Search This Blog

September 23, 2008

Berbakti Kepada Orang Tua

Ditulis Oleh Faqihuddin Abdul Kodir
Thursday, 02 August 2007

Berbicara mengenai hak, pasti di sisi lain ada kewajiban. Relasi orang tua dan anak, mengenai hak dan kewajiban dalam mereka dalam Islam, adalah seperti yang digambarkan hadits Nabi Muhammad Saw: “Tidak termasuk golongan umatku, mereka yang (tua) tidak menyayangi yang muda, dan mereka yang (muda) tidak menghormati yang tua” (Riwayat at-Turmudzi, lihat: al-‘Ajluni, Kasyf al-Khafa, juz II, hal. 173, no. 2157). Jadi, kewajiban orang tua adalah menyayangi dan haknya adalah memperoleh penghormatan.
Sebaliknya, kewajiban anak adalah penghormatan (dan tentu ketaatan) dan haknya adalah memperoleh kasih-sayang. Idealnya, prinsip ini tidak bisa dipisahkan. Artinya, seorang diwajibkan menghormati jika memperoleh kasih-sayang. Dan orang tua diwajibkan menyayangi jika memperoleh penghormatan. Ini timbal balik, yang jika harus menunggu yang lain akan seperti telur dan ayam. Tidak ada satupun yang memulai untuk memenuhi hak yang lain. Padahal biasanya, seseorang memperoleh hak jika telah melaksanakan kewajiban. Karena itu, yang harus didahulukan adalah kewajiban. Tanpa memikirkan hak yang mesti diperoleh. Orang tua seharusnya menyayangi, dengan segala perilaku, pemberian dan perintah kepada anaknya, selamanya. Begitu juga anak, harus menghormati dan memuliakan orang tuanya, selamanya.
Beginilah cara al-Qur’an dan hadits-hadits menjelaskan mengenai kewajiban anak terhadap orang tua. Mereka harus menghormati, berbuat baik, mentaati dan tidak berkata buruk atau sesuatu yang menyakitkan kedua orang tua. “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia” QS. Al-Isra’, 17: 23. Karena kedua orang tua, terutama ibu, telah mengawali melakukan kewajiban dengan kasih sayang yang dilimpahkan. Sejak anak masih berupa bayi, bahkan masih dalam kandungan. Hamil dengan penuh kesusahan, melahirkan, menyusui, merawat, mendidik dan menafkahi. Semua itu merupakan bentuk kasih sayang yang telah dilakukan kedua orang tua (Lihat: QS. Luqman, 31: 14 dan QS al-Ahqaf, 46: 15). Jadi, tinggal anak yang berkewajiban untuk menghormati dan memuliakan kedua orang tuanya.
Penghormatan kepada kedua orang tua, tentu ada ragam bentuknya. Diantaranya berbuat baik, mendoakan dan memenuhi keinginan mereka, atau mentaati perintah mereka. Jika seorang anak tidak melakukan penghormatan, maka ia disebut anak durhaka. Ini merupakan dosa besar, yang diancam masuk neraka. Dalam suatu hadits disebutkan: “Diantara dosa-dosa besar adalah menyekutukan Allah, durhaka kepada orang tua, membunuh dan menyatakan sumpah palsu”. (Riwayat Bukhari, lihat: al-Mundziri, at-Targhib wa at-Tarhib, juz III, hal. 324-333). Dalam teks hadits lain, Nabi Saw pernah menyatakan secara eksplisit bahwa durhaka itu haram, dan bisa mengakibatkan seseorang su’u al-khatimah (meninggal dalam keadaan sesat).
Tetapi ketaatan tentu ada syaratnya, yang utama adalah bahwa sesuatu yang diperintahkan kedua orang tua bukan merupakan kemaksiatan. “Tidak berlaku ketaatan untuk hal-hal yang berupa kemaksiatan kepada Allah Sang Pencipta” (Hadits Riwayat Abu Dawud, lihat: al-‘Ajluni, juz II, hal. 366, no. 3077). Syarat yang lain, perintah itu tidak untuk menyengsarakan atau mencederai hak-hak kemanusiaan anak. Jika si anak merasa disengsarakan dengan perintah tersebut, ia berhak untuk menolak. Tetapi tentu dengan bahasa yang santun, sopan dan baik. Dalam suatu hadis yang diriwayatkan Aisyah ra, jika orang tua dan anak berselisih pendapat mengenai pernikahan, maka wali hakim yang harus melerai dan memutuskan. Artinya, tidak serta merta orang tua berhak memaksa dan anak harus mengikuti.
Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Malik, Abu Dawud dan an-Nasa’i, bahwa ketika seorang perempuan yang bernama Khansa binti Khidam ra merasa dipaksa dikawinkan oleh orang tuanya, Nabi mengembalikan keputusan itu kepadanya; mau diteruskan atau dibatalkan. Tidak dikembalikan kepada orang tuanya. Dalam riwayat Abu Salamah, Nabi Saw menyatakan kepada Khansa r.a.: “Kamu yang berhak untuk menikah dengan seseorang yang kamu kehendaki”. Khansapun pada akhirnya kawin dengan laki-laki pilihannya Abu Lubabah bin Abd al-Mundzir r.a. Dari perkawinan ini ia dikarunia anak bernama Saib bin Abu Lubabah. (Lihat: az-Zayla'i, Nashb ar-Râyah Takhrîj Ahâdîts al-Hidâyah, juz III, hal. 237).
Artinya, orang tua juga tidak harus memaksakan terhadap anak, jika benar mereka berangkat dari kasih sayang. Si anak juga tidak mudah menentang orang tua, jika mereka benar ingin memberikan penghormatan. Kasih sayang dan penghormatan, harus dilakukan secarat timbal balik. Mungkin, anak durhaka tidak akan pernah ada, jika ia hidup dalam kasih sayang. Dan orang tua yang durhaka juga tidak akan pernah ada, jika sejak kecil dia telah memperoleh kasih sayang dan waktu besar mendapat penghormatan dan kemuliaan. Keluarga yang penuh dengan kasih sayang dan penghormatan satu sama lain, adalah keluarga bahagia yang digambarkan al-Qur’an dalam surat ar-Rum. Keluarga mawaddah, rahmah dan sakinah. Semoga.[]


No comments:

Post a Comment