Search This Blog

December 11, 2007

Anak diluar Nikah, bagaimana statusnya ?


Nasab anak

HR Aisyah ra., ia berkata: Sa`ad bin Abu Waqqash dan Abdu bin Zam`ah terlibat perselisihan mengenai seorang anak. Kata Sa`ad: Ini adalah anak saudaraku " a <>yang dia amanatkan kepadaku, dia adalah putranya, perhatikanlah kemiripannya! Abdu bin Zam`ah menyangkal dan mengatakan: Dia ini saudaraku, wahai Rasulullah! Dia lahir di atas tempat tidur ayahku dari budak perempuannya. Sejenak Rasulullah saw. memperhatikan kemiripan anak itu, memang ada kemiripan yang jelas dengan Utbah. Kemudian beliau bersabda: Dia adalah untukmu, wahai Abdu. Nasab seorang anak itu dari perkawinan yang sah, dan bagi pezina itu adalah batu rajam. Hindarilah wahai Saudah binti Zam`ah dari perkara tersebut! (HR Bukhari & Muslim).

Anak angkat atau anak di luar nikah adalah haram menasabkannya kepada seseorang yang tidak bersambung nasab dengan anak tersebut.
Larangan menasabkan anak kepada orang yang bukan bapaknya yang sebenar dijelaskan oleh Allah Subhanahu Wata‘ala dalam firmanNya: (Surat Al-Ahzâb: 4-5)

Hukum zhihar dan kedudukan anak angkat

4. Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar[*] itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).

[*]. Zhihar ialah perkataan seorang suami kepada istrinya: punggungmu haram bagiku seperti punggung ibuku atau perkataan lain yang sama maksudnya. Adalah menjadi adat kebiasaan bagi orang Arab Jahiliyah bahwa bila dia berkata demikian kepada istrinya maka istrinya itu haramnya baginya untuk selama-lamanya. Tetapi setelah Islam datang, maka yang haram untuk selama-lamanya itu dihapuskan dan istri-istri itu kembali halal baginya dengan membayar kaffarat (denda).

5. Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Perempuan (isteri) yang mengandung bukan melalui pernikahan yang sah atau bukan dengan suaminya, kemudian perempuan itu menasabkan kanak-kanak yang lahir daripada kandungannya itu kepada suaminya, dia telah membuat dosa yang sangat besar serta melakukan pembohongan.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Muslim dan Abu Daud daripada Sa‘ad bin Abi Waqqas Radhiallahu ‘anhu, bahawa Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
Hadis riwayat Saad bin Abu Waqqash ra., ia berkata: Kedua telingaku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa yang mengakui seseorang dalam Islam sebagai ayah, sedangkan ia tahu bahwa itu bukan ayahnya, maka diharamkan baginya surga (HR Muslim 95)

Adapun dosa-dosa perempuan itu:
melakukan zina.
Melakukan kebohongan dengan menasabkan anak tersebut bukan kepada bapak yang sebenarnya. Bapak (suami) juga akan turut berdosa karena menasabkan kanak-kanak itu kepada dirinya, kerana dia bukan bapak yang sesungguhnya.
Oleh itu kita mestilah mengikut kaedah-kaedah yang telah ditetapkan oleh hukum syara‘ dalam menasabkan kanak-kanak sebagaimana sabda Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam:
Hadis riwayat Abu Hurairah ra.: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Nasab anak itu dari perkawinan yang sah sedangkan bagi pezina itu adalah batu rajam (HR Muslim 2646)
Maksudnya: “Anak itu bagi siapa yang menggauli ibunya (dalam nikah yang sah).”(Diriwayatkan oleh Jamaah melainkan at-Tirmidzi)
Para ulama telah ijmâ‘ bahwa tempo minimum seorang wanita itu hamil dan melahirkan anak ialah enam bulan. Penentuan enam bulan itu berdasarkan maksud 2 ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang masa hamil (tempo mengandung) dan penyusuan. Firman Allah Subhanahu Wata‘ala:
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, (Surah Al-Ahqâf: 15)
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.(Surah Luqman: 14)Ke-2 ayat diatas, jika dilihat menyatakan tempo penyusuan anak adalah 2 tahun atau 30 bulan (dari sejak hamil hingga melahirkan 30 bulan – masa menyusui 24 bulan = masa hamil 6 bulan).
Asy-Syeikh Mohammad Ali ash-Shabuni dalam kitabnya Rawâi‘ al-Bayân menyebutkan bahawa telah diriwayatkan, bahwa seorang perempuan menikah, kemudian melahirkan anak setelah enam bulan daripada perkawinannya. Dia dihadapkan kepada khalifah Utsman Radhiallahu ‘anhu. Beliau akan merejam perempuan tersebut, tetapi Ibnu Abbas berkata kepada Utsman: “Perempuan ini, jika dia menentang kamu dengan kitab Allah, kamu akan kalah. Allah berfirman (Surah Al-Ahqâf: 15; Surah Luqman: 14)
Oleh sebab itu, tempo hamil itu ialah enam bulan dan penyusuan dua puluh empat bulan. Berdasarkan itu, Sayyidina Utsman Radhiallahu ‘anhu pun membebaskan wanita tersebut daripada hukuman.
Dengan demikian para ulama menetapkan hukum bahwa anak yang dilahirkan dalam tempo enam bulan atau lebih yang dikansung pada masa suami isteri bersatu melalui pernikahan yang sah, maka sabitlah nasab anak tersebut kepada suami wanita berkenaan pada zahir saja dan berjalanlah segala hukum-hakam nasab ke atasnya.
Begitu pula sebaliknya, jikalau anak tersebut lahir kurang daripada enam bulan, maka anak tersebut tidaklah bersambung nasabnya dengan suami atau tidak boleh dinasabkan kepada suami wanita yang melahirkan anak tersebut. Dia dinasabkan kepada ibunya yang melahirkannya saja dan jika hendak dibinkan atau dibintikan bolehlah kepada ibunya atau kepada nama Abdullah atau salah satu daripada Asmâ’ullah al-Husna.
Tersebut dalam kitab Hâsyiah al-Baijuri ‘alâ Fath al-Qarîb dan dalam kitab al-Tuhfah karangan al-Imam Ibnu Hajar bahwa enam bulan itu setiap bulan dihitung 30 hari. Ini berarti enam bulan itu ialah 180 hari dan dua lahzhah ialah tempo wathi‘ dan tempo mengeluarkan anak.
Pendapat ulama Syafie, 180 hari itulah juga yang menjadi pendapat jumhûr ulama, kecuali Imam Malik yang menyatakan 175 hari. Bahkan terdapat sebagian negara seperti Syria telah menetapkan dalam undang-undangnya bahwa tempo minimum hamil atau mengandung itu ialah 180 hari. (lihat Fiqh al-Islami wa Adillatuh 7/678)
Pengiraan 180 hari itu adalah bermula dari waktu suami isteri itu boleh bersatu yang memungkinkan anak itu lahir daripada benih suami berkenaan setelah akad nikah yang betul (sah).
Oleh karena itu, anak-anak yang lahir kurang dari 180 hari atau 6 bulan sejak tanggal pernikahan suami istri maka tidak boleh di bin dan bintikan kepada suami perempuan tersebut.
Dipetik dari buku Fatwa Mufti Kerajaan 1999.
Pertama sekali perlulah kita sadar bahwa anak yang dilahirkan dari hasil perzinaan tidak ada HUBUNGANNYA dengan dosa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Ia memiliki hak yang sama seperti seorang muslim atau muslimah yang lain. Para ulama berbeda pendapat dalam hal menasabkan anak hasil dari perzinaan kepada lelaki yang berzina dengan ibunya. Jumhur (kebanyakan) ulama tidak membenarkan dinasabkan anak zina kepada lelaki yang berzina dengan ibunya. Hadis riwayat Abu Hurairah ra.: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Nasab anak itu dari perkawinan yang sah sedangkan bagi pezina itu adalah batu rajam (HR Muslim 2646)
Berdasarkan hadith ini jumhur ulama berpendapat tidak boleh menasabkan anak zina kepada lelaki yang berzina dengan ibunya. Di dalam "Fatawa al-Hindiyah" dari fiqh al-Hanafi disebut : "Seandainya seseorang telah berzina dengan seorang permpuan, lalu perempuan itu hamil kemudian dia berkahwin dan melahirkan anak, jika ana itu lahir (selepas perkahwinan) dalam tempoh 6 bulan atau lebih maka thabit nasabnya kepada bapanya. Jika anak itu lahir kurang dari 6 bulan tidak thabit nasab anak itu kepadanya..." Berkata Dr. Sobri Abdul Rauf iaitu seorang Ustaz Fiqh al-Muqaran di University al-Azhar : "Jika lelaki yang berzina kawin dengan perempuan yang berzina dengannya, kemudian mereka memperolehi anak selepas 6 bulan daripada al-Dukhul al-Syar'ie. Maka anak itu dinasabkan kepada bapaknya, karena ia datang dari jalan yang dibenarkan. Adapun jika ia dilahirkan sebelum tempoh 6 bulan dari tarikh al-Dukhul, maka anak itu tidak dinasabkan kepada suaminya, maka ia dinasabkan kepada ibunya saja. Apabila wanita itu menegaskan bahwasanya ia telah hamil dari perbuatan zina dgn lelaki yang sama yang menikahinya selepas kehamilan. Maka anak tersebut adalah anak zina, maka ia tidak dinasabkan kepada bapanya, dan tidak mewarisi antara bapa dan anaknya itu, ia hanya waris ibunya saja...." wallahu a'lam. abdulkadir http://www.islamonline.net/servlet/Satellite?pagename=IslamOnline-Arabic-Ask_Scholar/FatwaA/FatwaA&cid=1122528614604


Status Anak Zina Di Akhirat
Oleh: Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin
Diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Artinya :
Anak zina itu menyimpan 3 keburukan” [Hadits Riwayat Ahmad dan Abu Daud]
Sebagian ulama menjelaskan, maksudnya dia buruk dari aspek asal-usul dan unsur pembentukannya, garis nasab, dan kelahirannya. Penjelasannya, dia merupakan kombinasi dari sperma dan ovum pezina, satu jenis cairan yang menjijikkan (karena dari pezina) sementara gen itu terus menjalar turun temurun, dikhawatirkan keburukan tersebut akan berpengaruh pada dirinya untuk melakukan kejahatan. Dalam konteks inilah, Allah menepis potensi negative dari pribadi Maryam dengan firmaNya. “Artinya :
Ayahmu sekali-kali bukanlah seorang penjahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang penzina” [Maryam : 28]
Walaupun demikian adanya, dia tidak dibebani dosa orang tuanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. “Artinya :
Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” [Al-An’am : 164]
Pada prinsipnya, dosa dan sanksi zina di dunia dan akhirat hanya ditanggung oleh orang tuanya. Tetapi dikhawatirkan sifat bawaan yang negative itu akan terwarisi dan akan membawanya untuk berbuat buruk dan kerusakan. Namun hal ini tidak selalu menjadi acuan, kadangkala Allah akan mempebaikinya sehingga menjadi manusia yang alim, bertakwa lagi wara’, dengan demikian menjadi satu kombinasi yang terdiri atas tiga komponen yang baik. Wallahu a’alam.
[Fatawa Islamiyah 4/125]
[Disalin dari kitab Fatawa Ath-thiflul Muslim, edisi Indonesia 150 Fatwa Seputar Anak Muslim, Penyusun Yahya bin Sa’id Alu Syalwan, Penerjemah Ashim, Penerbit Griya Ilmu]
anak zina didefinisikan sebagai anak yang telah dilahirkan di luar nikah dan bukan anak daripada persetubuhan syubhah, yaitu persetubuhan yang sah dari segi akad nikah.
Walaupun begitu, zuriat yang dilahirkan di luar ikatan perkawinan yang sah adalah suci daripada dosa seperti bayi lain. Ini karena tidak ada anak yang dilahirkan ke dunia ini berstatus haram.
Ini berlainan daripada anggapan masyarakat kita yang seolah-olah memandang rendah kepada anak ini. Bukan salah anak tersebut kerana dilahirkan di dalam keadaan begitu. Oleh itu haruslah prihatin mengenai perkara ini.
Kita boleh merujuk kepada hadis yang telah diriwayatkan oleh Al-Bukhari daripada Abu Hurairah, Rasulullah telah bersabda yang bermaksud: ``Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci) dan ibu bapa yang mencorakkan kehidupan mereka sama ada menjadikannya Yahudi, Majusi atau Nasrani.''
Tanggapan masyarakat yang mempunyai pengetahuan yang cetek, sentiasa menyebabkan timbulnya tanggapan buruk bahawa anak itu tidak suci. Jika kita lihat hadis tersebut ternyata bahwa anak itu adalah suci.
Allah sudah menjelaskan dalam firmannya yang bermaksud: ``Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulnya untuknya sedikitpun walaupun (yang dipanggil itu) kaum kerabatnya.'' (Surah Faathir Ayat 18).
Bagaimanapun, dalam sesetengah kasus, anak luar nikah perlu diberitahu perkara sebenar bagi mengelak timbul masalah lain yang lebih besar, terutama dalam hal pemberian harta pusaka dan perwalian pada saat menikah kelak.
Jika anak zina itu adalah perempuan jika tiba masa anak itu menikah, beliau berkemungkinan tidak boleh diwalikan oleh bapaknya. Tidak ada masalah perwalian bagi anak lelaki.
Perlu diterangkan di sini bahwa tidak ada halangan bagi bapaknya untuk bertanggungjawab atas anak tersebut dengan membiayai perbelanjaan kehidupan anak.
Anak itu perlu diberi nafkah yang secukupnya. Tanggungjawab tidak seharusnya berubah hanya kerana anak tersebut tidak dilahirkan di dalam perkawinan. Bapak tidak seharusnya lepas tangan.
Sejauh ini Saya belum menemukan hadis mengenai harta warisan / hak warisan bagi anak zina.
Mengenai kewajiban untuk menikahi perempuan yang telah dihamili serta tanggung jawab bapak (laki-laki yang menghamili ibunya) Saya juga belum menemukan hadis.
Semoga bermanfaat.

2 comments:

  1. waris ditentukan berdasarkan garis nasab...maka jelaslah bahwa anak di luar nikah yg mengikuti garis nasab ibunya...hanya berhak mendapatkan waris dari Ibunya...bukan bapak biologisnya

    ReplyDelete
  2. bagaimana anak jika ingin nikah tapi hasilnya di luar nikah, apakah ayahnya boleh jadi wali atau tidak, tolong referensi yang jelas boleh dan tidaknya, terima kasih

    ReplyDelete