Diambil dari : http://alislamu.com/index.php?option=com_content&task=view&id=192&Itemid=6
Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
1. Hukum Shalat Qashar (Memendekkan Shalat)
Qashar (memendekkan shalat) wajib atas musafir ketika mengerjakan shalat dzuhur, ‘ashar dan ‘isya'. Sebagaimana yang ditegaskan firman Allah SWT, "Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat, jika kamu takut diserang orang-orang kafir" (An-Nisaa 101).
Dari Ya'la bin Umayyah bahwa ia pernah bertanya kepada Umar bin Khattab perihal ayat ini, ia berkata, "INKHIFTUM AN YAFTINAKUMUL LADZIINA KAFARUU(Jika kamu takut diserang orang-orang kafir), padahal orang-orang dalam kondisi sangat aman." Maka Umar menjawab, "Saya (juga) heran seperti apa yang kamu herankan, kemudian saya bertanya kepada Rasulullah saw. tentang hal tersebut, lalu beliau bersabda, "Itulah shadaqah yang Allah shadaqahkan kepada kalian, maka terimalah shadaqah-Nya" (Shahih: Shahihul Jami' no: 3762, Muslim I: 478 no: 686 serta Tirmidzi IV: 309 no: 5025, ‘Aunul Ma'bud IV 63 no 1187, Nasa'i III no 116, Ibnu Majah I 339 no. 1065)).
Dari Ibnu Abbas r.a berkata, "Allah telah memfardhukan shalat melalui Nabimu saw. ketika bermukim (tidak bepergian) empat raka'at, ketika dalam perjalanan dua raka'at, ketika dalam peperangan satu raka'at." (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 876, Nasa'i III: 118, Muslim I: 479 no: 687,'Aunul Ma'bud IV: 124 no: 1234 dan Ibnu Majah I: 339 no: 1068 tanpa kalimat terakhir).
Dari Umar r.a, ia berkata, "Shalat musafir dua raka'at, shalat Jum'at dua raka'at, shalat idul fitri dan idul adha dua raka'at, sempurna tidak qashar menurut Muhammad saw." (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 871, Nasa'i III: 183 Ibnu Majah I: 338 no: 1063).
Dari Aisyah r.a berkata, "Shalat, pada awal difardhukannya dua raka'at, lalu (dua raka'at itu) ditetapkan sebagai shalat safar dan disempurnakan (untuk) shalat orang yang muqim (menjadi empat raka'at)." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 569 no: 1090, Muslim I: 478 no: 685,'Aunul Ma'bud IV: 63 no: 1186, dan Nasa'i I: 225).
Dari Ibnu Umar r.a berkata, aku senang menemani Rasulullah saw. dalam perjalanan, beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at hingga wafat, menemani Abu Bakar, ia tidak pernah menambah atas dua rakaat sampai wafat, menemani Umar ia tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai meninggal dunia kemudian menemani Utsman, ia tidak pernah menambah atas dua rakaat sampai wafat, sedangkan Allah berfirman, "Sungguh pada diri Rasulullah itu terdapat suri tauladan yang baik" (Muttafaqun ‘alaih Muslim I 479 no 689, ‘Aunul Ma'bud IV: 90 no: 1211, Fathul Bari II: 577 no: 1102, Nasa'i III: 123).
2. Jarak Perjalanan Yang Dibenarkan Untuk Mengqashar Shalat
Para ulama berbeda pendapat tentang batas jarak perjalanan yang diperbolehkan untuk mengqashar shalat dengan perbedaan yang banyak, sampai Ibnu Mundzir dan lainnya, dalam kaitannya dengan masalah ini, meriwayatkan lebih dan dua puluh pendapat. Namun, yang rajah dan kuat menurut hemat penuturan ialah pendapat yang menegaskan, "Dalam persoalan ini sama sekali tidak ada batasan yang jelas, kecuali pengertian safar menurut bahasa Arab yang dengan bahasa tersebut Rasulullah sampaikan kepada para sahabat. Sebab, andaikata jarak perjalanan yang dibenarkan untuk mengqashar shalat ini sudah ditentukan dengan jelas, selain yang kami sebutkan, tentu Rasulullah tidak akan lupa menyampaikannya kepada kita, dan padahal tidak mungkin pula para sahabat lupa untuk menanyakan kepadanya mengenai jarak perjalanan yang diperbolehkan qashar ini, dan tidak mungkin pula mereka sepakat untuk tidak menyampaikan ketentuan batas jarak ini kepada kita semua."(al-Muhalla V:21).
3. Kawasan Yang Dibenarkan Mulai Mengqashar Shalat
Jumhur ulama berpendapat, bahwa permulaan bolehnya mengqashar shalat ini dimulai ketika sudah meninggalkan daerah tempat ia bermukim dan keluar dan batas negeri, kampung dan yang demikian ini merupakan syarat, dan ia tidak boleh shalat sempurna sebelum masuk pertama yang ada di daerahnya. Ibnu Mundzir berkata, "Aku tidak mengetahui bahwa Nabi mengqashar shalat dalam salah satu safarnya, ketuali setelah keluar dan Madinah. Anas menyatakan, "Aku pemah shalat dzuhur bersama Nabi di Madinah empat raka'at dan Dzil Hulaifah dua raka'at." (Fiqih Sunnah I 240-24 1, Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 569 no: 1089, Muslim I: 480 no: 690, ‘Aunul Ma'bud IV: 69 119, Tirmidzi II: 29 no: 544 dan Nasa'i I: 235)."
Yang dimaksud dengan "Dzil Huulaifah dua raka'at", ini ialah shalat ‘ashar, sebagaimana yang dijelaskan riwayat Imam Bukhari.
4. Apabila Seorang Musafir Tinggal Di Negeri Orang Karena Ada Suatu Kepentingan Dan Ia Tidak Berniat Muqim, Ia Harus Mengqashar Sampai Ia Keluar Darinya
Dari Jabir r.a., berkata, "Nabi saw. tinggal di Tabuk selama dua puluh hari dan beliau mengqashar shalat." (Shahih: Shahih Abu Daud no: 1094 dan ‘Aunul Ma'bud IV 102 no: 1223).
Ibnul Qayyim menegaskan, "Rasulullah tidak pernah bersabda kepada umatnya: Tidak boleh seorang mengqashar shalat, bila menetap sementara lebih dari dua puluh hari, namun secara kebetulan Rasulullah bermukim hanya sebatas hari tersebut." (Fiqhus Sunnah I: 241).
Dari manakala ia berniat muqim (di suatu daerah), maka setelah mengqashar shalatnya selama sembilan belas hari, selanjutnya ia harus shalat secara sempurna, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, "Nabi menetap untuk sementara selama sembilan belas hari dengan mengqashar (shalat), maka kami pun apabila safar selama sembilan belas hari kami shalat qashar dan jika lebih dari itu kami shalat sempurna." (Shahih: Irwa-ul GhaIil no: 575, Fathul Bari II: 561 no: 1080, Tirmidzi 11 31 no: 547, Ibnu Majah I: 341 no: 1075, ‘Aunul Ma'bud IV: 97 no: 1218 dengan lafadz, "SAB'A ‘ASYRATA (= Tujuh belas hari)").
5. Menjama' Dua Shalat
Sebab-sebab dibolehkannya menjama' shalat ialah:
1. Safar (karena bepergian)
Dari Anas r.a. berkata, "Adalah Rasulullah saw. apabila akan bepergian sebelum matahari bergeser ke arah barat, beliau menangguhkan shalat dzuhur kemudian (setelah tiba waktu ashar beliau singgah (di suatu tempat), lalu menjama' keduanya dan apabila matahari tergelincir sebelum berangkat, maka beliau shalat dzuhur, kemudian berangkat." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 583 no: 1112, Muslim I: 489 no: 704, ‘Aunul Ma'bud IV : 58 no: l206danNasa'i I:284).
Dari Muadz r.a. bahwa Nabi saw. pada perang Tabuk apabila akan bepergian sebelum matahari tergelincir bergeser ke arah barat, Rasulullah mengakhirkan shalat dzuhur hingga menjama'nya dengan shalat ashar, beliau mengerjakan keduanya secara jama'. Apabila akan berangkat sebelum maghrib Rasulullah mengakhirkan hingga mengerjakannya dengan shalat isya' yaitu menjama'nya dengan maghrib dan apabila akan berangkat setelah maghrib, Rasulullah menjama' shalat isya dengan shalat maghrib." (Shahih: Shahih Abu Daud no: 1067, al-Fathur Rabbani V: 120 no: 1236, ‘Aunul Ma'bud IV: 75 no: 1196 dan Tirmidzi II: 33 no: 551).
Dari Mu'adz r.a. bahwa para sahabat pada perang Tabuk pergi bersama Rasulullah SAW, maka Rasulullah SAW menjama' antara dzuhur dengan ashar, dan maghrih dengan isya', pada suatu hari Rasulullah mengundurkan shalat ashar, kemudian pergi lalu menjama' antara dzuhur dengan ‘ashar, kemudian masuk (tempat istirahat), kemudian pergi (lagi), lalu menjama' shalat magrib dengan shalat isya'." (Shahih : Shahih Abu Daud no: 1065, ‘Aunul Ma'bud IV : 72 no: 1194, Nasa'i I : 284, Separoh pertama diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Ibnu Majah, yaitu Muslim I: 490 no: 706 dan Ibnu Majah I : 340 no: 1070).
2. Hujan
Dari Nafi' bahwasanya Abdullah bin Umar, bila para penguasa menjama' shalat antara magrib dan isya' dalam suasana huan, dia menjama' (kedua shalat itu) bersama mereka.
Dari Hisyam bin Urwah bahwa bapaknya, Urwah dan Sa'id bin al Musayyib serta Abu Bakar bin Abdurrahman bin al-Harist bin Hisyam bin al-Mughirah al-Makhzumi pernah menjamak antara maghrib dengan isya' pada malam turunnya hujan, jika mereka memang menjamak antara kedua shalat dan (tak seorangpun di antara) mereka yang tidak mengingkari perbuatan hal 102:328).
Dari Musabin Uqbath bahwa Umar bin Abdul Aziz menjama' shalat maghrib dengan shalat isya bila turun hujan, dan bahwa Sa'id bin al'Musayyab, Urwah bin az-Zubair, Abu Bakar bin Abdurrahman (menjama' shalat bersama mereka), dan para ulama pada masa itu shalat bersama mereka (para penguasa), namun mereka mengingkarinya." (Shahih; Irwa-ul Ghalil III: 40 dan Baihaqi III: 168-169).
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, "Rasulullah saw. menjama' shalat dzuhur dengan ashar dan maghrib dengan isya' dalam kondisi aman dan tidak dalam safar." (Shahih: Shahihul Jami'us Shaghir no: 1068).
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, "Rasulullah saw. menjama' antara dzuhur dengan ashar dan magh'rib dengan isya' di Madinah bukan karena takut dan bukan (pula) karena hujan." (Shahih: Shahihul Jami'us Shaghir no: 1070, Muslim I: 489 no: 705, Nasa'i 1: 290, ‘Aunul Ma'bud IV: 77 no: 1198 dengan tambahan pada akhirnya).
Riwayat di atas menunjukkan bahwa menjama' shalat karena hujan sudah dikenal pada masa Nabi saw., andaikata tidak demikian tentu tidak bermanfaat menafikan hujan sebagai sebab bolehnya menjama' shalat. Demikian menurut penjelasan Syaikh al-Albani dalam Irwa-ul GhaIil III: 40.
3. Kepentingan yang Mendadak
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, "Rasulullah saw. menjama' shalat dzuhur dengan shalat ashar di Madinah bukan karena takut dan bukan (pula) karena safar." Abu Zubair bertutur, "Saya pernah bertanya kepada Sa'id, "Mengapa Rasulullah berbuat demikian itu?", maka jawabnya, "Saya pernah bertanya kepada lbnu Abbas sebagaimana yang engkau tanyakan kepadaku ini, maka jawab Ibnu Abbas, "Rasulullah tidak ingin memberatkan seorangpun dari kalangan ummatnya." (Shahih: Shahihul Jami'us Shaghir no: 1068).
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, "Rasulullah saw. menjama' antara shalat dzuhur dengan ‘ashar dan shalat maghrib dengan ‘isya' di Madinah bukan karena takut dan bukan (pula) karena hujan." Ibnu Abbas ra ditanya, "Apa yang beliau inginkan itu?" Jawabnya, "Beliau ingin tidak memberatkan ummatnya." (Shahih;Shahihul Jami' no: 1070, Muslim I:489 no:705, Nasa'i I:290, ‘Aunul Ma'bud IV:77 no:1198 dengan tambahan di akhirnya).
Imam Nawawi r.a. dalam Syarah Muslim V:219 menulis, "Sejumlah ulama' berpendapat bolehnya menjama' diwaktu muqim karena ada hajat bagi orang yang tidak menjadikannya sebagai kebiasaan. Ini adalah pendapat Ibnu Sirin dan Asyhab, salah seorang murid Imam Malik, dan diriwayatkan juga oleh al-Khattabi dari al-Qaffal dan asy-Syasyi dari kalangan Syafi'i dari Abu Ishaq al-Marwazi dari kelompok ahli hadits dan pendapat ini dipilih oleh Ibnul Mundzir dan diperkuat oleh pernyataan Ibnu Abbas, "Rasulullah tidak memberatkan ummatnya, yaitu beliau tidak menjadikan sakit dan tidak pula lainnya sebagai illat (alasannya) Wallahu'alam."
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm.288-2958.