Search This Blog

July 3, 2008

Menggugurkan Kandungan Menurut Perspektif Fiqh Islam

oleh : Khusnul Yaqin

diambil dari : http://www.alsofwah.or.id/cetakanalisa.php?id=428&idjudul=415

Bagian Keempat
Pendapat Yang Rajih (Kuat)


Sesungguhnya pentarjihan terhadap pendapat tertentu dalam hukum pengguguran kandungan menurut fiqih Islam, beranjak dari batas paling bawah yang disepakati oleh para fuqaha pendahulu kita. Saya tidak yakin ada seorang pembahas muslim yang boleh melampaui batas itu dalam membahas masalah ini, yaitu nash-nash al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang disepakati oleh ulama tentang keshahihannya dan disepakati oleh fuqaha untuk diambil sebagai dalil, yaitu hadits tentang peniupan ruh yang telah disebutkan berkali-kali.
Seperti yang telah kami kemukakan, para fuqaha mengambil dari hadits ini bahwa kehidupan manusia mulai sejak peniupan ruh dan tidak dimulai sebelumnya. Sedangkan makhluk yang diciptakan oleh Allah di dalam perut ibu sebelum peniupan ruh tidak disebut manusia, maka tidak seharusnya dia diberi karakteristik dan hukum manusia serta tidak harus disamakan penghormatan dan penjagaannya dengan manusia.
Dari sini, kesepakatan mereka, seperti yang dijelaskan pada bagian ketiga,

bahwa pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh tidak dianggap sebagai pembunuhan, melainkan merusak makhluk yang dipersiapkan menjadi manusia atas kehendak Allah.


Ketetapan yang telah disepakati oleh para ulama pendahulu kita inilah yang akan kami jadikan sebagai titik tolak untuk mentarjih hukum pengguguran kandungan. Karena benar tidaknya dalam tarjih sangat tergantung kepada titik tolak dan kaidah yang dijadikan sandaran di atasnya. Maka dari itu kami berpendapat –sebelum menetapkan pendapat yang rajih- untuk memperkuat titik tolak tersebut, yaitu dengan menambahkan dalil-dalil dan bukti-bukti bahwa sosok seorang manusia itu bermula setelah janin berusia empat bulan sejak berada di dalam perut ibunya, bukan sebelumnya. Maka menurut pendapat kami:
1. Di dalam hadits tentang peniupan ruh, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kejadian seorang itu dikumpulkan di dalam perut ibunya selama empat puluh hari. Setelah genap empat puluh hari kedua, terbentuklah segumpal darah beku. Manakalah genap empat puluh hari ketiga, berbahlah menjadi segumpal daging. Kemudian Allah Ta’ala mengutus seorang malaikat untuk meniupkan roh serta memerintahkannya supaya menulis empat perkara, yaitu ditentukan rizki, waktu kematian, amal serta nasibnya, baik mendapat kecelakaan atau kebahagiaan.” (Lihat Fathul Bari, juz XI, hal. 416 dan Shahih Muslim dengan Syarah an-Nawawiy, juz XVI, hal. 195).
Hadits Rasulullah di atas memberikan batasan tentang fase-fase penciptaan manusia walaupun tidak menjelaskan karakteristik dari masing-masing fase. Namun yang dapat kita ambil faedahnya –dalam pembahasan kita tentang awal kepribadian manusia ini- adalah batas waktu yang disebutkan di dalam hadits itu menunjukkan dua hal:
Pertama, penulisan takdir yang berkaitan dengan manusia yang hendak diciptakan, baik dari segi rezeki, ajal, amal, kesengsaraan maupun kebahagiaan.
Kedua, tentang peniupan ruh.
Maksud umum dari batasan waktu itu adalah bahwa sifat-sifat kemanusiaan tidak diberikan oleh Allah kepada makhluk yang doletakkan oleh Allah di dalam perut ibunya sebelum dia sampai pada umur empat bulan pertama dari umur janin.
Maksud umum seperti inilah yang dijadikan sandaran oleh para fuqaha terdahulu yang kemudian mereka tegaskan bahwa sifat-sifat kemanusiaan pada janin itu ada setelah ditiupkan ruh kepadanya. (Lihat Nail al-Authar, asy-Syaukani yang dinukil dari Imam Syafi’i, pendapat yang hampir sama dengan pendapat ini di dalam juz. !V, hal. 83.
Berikut akan kami rinci maksud global yang sudah dianggap cukup oleh para ulama terdahulu tersebut.
Takdir Allah adalah pengetahuan-Nya tentang apa yang akan terjadi pada makhluk di masa mendatang. Dan takdir adalah undang-undang yang pasti, yang ditetapkan oleh Allah terhadap wujud ini, serta aturan-aturan umum yang mengaitkan antara sebab dan akibatnya, seperti yang difirmankan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala, artinya “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (al-Qamar; 49).
Sedangkan qadha adalah tindakan Allah dalam mewujudkan segala sesuatu sesuai dengan dan kehendaj-Nya.
Adapun takdir Allah , seperti yang nampak, telah ada dan tertulis di dalam Lauhul Mahfuzh sebelum takdir terjadi dan sebelum adanya sebab musababnya, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah Subhaanu Wa Ta’ala. (Lihat, Ibnul Qayyim, ar-Ruh, hal. 217).
Para Malaikat adalah tentara Allah yang menjalankan takdir yang telah Allah tetapkan dan mereka tidak mengetahui takdir itu kecuali yang telah diberitahukan oleh Allah kepada mereka. Ketika Allah ingin menciptakan makhluk, maka dia menunjukkan takdirnya terhadap mekhluk itu kepada malaikat agar dia melaksanakannya. Lalu para malaikat itu mulai menjalankan takdir itu sejak awal keberadaan makhluk tersebut. Jika pengetahuan tentang takdir itu sudah dilaksanakan, maka keluarlah dia dari wilayah keghaiban. Hal demikian ini berlaku pada setiap makhluk. Jadi takdir manusia telah tertulis di dalam Lauhul Mahfuzh sebelum adanya kenyataan dan sebelum dikhabarkan kepada malaikat. Setiap manusia ada seorang malaikat yang diperintahkan oleh Allah agar mengatur masalah masalah wujudnya pada setiap fase penciptaannya. Malaikat itulah yang menjalankan takdir Allah yang terulis di dalam Lauhul Mahfuzh itu. Untuk menjalankan takdir itu, Allah membekali dengan program-program takdir yang berkaitan dengan setiap manusia sebelum terlaksananya takdir iru, agar penerapan takdir itu sesuai dengan program yang telah direncanakan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala.
Berdasarkan kenyataan yang telah disebutkan oleh syari’at di atas, maka tidak mungkin ada manusia sebelum adanya malaikat yang dibekali pengetahuan tentang takdir yang berkaitan dengannya, baik masalah ajal, rezeki, amal, kesengsaraan, maupun kebahagiaan.
Adapun hadits yang kita mencoba perbincangkan maknanya di atas, adalah hadits shahih yang tidak diperselisihkan kekuatannya. Hadits itu menjelaskan bahwa Allah mengutus seorang malaikat yang menjadi wakilnya untuk menjalankan takdir-Nya pada manusia setelah janin berusia empat bulan di dalam perut ibunya, lalu dia membekalinya dengan rincian-rincian takdir yang berkaitan dengan orang tersebut. Malaikat tersebut akan sebabtiasa memperhatikan nya dan akan memberikan takdirnya sejak awal kehidupannya hingga ajalnya tiba. Lalu malaikat itu akan memberikan rezeki yang telah ditetapkan kepadanya walaupun hanya setetes air susu yang dimunum dari tubuh ibunya hingga akhirnya ajal menjemputnya, walaupun dia hanya sempat hidup beberapa saat di dalam perut ibunya. Malaikat itu juga yang menulis untuk melakukan sesuatu walaupun hany gerakan-gerakan sederhana di dalam perut ibunya.
Dari pandangan di atas, kita bisa mengatakan bahwa kehidupan manusia bermula sejak peniupan ruh, seperti yang dijejaskan di dalam hadits, yang diwakilkan peniupannya kepada malaikat dan untuk menetapkan serta menjalankan takdirnya pada manusia setelah empat bulan sejak awal terbentuknya janin. Mungkin peniupan ruh ini terjadi pada hari kesepuluh yang datang setelah empat bulan, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Abbas. (Tafsir al-Qurtubi, juz II, hal. 6).
Seandainya sosok seorang manusia dalam makna yang mendetil telah bermula sebelum itu, atau sejak pembuahan sel telur misalnya, tentu Allah tidak terlambat dalam mengutus malaikat dan malaikat tidak terlambat dalam bertanya tentang tugas-tugasnya yang terpenting.
Kesimpulan yang diambil di atas bukan berarti menafikan adanya takdir Allah dan pelaksanaan malaikat pada sel telur, baik yang telkah dibuahi (zigot) maupun yang belum, sel sperma, zigot, segumpal darah dan segumpal daging, tetapi takdir yang ditetapkan pada masa-masa itu bukanlah takdir yang ditetapkan Allah pada masa-masa setelah janin berusia empat bulan, melainkan takdir yang ditetapkan oleh Allah pada makhluk yang dijadikan oleh Allah sebagai opersiapan untuk menciptakan manusia. Jika ditetapkan bahwa makhlkuk itu mati sebelum peniupan ruh, maka dia tidak disebut manusia, dan dia belum mempunyai takdir kemanusiaan.
2. Pandangan dalam menafsirkan hadits Ibnu Mas’ud semacam ini, diperkuat oleh hadits shahih lain yang juga diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, yaitu hadits Anas bin Malik dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala mengutus Malaikat ke dalam rahim. Malaikat berkata, “Wahai Tuhan! Ia sudah berupa darah beku. Begitu juga setelah berlalu empat puluh hari, Malaikat berkata lagi, Wahai Tuhan! Ia sudah berupa segumpal daging. Apabila Allah Ta’ala membuat keputusan untuk menciptakaannya menjadi manusia, maka Malaikat berkata, Wahai Tuhan!Orang ini akan diciptakan menjadi laki-laki atau perempuan? Celaka atau bahagia?Bagaimana rezekinya serta bagaimana pula ajalnya? Semuanya dicatat semasa dia berada di dalam perut ibunya.” (Lihat Fathul Bari, juz XI, hal. 116 dan Shahih Muslim dengan Syarah an-Nawawiy, juz XVI, hal. 195).
Malaikat yang bertugas pada rahim –seperti yang dipaparkan dengan jelas- tidak bertanya kepada Tuhan-Nya tentang takdir manusia kecuali setelah janin menginjak fase perkembangan ketiga; nuthfah, ‘alaqah, muddghah dan fase setelah menginjak usia empat bulan, seperti yang dijelaskan oleh hadits pertama. Setelah malaikat itu tahu bahwa Allah hendak menjadikannya manusia pada fase itu, maka dia menetapkan takdirnya sebelum manusia, yang berkaitan dengan ajal, sifat-sifat, rezeki, macam dan sebagainya.
Inilah yang dimaksudkan dengan kata “yaqdhi khalqahu” (membuat keputusan untuk menciptakannya). Makna qadha’ secara bahasa berarti menciptakan dan menetapkan. Dikatakan qadhahu, jika dia menciptakan dan menetapkannya. Diantaranya adalah firman Allah di dalam surat Fushilat, artinya, “Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa.” (QS. al-Fushilat: 12).
3. Pemahaman terhadap hadits Ibnu Mas’ud ini akan lebih kuat lagi jika kita melihat ayat-ayat al-Qur’an lainnya yang menjelaskan tentang perkembangan penciptaan manusia di dalam perut ibunya. Misalnya saja kita ambil ayat kelima dari surat al-Hajj, yang mana Allah berfirman, artinya, “Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan. Dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang dahulunya telah diketahui.“ (QS. al-Hajj: 5)
Penjelasan Allah di atas merupakan alas an yang kuat untuk menyerang orang-orang yang mengingkari hari kebangkitan yang pada dasarnya adalah mengeluarkan kehidupan dari kematian. Allah yang menciptakan Adam dari tanah –benda mati- dan yang mencitakan keturunannya dari air mani, segumpal darah, dan segumpal daging, atau menciptakan kehidupan manusia melalui beberapa fase yang belum memiliki kehidupan yang bersifat manusiawi ini. Sungguh yang menciptakan semua ini, tentu mampu membangkitkannya kembali berdasarkan hukum logika dan rasio.
Seandainya pada fase-fase pertama dalam perkembangan janin itu sudah disebut manusia, tentu maknanya tidak relevan, baik dari segi bahasa –karena akan ditakwilkan bahwa Allah mencipatakan manusia dari manusia-, maupun dari segi pengambilan dalilnya. Walaupun pada dasarnya Allah mampu menciptakan kehidupan manusia, baik dari benda mati seperti tanah, maupun dari kehidupan lain yang lebih rendah dari kehidupan manusia.
Adapun penciptaan manusia yang sempurna dari manusia yang kurang sempurna –jika benar ungkapan ini- juga menunjukkan atas kekuasaan Allah. Namun demikian, orang-orang yang mengingkari hari kebangkitan itu, tetap tidak percaya karena mereka berdiri di atas pandangan tidak mungkin membangkitkan kehidupan setelah kematian. Namun dari pandangan di atas, jelaslah bahwa pemahaman terhadap hadits Ibnu Mas’ud itu selaras dengan apa yang dijelaskan di dalam al-Qur’an.
Pemahaman ini juga diperkuat dengan adanya ayat-ayat lain di dalam al-Qur’an, yaitu firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala, artinya, “Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakaannya, dan meyempurnakannya, lalu Allah menjadikan dari padanya sepasang laki-laki dan perempuan.”(al-Qiyamah: 37-39).
Allah menjelaskan penciptaan setelah fase zigot dan segumpal darah. Urutan ayat tersebut disambung dengan huruf fa’ yang menunjukkan atas proses penciptaan setelah fase zigot dan segumpal darah, yaitu fase segumpal daging (mudghah) yang akhirnya sempurnalah penciptaan janin agar siap untuk ditiupkan ruh kepadanya dan siap menerima sifat-sifat kemanusiaan. Kehidupan, gerakan, dan awal pembentukan yang terjadi sebelum peniupan ruh yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk lainnya itu ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya yang berbunyi, artinya, “Segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna,” pada ayat ke lima dari surat al-Hajj. Adapun fase mudghah (segumpal daging), seperti yang dijelaskan di dalam hadits, datang pada janin sebelum masa peniupan ruh.
Penjelasan ini juga didukung oleh firman Allah dalam surat al-Mukminun, artinya “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik." (QS. al-Mukminun: 12-14).
Ibnu Abbas, Abu al-Aliyah dan adh-Dhahhak bin Zaid berkata, “Kehidupan itu terjadi setelah peniupan ruh, padahal sebelumnya adalah benda mati. (Tafsir al-Qurtubi, juz. XII, hal. 109). Hal ini diperkuat oleh pemahaman Umar dan Ali terhadap ayat ini, seperti yang dijelaskan di dalam sebuah riwayat bahwa Umar, Ali, Zubair, dan Sa’ad singgah di rumah salah seorang sahabat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka menyinggung masalah mengeluarkan mani di luar rahim. Mereka berkata, Tidak apa-apa”. Lalu salah seorang dari mereka berkata, “Mereka mengira bahwa itu sama dengan pembunuhan kecil.” Lalu Ali berkata, “Tidak dikatakan membunuh, hingga janin itu melewati tujuh tahap; hingga menjadi saripati tanah, menjadi air mani, lalu menjadi segumpal darah, menjadi segumpal daging, lalu menjadi rulang-tulang, kemudian menjadi daging dan akhirnya menjadi ciptaan yang lain.” Lalu Umar berkata, “Kamu benar, semoga Allah memanjangkan umurmu.” (Syarah Fath al-Qadir, juz. II. Hal. 494). Pemahaman Al;I tersebut menunjukkan bahwa menggugurkan jiwa (ruh) tidak terjadi pada janin kecuali setelah janin itu melampui semua fase-fase perkembangan tersebut.
4. Sebagian besar Fuqaha yang mensyarah hadits Ibnu Mas’ud, menafsirkan kalimat peniupan ruh itu dengan sebab yang dengannya Allah mengawali kehidupan yang diberi sifat-sifat kemanusiaan pada janin, walaupun sebagian besar dari mereka tidak secara terus terang menolak adanya kehidupan yang muthlak sebelum adanya sebab tersebut.
Al-Qurthubi di dalam tafsirnya, mengatakan, “Sesungguhnya makna sabda Rasulullah, “Ditiupkan ruh kepadanya,” bahwa peniupan itu menjadi sebab penciptaan kehidupan yang manusiawi pada janin dan ini terjadi karena diciptakan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala. (Tafsir al-Qurthubi, juz. XII, hal. 6)
Ibnu Hajar di dalam Fath al-Bari, menafsirkan ruh dengan mengatakan, “Pada dasarnya peniupan berarti mengeluarkan angin dari mulut peniup agar masuk ke dalam obyek yang ditiup. Akan tetapi yang dimaksud dengan peniupan itu bila disandarkan kepada Allah adalah firman-Nya “kun fayakun” (jadilah, maka jadilah ia), (Fath al-Bari, juz. XI, hal. 6) atau jadilah manusia maka jadilah dia seperti yang diperintahkan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala.
Ibnul Qayyim al-Jauziyah berpendapat bahwa janin mempunyai dua kehidupan:
Pertama, seperti kehidupan tumbuhan yang diciptakan Allah pada janin sebelum peniupan ruh. Pengaruh dari kehidupan ini bahwa janin itu bisa tumbuh dan makan walaupun tanpa kehendaknya.
Kedua, kehidupan manusiawi yang terjadi pada janin setelah ditiupkan ruh kepadanya. Pengaruhnya, janin itu bisa merasa dan bergerak menurut kehendaknya. (Ibnul Qayyim, at-Tibyan fi Aqsam al-Qur’an, hal. 255)
5. Di antara yang juga menguatkan argumentasi para ulama yang mengatakan bahwa peniupan ruh pada janin merupakan sebab janin menjadi sosok seorang manusia, adalah keadaan ruh yang pertama kali ditiupkan kepada manusia pertama yang ditempatkan oleh Allah di muka bumi, yaitu nenek moyang manusia, Adam ‘alaihis salam.Menurut penjelasan hadits-hadits tentang masalah ini, bahwa ketika Allah Subahaanahu wa Ta’ala hendak menciptakan Adam , Dia mengutus Jibril, lalu Jibril mengambil sekepal tanah dan dijadikan tanah liat, lalu dibentuk dan ditiupkan ruh kepadanya. Ketika ruh itu masuk ke dalam tubuh Adam, jadilah tanah itu daging dan darah yang hidup dan berbicara. Itulah maksud yang dijelaskan Allah di dalam firman-Nya, artinya, “Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan) Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya.” (QS. Shaad: 72)
6. Yang juga menguatkan pendapat mereka adalah adanya kesepakatan bahwa berpisahnya ruh dari badan menjadi sebab yang hakiki bagi habisnya kehidupan manusia di dunia, walaupun waktu berpisahnya ruh ini tidak dapat ditentukan secara pasti.
Hakikat ini banyak dijelaskan di dalam nash-nash al-Qur’an maupun hadits Nabi. Di antaranya adalah firman Allah, artinya, “Allah mencabut jiwa (orang) ketika matinya. “ (QS. az-Zumar: 42). Atau mencabut ruhnya ketika ajalnya tiba. Yang dimaksud dengan jiwa pada ayat di atas adalah ruh.” (Tafsir al-Mawardi, juz. III, hal. 470, lihat juga Mukhtashar Ibnu Katsir, juz. III, hal. 222).
Juga firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala, artinya, “Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalan tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): "Keluarkanlah nyawamu". Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri ayat-ayat-Nya."(QS. 6:93)
Pada ayat di atas terdapat isyarat yang jelas bahwa jiwa -yaitu ruh menurut para mufassir- jika keluar dari badan menyebabkan adanya kematian dan para malaikat mengulurkan tangan mereka untuk menjemputnya ketika azal manusia datang. Maka kehidupan akan habis ketika ruh keluar dari badan.” (Tafsir al-Mawardi, juz. I, hal. 545; Tafir al-Qurthubi, juz. VII, hal. 41, Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 381).
Adapun hadits-hadits yang menjelaskan masalah ini banyak sekal. Di antaranya ada yang mengatakan bahwa ruh meninggalkan badan manusia ketika waktu kematian dan mata mengikuti dan melihatnya pada saat itu. Sedangkan kewajiban malaikat maut adalah mencabutnya ketika ajal tiba.
Jika telah ditetapkan bahwa berpisahnya ruh dengan badan merupakan sebab yang ditetapkan Allah bagi habisnya kehidupan manusia, maka tidak diragukan lagi bahwa adanya ruh menjadi sebab adanya kjematian. Karena Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah mengabarkan kepada kita tentang waktu peniupan ruh itu, maka tidak ada jalan lain bagi kita untuk membatasi adanya awal kehidupan manusia itu selain yang telah dikhabarkan oleh Rasulullah kepada kita tersebut. Wallahu a'lamu bish shawab


[Dinukil dari kitab "Abhast Fiqhiyah Fi Qadhaya Thibbiyah Mu'ashirah",edisi Indonesia "Fikih Kedokteran", oleh Dr. Muhammad Nu'aim Yasin, pent. Pustaka al-Kautsar].

No comments:

Post a Comment