakna dengan ini diriwayatkan juga oleh Imam Muslim dari jalan Aisyah pula, ia berkata:
"Saya mempunyai tabir padanya ada gambar burung, sedang setiap orang yang masuk akan menghadapnya (akan melihatnya), kemudian Nabi berkata kepadaku: Pindahkanlah ini, karena setiap saya masuk dan melihatnya maka saya ingat dunia."(Riwayat Muslim)
Dalam hadis ini Rasulullah s.a.w. tidak menyuruh Aisyah supaya memotongnya, tetapi beliau hanya menyuruh memindahkan ke tempat lain. Ini menunjukkan ketidaksukaan Nabi melihat, bahwa di hadapannya ada gambar tersebut yang dapat mengingatkan kebiasaan dunia dengan seluruh aneka keindahannya itu; lebih-lebih beliau selalu sembahyang sunnat di rumah. Sebab seprai-seprai dan korden-korden yang bergambar sering memalingkan hati daripada kekhusyu'an dan pemusatan menghadap untuk bermunajat kepada Allah. Ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari jalan Anas, ia mengatakan: Bahwa korden Aisyah dipakai untuk menutupi samping rumahnya, kemudian Nabi menyuruh dia dengan sabdanya:
"Singkirkanlah korden itu dariku, karena gambar-gambarnya selalu tampak dalam sembahyangku." (Riwayat Bukhari)
Dengan demikian jelas, bahwa Nabi sendiri membenarkan di rumahnya ada tabir/korden yang bergambar burung dan sebagainya.
Dari hadis-hadis itu pula, sementara ulama salaf berpendapat: "Bahwa gambar yang dilarang itu hanyalah yang ada bayangannya, adapun yang tidak ada bayangannya tidak menqapa."27
Pendapat ini diperkuat oleh hadis Qudsi yang mengatakan: "Siapakah yang terlebih menganiaya selain orang yang bekerja untuk membuat seperti ciptaanKu? Oleh karena itu cobalah mereka membuat zarrah, cobalah mereka membuat beras belanda!" (Riwayat Bukhari).
Ciptaan Allah sebagaimana kita lihat, bukan terlukis di atas dataran tetapi berbentuk dan berjisim, sebagaimana Dia katakan:
"Dialah Zat yang membentuk kamu di dalam rahim bagaimanapun Ia suka." (ali-Imran: 6)
Tidak ada yang menentang pendapat ini selain hadis yang diriwayatkan Aisyah, dalam salah satu riwayat Bukhari dan Muslim, yang berbunyi sebagai berikut:
"Sesungguhnya Aisyah membeli bantal yang ada gambar-gambarnya, maka setelah Nabi melihatnya ia berdiri di depan pintu, tidak mau masuk. Setelah Aisyah melihat ada tanda kemarahan di wajah Nabi, maka Aisyah bertanya: Apakah saya harus bertobat kepada Allah dan RasulNya, apa salah saya? Jawab Nabi: Mengapa bantal itu begitu macam? Jawab Aisyah: Saya beli bantal ini untuk engkau pakai duduk dan dipakai bantal. Maka jawab Rasulullah pula: Yang membuat gambar-gambar ini nanti akan disiksa, dan akan dikatakan kepada mereka: Hidupkanlah apa yang kamu buat itu. Lantas Nabi melanjutkan pembicaraannya: Sesungguhnya rumah yang ada gambarnya tidak akan dimasuki Malaikat. Dan Imam Muslim menambah dalam salah satu riwayat Aisyah, ia (Aisyah) mengatakan: Kemudian bantal itu saya jadikan dua buah untuk bersandar, dimana Nabi biasa bersandar dengan dua sandaran tersebut di rumah. Yakni Aisyah membelah bantal tersebut digunakan untuk dua sandaran." (Riwayat Muslim)
Akan tetapi hadis ini, nampaknya, bertentangan dengan sejumlah hal-hal sebagai berikut:
1) Dalam riwayat yang berbeda-beda nampak bertentangan. Sebagian menunjukkan bahwa Nabi s.a.w. menggunakan tabir/korden yang bergambar yang kemudian dipotong-potong dan dipakai bantal. Sedang sebagian lagi menunjukkan, bahwa beliau samasekali tidak menggunakannya.
2) Sebagian riwayat-riwayat itu hanya sekedar menunjukkan makruh. Sedang kemakruhannya itu karena korden tembok itu bergambar yang dapat menggambarkan semacam berlebih-lebihan yang ia (Rasulullah) tidak senang. Oleh karena itu dalam Riwayat Muslim, ia berkata: ''Sesungguhnya Allah tidak menyuruh kita supaya memberi pakaian pada batu dan tanah."
3) Hadis Muslim yang diriwayatkan oleh Aisyah itu sendiri menggambarkan di rumahnya ada tabir/korden yang bergambar burung. Kemudian Nabi menyuruh dipindahkan, dengan kata-katanya: "Pindahkanlah, karena saya kalau melihatnya selalu ingat dunia!" Ini tidak menunjukkan kepada haram secara mutlak.
4) Bertentangan dengar: hadis qiram (tabir) yang ada di rumah Aisyah juga, kemudian oleh Nabi disuruhnya menyingkirkan, sebab gambar-gambarnya itu selalu tampak dalam shalat. Sehingga kata al-Hafidh: "Hadis ini dengan hadis di atas sukar sekali dikompromikan (jama'), sebab hadis ini menunjukkan Nabi membenarkannya, dan beliau shalat sedang tabir tersebut tetap terpampang, sehingga beliau perintahkan Aisyah untuk menyingkirkannya, karena melihat gambar-gambar tersebut dalam shalat dan dapat mengingatkan yang bukan-bukan, bukan semata-mata karena gambarnya itu an sich.
Akhirnya al-Hafidh berusaha untuk menjama' hadis-hadis tersebut sebagai berikut: hadis pertama, karena terdapat gambar binatang bernyawa sedang hadis kedua gambar selain binatang ... Akan tetapi inipun bertentangan pula dengan hadis qiram yang jelas di situ bergambar burung.
5) Bertentangan dengan hadis Abu Talhah al-Ansari yang mengecualikan gambar dalam pakaian. Karena itu Imam Qurthubi berpendapat: "Dua hadis itu dapat dijama' sebagai berikut: hadis Aisyah dapat diartikan makruh, sedang hadis Abu Talhah menunjukkan mubah secara mutlak yang sama sekali tidak menafikan makruh di atas." Pendapat ini dibenarkan oleh al-Hafidh Ibnu Hajar.
6) Rawi hadis namruqah (bantal) ada seorang bernama al-Qasim bin Muhammad bin Abubakar, keponakan Aisyah sendiri, ia membolehkan gambar yang tidak ada bayangannya, yaitu seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Aun, ia berkata: "Saya masuk di rumah al-Qasim di Makkah sebelah atas, saya lihat di rumahnya itu ada korden yang ada gambar trenggiling dan burung garuda."28
Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata; Barangkali al-Qasim berpegang pada keumuman hadis Nabi yang mengatakan kecuali gambar dalam pakaian dan seolah-olah dia memahami keingkaran Nabi terhadap Aisyah yang menggantungkan korden yang bergambar dan menutupi dinding. Faham ini diperkuat dengan hadisnya yang mengatakan: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh kita supaya memberi pakaian batu dan tanah." Sedang al-Qasim adalah salah seorang ahli fiqih Madinah yang tujuh, dia juga termasuk orang pilihan pada zaman itu, dia pula rawi hadis namruqah itu. Maka jika dia tidak memaham rukhsakh terhadap korden yang dia pasang itu, niscaya dia tidak akan menggunakannya.29
Tetapi di samping itu tampaknya ada kemungkinan yang tampak pada hadis-hadis yang berkenaan dengan masalah gambar dan pelukisnya, yaitu bahwa Rasulullah s.a.w. memperkeras persoalan ini pada periode pertama dari kerasulannya, dimana waktu itu kaum muslimin baru saja meninggalkan syirik dan menyembah berhala serta mengagung-agungkan patung. Tetapi setelah aqidah tauhid itu mendalam kedalam jiwa dan akar-akarnya telah menghunjam kedalam hati dan pikiran, maka beliau memberi perkenan (rukhshah) dalam hal gambar yang tidak berjasad, yang hanya sekedar ukiran dan lukisan. Kalau tidak begitu, niscaya beliau tidak suka adanya tabir/korden yang bergambar di dalam rumahnya; dan ia pun tidak akan memberikan perkecualian tentang lukisan dalam pakaian, termasuk juga dalam kertas dan dinding.
Ath-Thahawi, salah seorang dari ulama madzhab Hanafi berpendapat: Syara' melarang semua gambar pada permulaan waktu, termasuk lukisan pada pakaian, karena mereka baru saja meninggalkan menyembah patung. Oleh karena itu secara keseluruhan gambar dilarang. Tetapi setelah larangan itu berlangsung lama, kemudian dibolehkan gambar yang ada pada pakaian karena suatu darurat. Syara' pun kemudian membolehkan gambar yang tidak berjasad karena sudah dianggap orang-orang bodoh tidak lagi mengagungkannya, sedang yang berjasad tetap dilarang.
Halal dan Haram dalam Islam
Oleh Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi
Alih bahasa: H. Mu'ammal Hamidy
Penerbit: PT. Bina Ilmu, 1993
Sumber : http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Halal/2038.html
Pergaulan Antar Muslim, Hukum Membunuh sesama Muslim
4.4.2.8 Melindungi Harga Diri
Kedelapan: Kita semua telah memaklumi, bagaimana Islam dengan melalui ajaran-ajarannya telah melindungi kehormatan dan harga diri manusia, bahkan sampai kepada bentuk mensucikannya.
Pada satu hari Ibnu Mas'ud pernah melihat Ka'bah, kemudian dia mengatakan: "Betapa agungnya engkau dan betapa pula agungnya kehormatanmu. Tetapi orang mu'min lebih agung kehormatannya daripada engkau." (Riwayat Tarmizi)
Dalam haji wada', Rasulullah s.a.w, pernah berkhutbah di hadapan khalayak kaum muslimin, di antara isi khutbahnya itu berbunyi sebagai berikut:
"Sesungguhnya harta benda kamu, kehormatanmu, darah kamu haram atas kamu (dilindungi), sebagaimana haramnya harimu ini di bulanmu ini dan di negerimu ini." (Riwayat Tarmizi)
Islam melindungi kehormatan pribadi dari suatu omongan yang tidak disukainya untuk disebut-sebut dalam ghibah, padahal omongan itu cukup benar. Maka bagaimana lagi kalau omongan itu justru dibuat-buat dan tidak berpangkal? Jelas merupakan dosa besar. Seperti dituturkan dalam hadis Nabi:
"Barangsiapa membicarakan seseorang dengan sesuatu yang tidak ada padanya karena hendak mencela dia, maka Allah akan tahan dia di neraka jahanam, sehingga dia datang untuk membebaskan apa yang dia omongkan itu." (Riwayat Thabarani)
Aisyah juga pernah meriwayatkan:
"Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah bertanya kepada para sahabatnya: Tahukah kamu riba apakah yang teramat berat di sisi Allah? Mereka menjawab: Allah dan RasulNya yang maha tahu. Kemudian bersabdalah Rasulullah: Sesungguhnya riba yang teramat berat di sisi Allah, ialah: menghalalkan kehormatan pribadi seorang muslim."
Kemudian Rasulullah s.a.w. membacakan ayat:
"Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu'min laki-laki dan perempuan dengan sesuatu yang pada hakikatnya mereka tidak berbuat, maka sungguh mereka telah memikul dusta dan dosa yang terang-terangan." (al-Ahzab: 58)33
Bentuk penodaan kehormatan yang paling berat ialah menuduh orang-orang mu'min perempuan yang terpelihara, melakukan suatu kemesuman. Karena tuduhan tersebut akan membawa bahaya yang besar kalau mereka mendengarnya dan didengar pula oleh keluarga-keluarganya, serta akan berbahaya untuk masa depan mereka. Lebih-lebih kalau hal itu didengar oleh orang-orang yang suka menyebar luaskan kejahatan di tengah-tengah masyarakat Islam.
Justru itu Rasulullah menganggapnya sebagai salah satu daripada dosa-dosa besar yang akan meruntuhkan. Dan al-Quran pun mengancamnya dengan hukuman yang amat berat.
Firman Allah:
"Sesungguhnya orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang bersih jujur dan beriman, mereka itu dilaknat di dunia dan di akhirat, dan bagi mereka siksaan yang besar, yaitu pada hari di mana lidah, tangan dan kaki mereka akan menyaksikan atas mereka tentang apa-apa yang pernah mereka lakukan. Pada hari itu Allah akan menyempurnakan balasan mereka dengan benar, dan mereka tahu sesungguhnya Allah, Dialah yang benar yang nyata." (an-Nur: 23-25)
Dan firmanNya pula:
"Sesungguhnya orang-orang yang senang untuk tersiarnya kejelekan di kalangan orang-orang mu'min, kelak akan mendapat siksaan yang pedih di dunia dan akhirat, dan Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui." (an-Nur: 19)
4.4.2.9 Kehormatan Darah
Kesembilan: Islam membersihkan kehidupan ummat manusia dan melindungi kehormatan setiap orang serta menetapkan, bahwa menodainya berarti suatu dosa besar di hadapan Allah, sesudah dosa kufur.
Al-Quran mengatakan sebagai berikut:
"Bahwasanya, barangsiapa membunuh suatu jiwa, padahal dia tidak membunuh jiwa atau tidak membuat kerusuhan di permukaan bumi, maka seolah-olah dia telah membunuh manusia seluruhnya." (al-Maidah: 32)
Hal ini disebabkan jenis manusia itu seluruhnya pada dasarnya satu usrah (satu keluarga). Jadi kalau ada permusuhan oleh seseorang kepada orang lain, sama halnya dengan memusuhi jenis manusia itu sendiri.
Lebih hebat lagi haramnya, apabila pihak yang terbunuh justru orang Islam. Firman Allah:
"Barangsiapa membunuh seorang mu'min dengan sengaja, maka balasannya neraka jahanam dengan kekal abadi di dalamnya, dan Allah akan murka dan melaknatnya serta mempersiapkan untuknya siksaan yang besar." (an-Nisa': 93)
Dan Rasulullah s.a.w. juga bersabda:
"Sungguh lenyapnya dunia akan lebih mudah bagi Allah ada (hilangnya dosa) seseorang yang membunuh orang Islam." (Riwayat Muslim, Nasa'i dan Tarmizi)
Dan sabdanya juga:
"Senantiasa seorang mu'min dalam kelapangan dari agamanya selama dia tidak mengenai darah haram." (Riwayat Bukhari)
Dan ia bersabda pula:
"Setiap dosa ada harapan Allah akan mengampuninya, kecuali seorang laki-laki yang mati dalam keadaan syirik atau seorang laki-laki membunuh seorang mu'min dengan sengaja." (Riwayat Abu Daud, Ibnu Hibban dan Hakim)
Terhadap ayat dan hadis-hadis tersebut, Ibnu Abbas berpendapat, bahwa taubatnya seorang pembunuh tidak bakal diterima. Jadi seolah-olah dia berpendapat, bahwa di antara syarat taubat tidak akan diterima kecuali dengan mengembalikan hak-hak tersebut kepada keluarga terbunuh atau minta kerelaannya. Sekarang bagaimana mungkin dia dapat mengembalikan hak orang yang terbunuh itu kepadanya atau minta direlakannya?
Yang lain berpendapat: bahwa taubat yang ikhlas itu dapat diterima dan menghapuskan syirik, apalagi dosa di bawah syirik?
Firman Allah:
"Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan lain bersama Allah, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali karena hak dan tidak berzina. Barangsiapa berbuat demikian, maka dia akan menjumpai dosanya yang dilipat-gandakan baginya siksaan kelak di hari kiamat dan akan kekal dalam siksaan itu dengan keadaan hina, kecuali orang yang taubat dan beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan diganti oleh Allah kejelekan-kejelekannya dengan kebaikan-kebaikan, dan adalah Allah Maha Pengam pun lagi Maha Belas-kasih." (al-Furqan: 68-70)
4.4.2.9.1 Pembunuh dan yang Terbunuh, Kedua-duanya di Neraka
Rasulullah s.a.w. menilai, bahwa membunuh seorang muslim sebagai satu bagian daripada kufur dan salah satu perbuatan jahiliah yang suka melancarkan peperangan dan mengalirkan darah kendati hanya karena seekor unta atau kuda. Maka kata Rasulullah s.a.w.:
"Memaki seorang muslim adalah fasik, dan memeranginya adalah kufur." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dan sabdanya pula:
"Jangan kamu kembali kafir sesudah aku meninggal, yaitu sebagian kamu memukul leher sebagiannya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dan pernah juga ia bersabda:
"Apabila ada dua orang Islam, salah satunya membawa senjata untuk membunuh saudaranya, maka kedua-duanya berada di tepi jahanam; dan apabila salah satunya membunuh kawannya, maka kedua-duanya masuk jahanam. Kemudian Rasulullah s.a.w. ditanya: Ya Rasulullahl Ini yang membunuh memang mungkin, tetapi mengapa yang terbunuh sampai begitu? Jawab Nabi: Karena dia bermaksud akan membunuh saudaranya juga." (Riwayat Bukhari)
Oleh karena itulah Rasulullah s.a.w. melarang setiap perbuatan yang dapat membawa kepada pembunuhan atau peperangan, kendati hanya sekedar berisyarat dengan senjata. Sepertisabdanya:
"Janganlah salah seorang di antara kamu berisyarat kepada saudaranya dengan pedang, sebab dia tidak tahu barangkali syaitan akan melepaskan dari tangannya, maka dia akan jatuh ke jurang neraka." (Riwayat Bukhari)
Dan sabdanya pula:
"Barangsiapa mengisyaratkan besi kepada kawannya, maka Malaikat akan melaknatnya sehingga ia berhenti, sekalipun dia itu saudara sekandung." (Riwayat Muslim)
Bahkan ia bersabda:
"Tidak halal seorang muslim menakut-nakuti orang lain." (Riwayat Abu Daud dan Thabarani dan rawi-rawinya kepercayaan)
Dosa ini tidak terbatas kepada si pembunuhnya saja, bahkan semua orang yang terlibat dalam pembunuhan itu, baik dengan perkataan ataupun perbuatan akan mendapat murka dari Allah sebesar dosa keterlibatannya itu. Sampai pun orang yang menyaksikan pembunuhan itu akan mendapat bagian dosa juga. Seperti disebutkan dalam hadis Nabi yang mengatakan:
"Jangan sampai salah seorang dari antara kamu berdiri di suatu tempat yang dilakukan pembunuhan terhadap seseorang dengan penganiayaan. Sebab laknat akan turun kepada orang yang menyaksikan sedangkan dia tidak mau membelanya." (Riwayat Thabarani dan Baihaqi dengan sanad hasan)
4.4.2.9.2 Dilindunginya Darah Kafir 'Ahdi dan Dzimmi
Nas-nas yang berkenaan dengan larangan membunuh dan peperangan ditujukan untuk ummat Islam, karana nas-nas itu datang sebagai suatu ketetapan dan bimbingan untuk kaum muslimin dalam masyarakat Islam.
Tetapi ini tidak berarti, bahwa selain orang Islam darahnya halal. Sebab pada dasarnya jiwa manusia dilindungi Allah dan dijaganya dengan hukum kemanusiaannya itu sendiri, selama mereka itu bukan kafir harbi (kafir yang memerangi Islam), karena kafir harbi darahnya halal.
Adapun kafir 'ahdi atau kafir dzimmi (kafir yang berada di bawah naungan pemerintah Islam), darahnya tetap dilindungi, tidak seorang muslim pun diperkenankan memusuhinya.
Untuk itu Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
"Barangsiapa membunuh seorang kafir ahdi, maka dia tidak akan mencium bau sorga, sedang bau sorga itu tercium sejauh perjalanan 40 tahun." (Riwayat Bukhari dan lain-lain)
Dan dalam satu riwavat dikatakan:
"Barangsiapa membunuh seorang laki-laki dari ahli dzimmah, maka dia tidak akan mencium bau sorga." (Riwayat Nasa'i)
Halal dan Haram dalam Islam
Oleh Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi
Alih bahasa: H. Mu'ammal Hamidy
Penerbit: PT. Bina Ilmu, 1993
Sumber : http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Halal/40428.html
August 25, 2012
Isbal Bukan Pada Celana (Kontroversial)
Oleh : Anwar Baru Belajar
Berbicara mengenai isbal adalah berbicara masalah agama, berbicara masalah agama bukanlah masalah yang main-main, sebab konsekwensinya adalah berhubungan ففي النار (neraka). Maka jujur saja, tidak ada seorangpun yang ingin masuk ke neraka akibat meremehkan hadits-hadits nabi tentang larangan isbal.
Dalam pembahasan ini, kita tidak sama sekali membahas antara sombong dan tidak sombong. Karena sifat sombong adalah sifat yang sangat buruk. Dan tidak seorangpun yang berakal sehat dan mengerti agama dengan baik akan bersikap sombong dan menolak kebenaran sebuah hadits yang shahih yang datangnya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hanya saja kita mencoba membuka wawasan tentang isbal yang selama ini sangat sering diperdebatkan. Para ulama-pun berselisih pendapat tentang hukum isbal jika bukan karena sombong, namun jika orang yang melakukan isbal karena sombong, seluruh ulama sepakat atas keharamannya. Dan saya sendiri (Anwar Baru Belajar: red) sangat menyetujui sikap kehati-hatian para ikhwan sekalian dalam berpakaian dan menjaga dirinya agar tidak terjatuh dalam isbal, dan bagi saya itu adalah sikap yang sangat baik dan perlu dicontoh karena merupakan sebuah keutamaan. Adapun yang mempunyai sikap atau pendapat yang berseberangan janganlah mengolok-olok dengan olokan yang tidak terpuji.
Allah berfirman :
Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). [ Qs. 49: 11].
Isbal terdapat pada sarung, baju gamis ataupun sorban bukan pada celana
Sebagaimana tertera dalam hadits ini;
عن عبد الله بن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: الإسبال في الإزاروالقميص والعمامة, من جر منها شيئا خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة. (رواه أبو داود وغيره وقال الألباني صحيح)
Dari Abdullah bin Umar dari Nabi -shollallohu alaihi wasallam-bersabda: “Isbal terdapat pada sarung, baju gamis ataupunsorban . Barangsiapa menyeret salah satu darinya karena sombong, maka pada hari kiamat nanti, Allah tidak akan mau melihat kepadanya” (HR. Abu Dawud dan yang lainnya. Albany mengatakan: Hadits ini shohih).
Saya mengajak ikhwan sekalian untuk memperhatikan benar-benar redaksi hadits-hadits berikut dan perhatikan hadits-hadits di bawah ini, hampir secara keseluruhan di dalam matan hadits tertuliskan الإزارatau sarung. Dan tidak ada satupun yang memuat سَرَاوِيلَ atau celana.Padahal celana sudah ada pada jaman Rasulullah, dan itu terbukti dengan banyaknya hadits shahih yang menerangkan tentang celana. Beliau berkata-kata dengan kalimat yang sangat jelas dan tegas.
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. tidak berbicara cepat sebagaimana kalian. Tetapi beliau berbicara dengan kata-kata yang jelas dan tegas. Orang yang duduk bersamanya akan dapat menghafal (kata-katanya)".(Diriwayatkan oleh Humaid bin Mas’adah al Bashriyyi, dari Humaid al Aswad, dari Usamah bin Zaid, dari Zuhri, dari `Urwah, yang bersumber dari `Aisyah radhiyallahu'anha.)
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. suka mengulang kata-kata yang diucapkannya sebanyak tiga kali agar dapat dipahami.”(Diriwayatkan oleh Muhammad bin Yahya, dari Abu Qutaibah –Muslim bin Qutaibah-. dari `Abdullah bin al Mutsani, dari Tsumamah, yang bersumber dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu.)
Silahkan dilihat hadits-hadits tsb pada bagian bawah artikel ini.
Pengertian Izar إِزَار adalah sarung / kain bawahan ihram , bukan termasuk celana adalah sebagaimana bunyi hadits مَنْ لَمْ يَجِدْ إِزَارًا فَلْيَلْبَسْ سَرَاوِيلَ sangat jelas ada kata "izar" dan "sarawil" dua subtansi yang berbeda, terlihat dalam gambar di bawah sebagaimana keterangan hadits berikut;
صحيح البخاري ٥٣٥٧:
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرٍو عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ لَمْ يَجِدْ إِزَارًا فَلْيَلْبَسْ سَرَاوِيلَ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِ
Shahih Bukhari 5357:
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim telah menceritakan kepada kami Sufyan dari 'Amru dari Jabir bin Zaid dari Ibnu Abbas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Barangsiapa tidak mendapat sarung (ketika berihram), hendaknya ia mengenakan celana panjang, dan siapa yang tidak mendapatkan sandal, hendaknya ia mengenakan sepatu."
Gambar Izar إِزَار atau sarung
Dalam Kamus Al Munawwir disebutkan kain, sarung dan celana dalam bahasa Arab;
اَْلقُمَاشُ :Kain
إزار : Sarung
Celana : بنطلون / سروال
Hadits-Hadits Tentang Isbal
[HADITS PERTAMA]
. عن أبي ذر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة ولا ينظر إليهم ولا يزكيهم ولهم عذاب أليم. قال فقرأها رسول الله صلى الله عليه وسلم ثلاث مرارا. قال أبو ذر: خابوا وخسروا من هم يا رسول الله؟ قال: المسبل والمنان والمنفق سلعته بالحلف الكاذب (رواه مسلم
Dari Abu Dzar, dari Nabi -shollallohu alaihi wasallam-bersabda: “Ada tiga golongan, -yang pada hari kiamat nanti- Allah tidak bicara dengan mereka, tidak melihat mereka, tidak membersihkan (dosa) mereka dan bagi mereka siksa yang pedih”. Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- mengulangi sabdanya itu tiga kali. Abu dzar mengatakan: “Sungguh celaka dan merugilah mereka! wahai Rasulullah, siapakah mereka?”. Beliau menjawab: “Orang yang isbal, orang yang mengungkit-ngungkit pemberiannya dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu”. (HR. Muslim)
[HADITS KEDUA]
2. عن محمد بن عقيل سمعت ابن عمر يقول: كساني رسول الله صلى الله عليه وسلم قبطية، وكسا أسامة حلة سيراء. قال: فنظر فرآني قد أسبلت فجاء فأخذ بمنكبي, وقال: يا ابن عمر! كل شيء مس الأرض من الثياب ففي النار. قال: فرأيت ابن عمر يتزر إلى نصف الساق (رواه أحمد وقال الأرناؤوط: صحيح لغيره وهذا إسناد حسن)
Dari muhammad bin ‘aqil aku mendengar ibnu umar bercerita: Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- pernah memberiku baju qibtiyah dan memberikan kepada usamah baju hullah siyaro. Ibnu Umar mengatakan: ketika Nabi -shollallohu alaihi wasallam- melihatku isbal beliau datang dan memegang pundakku seraya berkata: “Wahai Ibnu Umar! semua pakaianyang menyentuh tanah, (nantinya) di neraka”. Ibnu Aqil berkata: “Dan (setelah itu) aku melihat Ibnu Umar selalu memakai sarungnya hingga pertengahan betis” (HR. Ahmad. al-Arnauth mengatakan: Derajat haditsnya shahih lighairihi, sedang sanad ini hasan)
Perhatikan kalimat : yang menyentuh tanah, artinya sampai menyentuh tanah. Bagaimana yang tidak menyentuh tanah ?
[HADITS KETIGA]
3. عن عبد الرحمن بن يعقوب قال: سألت أبا سعيد الخدري عن الإزار, فقال: على الخبير سقطت! قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إزرة المسلم إلى نصف الساق ولا حرج أو لا جناح فيما بينه وبين الكعبين, ما كان أسفل من الكعبين فهو في النار, من جر إزاره بطرا لم ينظر الله إليه. (رواه أبو داود وقال الألباني صحيح)
Dari Abdur Rahman bin Ya’qub berkata: aku pernah bertanya kepada Abu Sa’id al-Khudri tentang sarung, maka dia menjawab: “Kamu menepati orang yang tahu betul masalah ini! Rasulullah -shollallohu alaihi wasallam- pernah bersabda: ‘Sarung seorang muslim adalah sebatas pertengahan betis, dan tidak mengapa sarung yang berada antara batas tersebut hingga mata kaki. Adapun yang lebih rendah dari mata kaki, ia di neraka. Dan barangsiapa yang menyeret sarungnya karena takabur, maka Allah tidak akan mau melihat kepadanya (pada hari kiamat nanti)”. (HR. Abu Dawud, dan Albany mengatakan: shohih)
[HADITS KEEMPAT]
4. عن عبد الله بن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: الإسبال فيالإزار والقميص والعمامة, من جر منها شيئا خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة. (رواه أبو داود وغيره وقال الألباني صحيح)
Dari Abdullah bin Umar dari Nabi -shollallohu alaihi wasallam-bersabda: “Isbal terdapat pada sarung, baju gamis ataupunsorban. Barangsiapa menyeret salah satu darinya karena sombong, maka pada hari kiamat nanti, Allah tidak akan mau melihat kepadanya” (HR. Abu Dawud dan yang lainnya. Albany mengatakan: Hadits ini shohih)
[HADITS KELIMA]
5. عن المغيرة بن شعبة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: يا سفيان بن سهل! لا تسبل, فإن الله لا يحب المسبلين! (رواه ابن ماجه وصححه الألباني)
Dari Mughiroh bin Syu’bah berkata: Rasulullah -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “Wahai Sufyan bin Sahl, janganlah kamu isbal! Karena sesungguhnya Allah tidak suka terhadapmereka yang isbal” (HR. Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Albany)
[HADITS KEENAM]
6. عن أبي جري جابر بن سليم الهجيمي قال له رسول الله صلى الله عليه وسلم: ارفع إزارك إلى نصف الساق, فإن أبيت فإلى الكعبين. وإياك وإسبالالإزار, فإنها من المخيلة, وإن الله لا يحب المخيلة. (رواه أبو داود وغيره وصححه الألباني)
Dari Abu Jari, Jabir bin Sulaim al-Hujaimy: Bahwa Rasulullah -shollallohu alaihi wasallam- menasehatinya: “Angkatlahsarungmu sampai tengah betis! Tapi jika kau tidak berkenan, maka hingga batas mata kaki. Dan jangan sekali-kali meng-isbal-kan sarungmu! Karena isbal adalah termasuk perbuatan sombong, dan Allah tidak menyukai perbuatan sombong. (HR. Abu Dawud dan yang lainnya, dishohihkan oleh Albany)
[HADITS KETUJUH]
7. عن جبير بن مطعم : أنه كان جالسا مع ابن عمر, إذا مر فتى شاب عليه حلة صنعانية يجرها مسبل قال : يا فتى هلم! قال له الفتى : ما حاجتك يا أبا عبد الرحمن؟ قال : ويحك أتحب أن ينظر الله إليك يوم القيامة؟ قال: سبحان الله وما يمنعني أن لا أحب ذلك؟ قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : لا ينظر الله إلى عبد يوم القيامة يجر إزاره خيلاء. قال : فلم ير ذلك الشاب إلا مشمّرا حتى مات بعد ذلك اليوم. (قال الألباني: رواه البيهقي بسند صحيح)
Jubair bin Muth’im mengisahkan: Dia pernah duduk bersama Ibnu Umar. Ketika ada seorang pemuda yang musbil berjalan dengan baju hullah shon’aniyah yang diseret, Ibnu Umar berkata: “Wahai pemuda, kemarilah!” Pemuda tersebut menimpali: “Apa yang engkau inginkan, wahai Abu Abdirrohman (panggilan kesayangan Ibnu Umar)?” (Ibnu Umar) menjawab: “Celakalah kamu! Tidak senangkah kau seandainya Allah melihat padamu di hari kiamat nanti?” Pemuda itu menimpali: “Subhanallah, adakah yang menghalangiku hingga aku tidak menyenanginya?!” Ibnu Umar berkata: Aku telah mendengar Rosulullah -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “Pada hari kiamat nanti, Allah tidak akan melihat kepada hamba yang menyeret sarungnya karena sombong”. Jubair bin Muth’im mengatakan: “Setelah hari itu, pemuda tersebut tidak pernah terlihat, kecuali ia mengangkat pakaiannya hingga pertengahan betis, sampai meninggalnya”. (Albany mengatakan: Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang shahih)
[HADITS KEDELAPAN]
8. عن عمرو بن فلان الأنصاري قال : بينا هو يمشي وقد أسبل إزاره إذ لحقه رسول الله صلى الله عليه وسلم وقد أخذ بناصية نفسه وهو يقول : ” اللهم عبدك وابن عبدك ابن أمتك ” قال عمرو : فقلت : يا رسول الله إني رجل حمش (دقيق) الساقين فقال : ” يا عمرو إن الله عز و جل قد أحسن كل شيء خلقه يا عمرو ” وضرب رسول الله صلى الله عليه و سلم بأربع أصابع من كفه اليمنى تحت ركبة عمرو فقال : ” يا عمرو هذا موضع الإزار ” . ثم رفعها ثم ضرب بأربع أصابع تحت الموضع الأول ثم قال : ” يا عمرو هذا موضع الإزار ” . ثم رفعها ثم وضعها تحت الثانية فقال : ” يا عمرو هذا موضع الإزار ” (رواه أحمد وصححه الألباني والأرناؤوط)
Amr bin Fulan al-Anshory mengisahkan dirinya: Ketika ia berjalan dengan meng-isbal-kan sarungnya, tiba-tiba Rasulullah -shollallohu alaihi wasallam- menghampirinya, dan beliau telah meletakkan tanganya pada permulaan kepala beliau seraya berkata: “Ya allah (lihatlah) hambamu, putra hamba laki-lakiMu dan putra hamba perempuanMu!”. ‘Amr beralasan: “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku seorang yang betisnya kurus kering”. Rasulullah -shollallohu alaihi wasallam-menimpali: “Wahai ‘Amr, sesungguhnya Allah ta’ala telah menjadikan baik seluruh ciptaan-Nya!
Maka Rasulullah -shollallohu alaihi wasallam- meletakkan empat jari dari telapak kanannya tepat di bawah lututnya ‘Amr, seraya berkata: “Wahai ‘Amr inilah tempatnya sarung”. Kemudian beliau mengangkat empat jarinya, dan meletakkannya kembali di bawah tempat yang pertama, seraya berkata: “Wahai ‘Amr inilah tempatnya sarung”. Kemudian beliau mengangkat empat jarinya lagi, dan meletakkannya kembali di bawah tempat yang kedua, seraya berkata: “Wahai ‘Amr inilah tempatnyasarung” (HR. Ahmad. Dishohihkan oleh Albany dan al-Arnauth)
[HADITS KESEMBILAN]
9. عن حذيفة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : موضع الإزار إلى أنصاف الساقين و العضلة ، فإذا أبيت فمن وراء الساقين ، و لا حق للكعبين في الإزار. (رواه أحمد والنسائي وصححه الألباني)
Hudzaifah berkata, Rasulullah -shollallohu alaihi wasallam-bersabda: “Tempat sarung adalah sampai pertengahan dua betis dan pada tonjolan dagingnya, tetapi jika kamu tidak menghendakinya maka (boleh) di bawah dua betis, dan tidak ada hak bagi mata kaki (tertutupi) sarung. (HR. Ahmad dan Nasa’i, dishohihkan oleh Albany)
[HADITS KESEPULUH]
10. عن زيد بن أسلم: كان ابن عمر يحدث أن النبي صلى الله عليه وسلم رآه وعليه إزار يتقعقع يعني جديدا, فقال: من هذا؟ فقلت: أنا عبد الله. فقال: إن كنت عبد الله فارفع إزارك! قال: فرفعته. قال: زد! قال: فرفعته حتى بلغ نصف الساق. قال: ثم التفت إلى أبي بكر فقال: من جر ثوبه من الخيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة. فقال أبو بكر: إنه يسترخي [أحد شقي] إزاري أحيانا [إلا أن أتعاهد ذلك منه]. فقال النبي صلى الله عليه وسلم: لست منهم (رواه أحمد والبخاري)
Zaid bin Aslam mengatakan, Ibnu Umar pernah bercerita: Suatu ketika Nabi -shollallohu alaihi wasallam- melihatnya sedang memakai sarung baru. Beliau bertanya: “Siapakah ini?” Aku menjawab: “Aku Abdullah (Ibnu Umar)”. Kemudian Nabi -shollallohu alaihi wasallam- berkata: ”Jika benar kamu Abdullah, maka angkatlah sarungmu!”. (Ibnu Umar) mengatakan: “Aku pun langsung mengangkatnya”. (Nabi) berkata lagi: “Tambah (angkat lagi)!” (Ibnu Umar) mengatakan: “Maka aku pun mengangkatnya hingga sampai pertengahan betis”. Kemudian Nabi -shollallohu alaihi wasallam- menoleh ke Abu Bakar, seraya mengatakan: “Barangsiapa menyeret pakaiannya karena sombong, maka pada hari kiamat nanti Allah tidak akan melihat kepadanya ”. Mendengar hal itu, Abu Bakar bertanya: “Sungguh salah satu dari sisi sarungku terkadang terjulur, akan tetapi aku selalu menjaganya agar ia tak terjulur”. Maka Nabi -shollallohu alaihi wasallam- menimpali: “Kamu bukanlah termasuk dari mereka” (HR. Ahmad dan Bukhari)
[HADITS KESEBELAS]
ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار ) البخاري رقم 5787
Apa-apa yang di bawah mata kaki dari sarung maka tempatnya di neraka (HR. Bukhari 5787)
Hadits-hadits tentang Celana سَرَاوِيلَ
صحيح البخاري ٣٥٢: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَامَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ عَنْ الصَّلَاةِ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ فَقَالَ أَوَكُلُّكُمْ يَجِدُ ثَوْبَيْنِ ثُمَّ سَأَلَ رَجُلٌ عُمَرَ فَقَالَ إِذَا وَسَّعَ اللَّهُ فَأَوْسِعُوا جَمَعَ رَجُلٌ عَلَيْهِ ثِيَابَهُ صَلَّى رَجُلٌ فِيإِزَارٍ وَرِدَاءٍ فِي إِزَارٍ وَقَمِيصٍ فِي إِزَارٍ وَقَبَاءٍ فِي سَرَاوِيلَ وَرِدَاءٍ فِي سَرَاوِيلَ وَقَمِيصٍ فِي سَرَاوِيلَ وَقَبَاءٍ فِي تُبَّانٍ وَقَبَاءٍ فِي تُبَّانٍ وَقَمِيصٍ قَالَ وَأَحْسِبُهُ قَالَ فِي تُبَّانٍ وَرِدَاءٍ
Shahih Bukhari 352: Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb berkata, telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Ayyub dari Muhammad dari Abu Hurairah berkata, "Seorang laki-laki datang dan bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang shalat dengan menggunakan satu lembar baju. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda: "Apakah setiap kalian memiliki dua helai baju?" Kemudian ada seseorang bertanya kepada 'Umar, lalu ia menjawab, "Jika Allah memberi kelapangan (kemudahan), maka pergunakanlah." Bila seseorang memiliki banyak pakaian, maka dia shalat dengan pakaiannya itu. Ada yang shalat dengan memakai kain dan rida (selendang besar), ada yang memakai kain dan gamis (baju panjang sampai kaki), ada yang memakai kain dan baju, ada yang memakai celana panjang dan rida', ada yang memakai celana panjang dan gamis, ada yang memakai celana panjang dan baju, ada yang memakai celana pendek dan rida', ada yang memakai celana pendek dan gamis." Abu Hurairah berkata, "Menurutku 'Umar mengatakan, "Dan ada yang memakai celana pendek dan rida'."
صحيح البخاري ٣٥٣: حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ عَلِيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ
سَأَلَ رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ فَقَالَ لَا يَلْبَسُ الْقَمِيصَ وَلَا السَّرَاوِيلَ وَلَا الْبُرْنُسَ وَلَا ثَوْبًا مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ وَلَا وَرْسٌ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ النَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ الْخُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْهُمَا حَتَّى يَكُونَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ
وَعَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَهُ
Shahih Bukhari 353: Telah menceritakan kepada kami 'Ashim bin 'Ali berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi'b dari Az Zuhri dari Salim dari Ibnu 'Umar berkata, "Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, "Apa yang harus dikenakan oleh seseorang saat ihram?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Dia tidak boleh mengenakan baju, celana, mantel dan tidak boleh pula pakaian yang diberi minyak wangi atau wewangian dari daun tumbuhan. Dan siapa yang tidak memiliki sandal, ia boleh mengenakan sepatu tapi hendaklah dipotong hingga berada dibawah mata kaki." Dan dari Nafi' dari Ibnu 'Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seperti ini juga."
سنن ابن ماجه ٢٩٢٢: حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ أَبِي الشَّعْثَاءِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ قَالَ هِشَامٌ عَلَى الْمِنْبَرِ فَقَالَ مَنْ لَمْ يَجِدْإِزَارًا فَلْيَلْبَسْ سَرَاوِيلَ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِ
و قَالَ هِشَامٌ فِي حَدِيثِهِ فَلْيَلْبَسْ سَرَاوِيلَ إِلَّا أَنْ يَفْقِدَ
Sunan Ibnu Majah 2922: Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin 'Ammar dan Muhammad bin Ash Shabbah keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Sufyan bin 'Uyainah dari Amru bin Dinar dari Jabir bin Zaid Abu Asy Sya'tsa` dari Ibnu Abbas radliallahu 'anhu, ia berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkhutbah di atas mimbar seraya bersabda: "Barang siapa yang tidak mendapatkan sarung, maka ia dapat memakai celana dan siapa saja yang tidak mendapatkan sepasang sandal, maka ia dapat mengenakan sepatu." Hisyam berkata di dalam Haditsnya; 'Maka ia dapat memakai celana jika ia tidak mendapatkan kain.'
سنن الترمذي ٧٦٤: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدَةَ الضَّبِّيُّ الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْمُحْرِمُ إِذَا لَمْ يَجِدْ الْإِزَارَ فَلْيَلْبَسْالسَّرَاوِيلَ وَإِذَا لَمْ يَجِدْ النَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ الْخُفَّيْنِ
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ عَمْرٍو نَحْوَهُ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ ابْنِ عُمَرَ وَجَابِرٍ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ قَالُوا إِذَا لَمْ يَجِدْ الْمُحْرِمُ الْإِزَارَ لَبِسَ السَّرَاوِيلَ وَإِذَا لَمْ يَجِدْ النَّعْلَيْنِ لَبِسَ الْخُفَّيْنِ وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ و قَالَ بَعْضُهُمْ عَلَى حَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا لَمْ يَجِدْ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ الْخُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ وَهُوَ قَوْلُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ وَالشَّافِعِيِّ وَبِهِ يَقُولُ مَالِكٌ
Sunan Tirmidzi 764: Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin 'Abdah Adl Dlabi Al Basyri telah menceritakan kepada kami Yazid bin Zurai' telah menceritakan kepada kami Ayyub telah menceritakan kepada kami Amru bin Dinar dari Jabir bin Zaid dari Ibnu Abbas berkata; Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seorang yang ihramjika tidak mendapatkan sarung, hendaknya memakai celana. Jika tidak mendapatkan sandal, maka boleh memakai khuf". Telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Amru seperti hadits di atas. (Abu Isa At Tirmidzi) berkata; "Hadits semakna diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Jabir." Abu 'Isa berkata; "Ini merupakan hadits hasan shahih dan sebagian ulama mengamalkannya. Mereka berkata; 'Jika orang yang ihramtidak mendapatkan sarung, dia boleh memakaicelana. Jika tidak memiliki sandal, boleh memakai khuf. Ini juga merupakan perkataan Ahmad. sebagian yang lain berpendapat berdasarkan hadits Ibnu 'Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: 'Siapa yang tidak mendapatkan sandal hendaklah memakai khuf dengan memotong menjadi lebih rendah dari kedua mata kaki. Ini merupakan pendapat Sufyan Ats Tsauri, Syafi'i dan Malik."
صحيح البخاري ١٧١٢: حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
خَطَبَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَفَاتٍ فَقَالَ مَنْ لَمْ يَجِدْ الْإِزَارَ فَلْيَلْبَسْالسَّرَاوِيلَ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ النَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ الْخُفَّيْنِ
Shahih Bukhari 1712: Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu'bah telah menceritakan kepada kami 'Amru bin Dinar dari Jabir bin Zaid dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyampaikam khathbah kepada kami, Beliau bersabda: "Barangsiapa yang tidak memiliki sarung hendaklah dia memakai celana dan barangsiapa yang tidak memiliki sepasang sandal, hendaklah dia mengenakan sepatu".
صحيح البخاري ٥٣٥٧: حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرٍو عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ لَمْ يَجِدْ إِزَارًا فَلْيَلْبَسْ سَرَاوِيلَ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِ
Shahih Bukhari 5357: Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim telah menceritakan kepada kami Sufyan dari 'Amru dari Jabir bin Zaid dari Ibnu Abbas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Barangsiapa tidak mendapat sarung (ketika berihram), hendaknya ia mengenakan celana panjang, dan siapa yang tidak mendapatkan sandal, hendaknya ia mengenakan sepatu."
صحيح البخاري ٥٣٥٨: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا جُوَيْرِيَةُ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ
قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا تَأْمُرُنَا أَنْ نَلْبَسَ إِذَا أَحْرَمْنَا قَالَ لَا تَلْبَسُوا الْقَمِيصَ وَالسَّرَاوِيلَ وَالْعَمَائِمَ وَالْبَرَانِسَ وَالْخِفَافَ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ لَيْسَ لَهُ نَعْلَانِ فَلْيَلْبَسْ الْخُفَّيْنِ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ وَلَا تَلْبَسُوا شَيْئًا مِنْ الثِّيَابِ مَسَّهُ زَعْفَرَانٌ وَلَا وَرْسٌ
Shahih Bukhari 5358: Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il telah menceritakan kepada kami Juwairiyah dari Nafi' dari Abdullah dia berkata; seorang laki-laki berdiri dan berkata; "Wahai Rasulullah, pakaian apakah yang engkau perintahkan untuk kami kenakan ketika berihram?" beliau bersabda: "Janganlah kalian mengenakan gamis (jubah), celana panjang, surban, baju panjang yang bertutup kepala dan tidak pula sepatu kecuali jika seseorang tidak mendapatkan sandal, maka ia boleh mengenakan sepatu di bawah mata kaki, dan janganlah kalian mengenakan pakaian yang dicampuri dengan minyak za'faran dan tidak juga wars (sejenis tumbuhan yang berwarna kuning atau kunyit)."
سنن النسائي ٢٦٢٢: أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى قَالَ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي نَافِعٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ
أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا نَلْبَسُ مِنْ الثِّيَابِ إِذَا أَحْرَمْنَا قَالَ لَا تَلْبَسُوا الْقَمِيصَ وَقَالَ عَمْرٌو مَرَّةً أُخْرَى الْقُمُصَ وَلَا الْعَمَائِمَ وَلَا السَّرَاوِيلَاتِ وَلَا الْخُفَّيْنِ إِلَّا أَنْ لَا يَكُونَ لِأَحَدِكُمْ نَعْلَانِ فَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ وَلَا ثَوْبًا مَسَّهُ وَرْسٌ وَلَا زَعْفَرَانٌ
Sunan Nasa'i 2622: Telah mengabarkan kepada kami 'Amr bin Ali, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Yahya, ia berkata; telah menceritakan kepada kami 'Ubaidullah, ia berkata; Nafi' dari Ibnu Umar bahwa seseorang berkata; wahai rasulullah, pakaian apakah yang boleh kami pakai jika kami berihram? Maka beliau bersabda: "Janganlah memakai jubah." Dan 'Amr berkata sekali lagi; tidak jubah, tidak sorban, celana panjang, serta sepatu kecuali salah seorang diantara kalian tidak memiliki sandal maka hendaknya ia memotongnya hingga di bawah kedua mata kaki, dan juga pakaian yang tersentuh waras, serta kunyit.
سنن النسائي ٢٦٢٣: أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ عَمْرٍو عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ وَهُوَ يَقُولُ السَّرَاوِيلُ لِمَنْ لَا يَجِدُ الْإِزَارَوَالْخُفَّيْنِ لِمَنْ لَا يَجِدُ النَّعْلَيْنِ لِلْمُحْرِمِ
Sunan Nasa'i 2623: Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Hammad dari 'Amr dari Jabir bin Zaid dari Ibnu Abbas, ia berkata; saya pernah mendengar nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkhutbah dan beliau mengatakan: "Celana panjang bagi orang yang tidak mendapatkan sarung, dan sepatu bagi orang yang tidak mendapatkan sandal bagi orang yang melakukan ihram."
مسند أحمد ٤٦٦٤: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ
أَنَّ رَجُلًا نَادَى فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا يَجْتَنِبُ الْمُحْرِمُ مِنْ الثِّيَابِ فَقَالَ لَا يَلْبَسُالسَّرَاوِيلَ وَلَا الْقَمِيصَ وَلَا الْبُرْنُسَ وَلَا الْعِمَامَةَ وَلَا ثَوْبًا مَسَّهُ زَعْفَرَانٌ وَلَا وَرْسٌ وَلْيُحْرِمْ أَحَدُكُمْ فِي إِزَارٍ وَرِدَاءٍ وَنَعْلَيْنِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْهُمَا حَتَّى يَكُونَا أَسْفَلَ مِنْ الْعَقِبَيْنِ
Musnad Ahmad 4664: Telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq telah mengabarkan kepada kami Ma'mar dari Az Zuhri dari Salim dari Ibnu Umar, bahwa seorang laki-laki memanggil seraya berkata, "Wahai Rasulullah, pakaian apa yang harus dihindari seorang yang sedang ihram?" Beliau menjawab: "Hendaklah ia tidak memakai celana, kemeja, mantel yang terdapat tutup kepalanya, surban dan baju yang telah diolesi za'faran dan wars. Dan hendaklah salah seorang dari kalian melakukan ihram dengan mengenakan sehelai sarung, selendang dan memakai sepasang sandal, jika tidak medapatkan sandal, hendaklah ia memakai sepasang khuf (sepatu) dan potonglah hingga sebatas di bawah mata kaki."
صحيح البخاري ١٣١: حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَهُ مَا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ فَقَالَ لَا يَلْبَسُ الْقَمِيصَ وَلَا الْعِمَامَةَ وَلَا السَّرَاوِيلَ وَلَا الْبُرْنُسَ وَلَا ثَوْبًا مَسَّهُ الْوَرْسُ أَوْ الزَّعْفَرَانُ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ النَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ الْخُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْهُمَا حَتَّى يَكُونَا تَحْتَ الْكَعْبَيْنِ
Shahih Bukhari 131: Telah menceritakan kepada kami Adam berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi'b dari Nafi' dari Ibnu 'Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dan dari Az Zuhri dari Salim dari Ibnu 'Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa ada seorang laki-laki bertanya, "Apa yang harus dikenakan oleh orang yang melakukan ihram?" Beliau menjawab: "Ia tidak boleh memakai baju, Imamah (surban yang dililitkan pada kepala), celana panjang, mantel, atau pakaian yang diberi minyak wangi atau za'faran. Jika dia tidak mendapatkan sandal, maka ia boleh mengenakan sepatu dengan memotongnya hingga di bawah mata kaki."
صحيح البخاري ١٤٤٢: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ مِنْ الثِّيَابِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَلْبَسُ الْقُمُصَ وَلَا الْعَمَائِمَ وَلَا السَّرَاوِيلَاتِ وَلَا الْبَرَانِسَ وَلَا الْخِفَافَ إِلَّا أَحَدٌ لَا يَجِدُ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ وَلَا تَلْبَسُوا مِنْ الثِّيَابِ شَيْئًا مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ أَوْ وَرْسٌ
Shahih Bukhari 1442: Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Malik dari Nafi' dari 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhua bahwa ada seorang laki-laki berkata, kepada Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam: "Pakaian apa yang harus dikenakan oleh seorang muhrim (yang sedang berihram)?. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Dia tidak boleh mengenakan baju, topi (sorban), celana, mantel kecuali sesorang yang tidak memiliki sandal, dia boleh mengenakan sapatu tapi dipotongnya hingga berada dibawah mata kaki dan tidak boleh pula memakai pakaian yang diberi minyak wangi atau wewangian dari daun tumbuhan".
Lantas Bagaimana Dengan Kaos Kaki? Bukankah ia Juga termasuk kain dan pakaian?
مسند أحمد ١٧٤٩٦: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي قَيْسٍ عَنْ هُذَيْلِ بْنِ شُرَحْبِيلَ عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَىالْجَوْرَبَيْنِ وَالنَّعْلَيْنِ
Musnad Ahmad 17496: Telah menceritakan kepada kami Waki' Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Abu Qais dari Hudzail bin Syurahbil dari Al Mughirah bin Syu'bah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berwudhu dan mengusap kedua kaos kaki dan kedua terompahnya."
سنن الترمذي ٩٢: حَدَّثَنَا هَنَّادٌ وَمَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ قَالَا حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ أَبِي قَيْسٍ عَنْ هُزَيْلِ بْنِ شُرَحْبِيلَ عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ
تَوَضَّأَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسَحَ عَلَى الْجَوْرَبَيْنِوَالنَّعْلَيْنِ
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَهُوَ قَوْلُ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ وَبِهِ يَقُولُ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ وَابْنُ الْمُبَارَكِ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَقُ قَالُوا يَمْسَحُ عَلَى الْجَوْرَبَيْنِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ نَعْلَيْنِ إِذَا كَانَا ثَخِينَيْنِ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ أَبُو عِيسَى سَمِعْت صَالِحَ بْنَ مُحَمَّدٍ التِّرْمِذِيَّ قَال سَمِعْتُ أَبَا مُقَاتِلٍ السَّمَرْقَنْدِيَّ يَقُولُ دَخَلْتُ عَلَى أَبِي حَنِيفَةَ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَتَوَضَّأَ وَعَلَيْهِ جَوْرَبَانِفَمَسْحَ عَلَيْهِمَا ثُمَّ قَالَ فَعَلْتُ الْيَوْمَ شَيْئًا لَمْ أَكُنْ أَفْعَلُهُ مَسَحْتُ عَلَى الْجَوْرَبَيْنِ وَهُمَا غَيْرُ مُنَعَّلَيْنِ
Sunan Tirmidzi 92: telah menceritakan kepada kami Hannad dan Mahmud bin Ghailan keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Waki' dari Sufyan dari Abu Qais dari Huzail bin Syurahbil dari Al Mughirah bin Syu'bah ia berkata; "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berwudlu, mengusap kedua kaus kaki dan kedua sandalnya." Abu Isa berkata; "Hadits ini derajatnya hasan shahih, dan ini adalah pendapat tidak sedikit dari ahli ilmu. Pendapat ini juga diambil oleh Sufyan Ats Tsauri, Ibnul Mubarak, Syafi'i, Ahmad dan Ishaq. Mereka mengatakan; "Seseorang boleh mengusap kedua kaus kaki walaupun bukan sandal jika keduanya tebal." Abu Isa berkata; "Dalam bab ini ada juga hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa." Abu Isa berkata; "Aku mendengar Shalih bin Muhammad At Tirmidzi berkata; "Aku mendengar Abu Muqatil As Samarqandi berkata; "Aku datang menemui Abu Hanifah ketika sakit menjelang kematiannya, ia minta untuk diambilkan air, lalu ia berwudlu dalam keadaan memakai kaus kaki. Setelah itu ia mengusap keduanya seraya berkata; "Hari ini aku melakukan sesuatu yang belum pernah aku lakukan, aku mengusap kedua kaus kaki, padahal keduanya bukan sandal."
سنن ابن ماجه ٥٥٢: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي قَيْسٍ الْأَوْدِيِّ عَنْ الْهُزَيْلِ بْنِ شُرَحْبِيلَ عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَىالْجَوْرَبَيْنِ وَالنَّعْلَيْنِ
Sunan Ibnu Majah 552: Telah menceritakan kepada kami Ali bin Muhammad berkata, telah menceritakan kepada kami Waki' berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Abu Qais Al Audi dari Al Huzail bin Syurahbil dari Al Mughirah berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berwudlu lalu mengusap kedua kaus kaki dan kedua sandal."
Sekarang okey.....katakanlah "izar" termasuk bermakna "kain" celana, lantas bagaimana dengan celana yang bahannya bukan terbuat dari kain, seperti gambar celana kulit di atas ini. Apakah pantas dikatakan izar juga?
ISBALNYA SORBAN (IMAMAH) BUKAN PADA MATA KAKI
وَفِي تَصْوِير جَرّ الْعِمَامَة نَظَر ، إِلَّا أَنْ يَكُون الْمُرَاد مَا جَرَتْ بِهِ عَادَة الْعَرَب مِنْ إِرْخَاء الْعَذْبَات ، فَمَهْمَا زَادَ عَلَى الْعَادَة فِي ذَلِكَ كَانَ مِنْ الْإِسْبَال
Sedangkan adanya isbal pada imamah adalah suatu hal yang tidak bisa kita bayangkan kecuali dengan mengingat kebiasaan orang Arab yang menjulurkan ujung sorbannya. Sehingga pengertian isbal dalam hal ini adalah ujung sorban yang kelewat panjang melebihi umumnya panjang ujung sorban yang dibiasa dipakai di masyarakat setempat” ( Imam Ibnu Hajar Al Asqalani -Fathul Baari, 16/331)
Isbalnya Imamah bukan dibatasi oleh mata kaki, sebagaimana sarung dan gamis.
Maka tidak ada kata lain apabila ujung sorban (imamah) berlebih-lebihan kelewat panjang dapat disimpulkan SOMBONG. Allahu a'lam.
Ketahuilah...Semua perkara agama telah disampaikan oleh Nabi dan tidak ada yang disembunyikan. Maka apakah mungkin Nabi lupa atau kelupaan menyampaikan amanat Allah.
Sekarang renungkanlah, sejak kapan Nabi ada mengatakan bahwa Isbal itu ada pada celana?
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (Al-Maidah: 67)
Nabi telah menyampaikan amanah dengan penyampaian sempurna, lafadz serta makna. Beliau tinggalkan untuk umat ini kitab Allah (Al Qur`an) secara sempurna tanpa ada tambahan ataupun pengurangan. Ummul Mukminin (ibunda orang-orang beriman) Shiddiqah bintu Shiddiq ‘Aisyah mengatakan: “Siapa yang mengatakan bahwa Muhammad menyembunyikan sebagian dari apa yang diturunkan oleh Allah , berarti dia benar-benar telah membuat kedustaan besar terhadap Allah . Padahal Allah telah menegaskan:
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya).”(Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Bahkan Rasulullah sendiri menerangkan tentang kewajibannya ini:
“Sesungguhnya tidak ada seorang Nabi pun sebelumku melainkan wajib atasnya untuk menunjuki umatnya kepada kebaikan yang diketahuinya, dan memperingatkan mereka dari kejahatan yang diketahuinya. Dan umat ini telah dijadikan kebaikannya ada pada (generasi) awalnya. Adapun (generasi) akhirnya (orang-orang yang datang belakangan) akan ditimpa bala` (ujian) dan persoalan-persoalan yang kalian ingkari.” (Shahih, HR. Ahmad dan Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash )
Beliau shallallâhu 'alaihi wasallam juga bersabda:
Tidaklah aku meninggalkan sesuatu dari apa yang Allâh perintahkan kepada kamu
kecuali aku telah memerintahkannya, dan tidak pula aku meninggalkan sesuatu dari apa yang Allâh Ta'âla larang kepada kamukecuali aku telah melarangnya.
Hadits Shahîh. Riwayat Ibnu Mâjah no. 43; Ahmad 4/126; dan Ibnu Abi ‘Ashim no. 48, 49.
Perhatikan pendapat-pendapat di bawah ini;
Pertama;
فَإِنَّهُ يَشْمَل جَمِيع ذَلِكَ ، وَفِي تَصْوِير جَرّ الْعِمَامَة نَظَر ، إِلَّا أَنْ يَكُون الْمُرَاد مَا جَرَتْ بِهِ عَادَة الْعَرَب مِنْ إِرْخَاء الْعَذْبَات ، فَمَهْمَا زَادَ عَلَى الْعَادَة فِي ذَلِكَ كَانَ مِنْ الْإِسْبَال
“At Thabari berkata, lafadz-lafadz hadits menggunakan kata izaar karena kebanyakan manusia di masa itu mereka memakai izaar [seperti pakaian bawahan untuk kain ihram] dan rida’ [seperti pakaian atasan untuk kain ihram]. Ketika orang-orang mulai memakai gamis dan jubah, maka hukumnya sama seperti larangan pada sarung. Ibnu Bathal berkata, ini adalah qiyas atau analog yang tepat, andai tidak ada nash yang menggunakan kata tsaub. Karena tsaub itu sudah mencakup semua jenis pakaian [sehingga kita tidak perlu berdalil dengan qiyas, ed]. Sedangkan adanya isbal pada imamah adalah suatu hal yang tidak bisa kita bayangkan kecuali dengan mengingat kebiasaan orang Arab yang menjulurkan ujung sorbannya. Sehingga pengertian isbal dalam hal ini adalah ujung sorban yang kelewat panjang melebihi umumnya panjang ujung sorban yang dibiasa dipakai di masyarakat setempat” (Fathul Baari, 16/331)
Tanggapan:
#lafadz-lafadz hadits menggunakan kata izaar karena kebanyakan manusia di masa itu mereka memakai izaar…..tapi jangan dipungkiri ada hadits yang juga jelas mengunakan kata sirwal (celana) pada jaman Rasulullah…Kalau gamis atau Jubah dan sarung sudah jelas haditsnya….pengertian isbal dalam imamah bahkan bukan yang menyentuh mata kaki, tapi berlebih-lebihan panjang ujung sorbannya. Karena berlebih-lebihan bisa jadi sombong. Pertanyaanya : Mengapa Rasulullah tidak memasukkan celana dalam hadits tsb? Padahal celana sudah ada pada jaman Rasulullah....Apakah Rasulullah telah lupa atau menyembunyikan?
Kedua _Penulis Syarh Sunan Abi Daud (9/126) berkata :
فِي هَذَا الْحَدِيث دَلَالَة عَلَى عَدَم اِخْتِصَاص الْإِسْبَال بِالْإِزَارِ بَلْ يَكُون فِي الْقَمِيص وَالْعِمَامَة كَمَا فِي الْحَدِيث .قَالَ اِبْن رَسْلَان : وَالطَّيْلَسَان وَالرِّدَاء وَالشَّمْلَة
“Hadits ini merupakan dalil bahwa isbal tidak khusus pada kain sarung saja, bahkan juga pada gamis dan imamah sebagaimana dalam hadits. Ibnu Ruslan berkata, juga pada thailasan [kain sorban yang disampirkan di pundak], rida’ dan syamlah [kain yang dipakai untuk menutupi bagian atas badan dan dipakai dengan cara berkemul]”
Tanggapan:
#Ibnu Ruslan berkata : Juga pada Thailasan dst…..ini bukan perkataan Nabi, tapi "tambahan" perkataan atau pendapat Ibnu Ruslan sendiri..Ketahuilah, kita beragama bukan berdasarkan pendapat orang, tapi berdasarkan perkataan Rasul.
“Setiap perkataan bisa diterima dan bisa ditolak, selain perkataan penghuni kubur ini (yakni, Rasulullah ).” (Siyar A’lami an-Nubala, 8/93)
Hal yang sama diucapkan pula oleh al-Imam Ahmad bin Hanbal , “Pendapat seseorang bisa diambil dan ditinggalkan, selain (apa yang dari) Nabi (wajib diterima atau diambil).” (Masa’il al-Imam Ahmad, no. 1786. Lihat Ithafu al-‘Uqul bi Syarhi ats-Tsalatsatil Ushul, asy-Syaikh Ubaid bin Abdillah al-Jabiri, hlm. 9)
Ketiga : Al’Aini dalam ‘Umdatul Qari (31/429) menuturkan:
قوله من جر ثوبه يدخل فيه الإزار والرداء والقميص والسراويل والجبة والقباء وغير ذلك مما يسمى ثوبا بل ورد في الحديث دخول العمامة في ذلك …
“Perkataan Nabi ‘barangsiapa menjulurkan pakaiannya‘ ini mencakup kain sarung, rida’, gamis, sirwal, jubah, qubba’, dan jenis pakaian lain yang masih disebut sebagai pakaian. Bahkan terdapat riwayat yang memasukan imamah dalam hal ini”
Tanggapan:
#‘barangsiapa menjulurkan pakaiannya" …..ketahuilah, hadits ini berhubungan dengan SOMBONG. Kita tidak membahas mengenai sombong/khuyala.
Keempat ;
Dalam Lisaanul Arab dijelaskan makna izaar:
الإزار : كل من واراكَ وسَتَرَكَ . وتعني أيضا : الملحفة
“Izaar adalah apa saja yang menutupimu, termasuk juga selimut”
-----------------------
Tanggapan :
#Perkataan Rasulullah LEBIH JELAS daripada Kamus Lisanul Arab. Izar yang dimaksud dalam hadits adalah pakaian bawahan ketika berihram atau sholat atau keseharian pada umumnya masyarakat Arab pada waktu itu.Allahu a'lam.
____________________________________
Perhatikanlah Dengan seksama
Pengertian Izar إِزَار adalah sarung / kain bawahan ihram , bukan termasuk celana adalah sebagaimana bunyi hadits مَنْ لَمْ يَجِدْ إِزَارًا فَلْيَلْبَسْ سَرَاوِيلَ sangat jelas ada kata "izar" dan "sarawil" dua subtansi yang berbeda, terlihat sebagaimana keterangan hadits berikut;
صحيح البخاري ٥٣٥٧:
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرٍو عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ لَمْ يَجِدْ إِزَارًا فَلْيَلْبَسْ سَرَاوِيلَ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِ
Shahih Bukhari 5357:
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim telah menceritakan kepada kami Sufyan dari 'Amru dari Jabir bin Zaid dari Ibnu Abbas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Barangsiapa tidak mendapat sarung (ketika berihram), hendaknya ia mengenakan celana panjang, dan siapa yang tidak mendapatkan sandal, hendaknya ia mengenakan sepatu."
Demikianlah saya tulis pembahasan ini, yang mungkin agak kontroversial dan berbeda sudut pandang, saya mohon ma'af apabila saya keliru mengingat keterbatasan saya dan masih sedikitnya ilmu yang saya ketahui. Segala kesalahan adalah dari saya pribadi yang faqir dan segala kebenaran adalah Hak Mutlak Allah subhanahu wa ta'ala.
Wallahu a'lam
Anwar Baru Belajar
Tepian Mahakam, 12 Dzulhijjah 1423